Senin, 18 November 2013

Seorang penulis tidak akan langsung mendapati posisi puncak jika tidak memulai dari bawah.
Seneng banget rasanya pas liat nama gue ada di salah satu pemenang lomba LMCR 2013, walaupun cuma pemenang harapan tapi lumayan kaget juga karena gue sama sekali engga mengharapkan menang lomba ini, gue bahkan lupa sama sekali pernah ikut LMCR 2013. Ini cerpen gue yang pernah dikirimin guru ke redaksi rayakultura beberapa bulan lalu buat ikut lomba.


Dua

Hidup ini tidak adil. Aku selalu keluar di saat yang tidak tepat, saat si egois itu selesai menikmati dunia. Saat mata terpejam, mimpi terasa lebih baik dari dunia nyata, yang penuh dengan rasa iri dan dengki. Setiap hariku dipenuhi tanya, kenapa harus dia? Mengapa bukan aku? 

"Selamat kepada pemenang juara pertama, Damian Santana!" Suara itu terngiang dalam otakku, aku mendengar namaku dipanggil. Tapi aku tak mampu membuka mata untuk keluar menyambut penghargaan itu, aku bukan si pintar yang memenangkan seluruh kejuaraan IPA sekabupaten. 

Aku merasakan ragaku berjalan menuju podium, mengambil piala dan berfoto dengan bupati dan bahkan mungkin presiden. Rasa iri ini semakin menjadi, kapan aku bisa menjadi seperti dia? 

Waktunya untuk aku melihat dunia sekarang, dunia yang tidak lebih baik dari mimpiku. Sekuat tenaga kubuka mata, membiarkan jiwaku menyeruak keluar. Setidaknya aku bisa memberikan sambutan. Yah, ini sudah menjadi kewajibanku selama ini, dia yang berpikir dan aku yang berbicara.  

***

Aku semakin merasa sepi saja, lama-lama botak kepalaku ini lantaran hanya dipergunakan untuk berpikir dan tidak pernah mendapat hiburan. Enak sekali si bodoh itu, dia sangat pandai bersosialisai dan mempunyai banyak teman. Sedangkan aku? Berbicara saja gagap. 

Barusan ia menyeruak keluar, mengambil tempatku dan mengendalikan raga. Dia sering berkata, mimpinya lebih baik dari kenyataan. Tapi lihatlah aku, imajinasiku sudah mati, aku tak pernah lagi bermimpi. Jauh lebih menyedihkan, bukan? 

Aku masih bertahan dalam keheningan, mengulang-ulang seluruh rumus aljabar yang terus menggerayangi otakku, besok ada ulangan dan aku harus tetap menjadi yang terbaik di kelas. Hanya satu tujuanku seumur hidup, belajar dan mendapatkan kebanggaan. 

***

"Malam Damian, bagaimana ulangan besok?" aku menyapa sambil duduk di sebelahnya, otakku sibuk memikirkan mimpi-mimpi indah untuk raga kami ini.

"Malam juga Damian. Yah, aku tinggal menghapalkan sedikit lagi dan peringkat pertama tetap di tangan. Hahaha." Si Damian satu lagi ini membusungkan dadanya, aku memang iri padanya, namun tidak ada alasan untukku membencinya. 

"Aku iri padamu, kau begitu pintar. Sedangkan aku? Bodohnya bukan main." 

"Justru aku yang selama ini iri padamu. otakku ini hanya dipakai untuk berpikir dan berpikir. Kau enak, pandai bersosialisasi dan punya banyak teman, sedangkan aku?" 

Keheningan sekejap berkumandang, aku sibuk membuat mimpi-mimpi indah untuk raga, dan aku satu lagi sibuk mengulang kembali seluruh rumus yang tak kumengerti secuil pun. Tiba-tiba secercah ide muncul dalam benakku. 

"Damian!" Panggilku sambil menjentikkan jari. Ia mendongak ke arahku tanpa mengatakan apa-apa. 

"Kau ingin menjadi sepertiku, kan? Dan aku juga ingin menjadi sepertimu. Bagaimana kalau kita bertukar tempat? Aku akan belajar untuk ulangan besok, kau yang bersosialisasi. Dengan begitu raga kita akan memiliki dua kepribadian sempurna."

"Kau gila ya? Damian harus kembali menjadi juara kelas besok. Kalau nilainya jeblok, ia tidak akan  dapat beasiswa. 

"Ya, ajari aku kalau begitu. Apa kamu tidak bosan belajar terus?" 

Ia menatap wajahku, tekadku sudah bulat. Dianggukkannya kepala dengan sedikit ragu. 

***

Sudah satu bulan sejak Damian terlihat berubah seratus delapan puluh derajat. Nilai-nilainya merosot jauh, ia bahkan mendapat nilai nol dalam ulangan aljabar yang lalu. Sikapnya juga, ia yang dulu supel menjadi pasif dan gugup saat berbicara dengan orang lain. Padahal menurut teman dan keluarganya, Damian tidak pernah ada masalah. Ketika ditanya secara pribadi, ia selalu mengunci rapat mulutnya dan sibuk menggeleng. 

Sebagai wali kelasnya, aku merasa peduli dengan keadaan Damian. Bagaimana tidak, sekolah ini kehilangan siswa terbaiknya yang sedari dulu rajin mengumpulkan piala dan piagam. Aku harus mengetahui apa yang terjadi pada Damian. 

"Damian?" 

Damian hanya diam, seperti terlelap namun matanya masih membelalak lebar. 

Aku mengibaskan tangan tepat di depan wajahnya, "Damian, hey, Nak?" 

Keadaannya semakin hari semakin parah. Aku sudah sejak lama menyarankan orang tua Damian untuk membawanya ke psikiater, tetapi mereka tetap mengatakan bahwa anaknya tidak memiliki kelainan jiwa. Padahal aku yakin sekali, pasti ada yang salah dengan anak ini. 

***

Sudah beberapa minggu ini kami bertukar peran, dan hasilnya gagal total. Aku masih gugup ketika berbicara dengan orang lain, dan Damian yang satu lagi itu tak kunjung bisa menghapal rumus. Kami lupa sama sekali dengan raga yang kepribadiannya kini telah hancur. 

Maaf ya raga, kami sudah berusaha semampu kami namun rencana ini tak kunjung berhasil. Segan juga untuk kembali ke sifat awal, belajar dan belajar, memuakkan. 

Semakin hari aku semakin takut berbicara dengan orang, wajahku pasti akan pucat pasi dan berkeringat dingin. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah menolak memberikan jawaban dengan gelengan kepala. 

"Damian?"

Suara itu terdengar lagi, aku kenal betul pemilik suara itu. Dia Pak Heri, wali kelas ragaku. 

Aku terlalu takut untuk menjawab, terlalu takut untuk berinteraksi. Tidak sepatah katapun dapat kukeluarkan. Hanya gelengan demi gelengan kulakukan. Mungkin sebentar lagi ragaku akan dibawa ke psikiater, dan terbongkarlah keberadaan kami.

"Damian, tolong aku dong. Sekali ini saja." Aku berbisik. Ia menoleh sebentar dan kembali tenggelam ke dalam buku kumpulan rumusnya, walau ia tidak mungkin bisa menghapalkan lebih dari seperempat karena otaknya tidak terbiasa untuk itu. 

"Tidak, itu kan tugasmu sekarang. Tugasku belajar, Damian." 

Bagaimana ini? Aku tidak mampu menjawab, berbicara sepatah katapun tidak. Bisa-bisa ragaku tidak jadi mendapat beasiswa, bahkan tinggal kelas, atau masuk rumah sakit jiwa.  

"Ah, Damian. Ayolah, kita ini kan ada di dalam satu raga. Kau mau raga kita masuk rumah sakit jiwa?" 

"Tidak mungkin dia masuk rumah sakit jiwa. Lagipula keluarganya tidak mau membawa dia ke psikiater, bukan? Sudah ya, aku sedang sibuk belajar." 

"Belajar? aku yakin kau bahkan tidak bisa menghapal seperempat dari total rumus yang ada di dalam sana." Aku menjawab sengit. Wajahku memanas, ini pertengkaran pertama kami sejak raga terlahir ke dunia. 

***

Kurang ajar sekali dia berani merendahkanku seperti itu. Dia pikir si bodoh ini tidak bisa berubah? Justru dia yang tetap begitu, tidak berani berinteraksi, aneh. Lihat saja, keadaan akan menjadi lebih buruk lagi jika tanpa aku. 

"Oh, jadi kau berani merendahkanku sekarang. Sepertinya kau sudah tidak membutuhkanku lagi ya? Baiklah kalau begitu." Aku mengembalikan buku rumus miliknya yang sedari tadi kubaca, kemudian mengempaskan tubuh dan memejamkan mata dengan rasa gondok. 

Keadaan kembali hening, persis sebelum aku mengutarakan ideku sebulan yang lalu. Aku perlahan melihat si sok pintar itu duduk, meratapi raga kami yang masih termenung kosong di hadapan Pak Heri.
Guru itu tidak ada bosannya bertanya ya? 

Merasa diperhatikan, Damian memutar kepala dan menoleh ke arahku, "Apa?" Tanyanya sengit. Sombong sekali. 

"Kau benar-benar berpikir tidak membutuhkan aku lagi ya? Baiklah kalau begitu. Urus semuanya sendiri, berdiam dirilah sampai kau muak. Aku berhenti dengan semua tugasku selama ini. Tidak akan ada lagi Damian yang pintar dan supel, hanya tinggal Damian seorang pasien rumah sakit jiwa." Aku memaki kesal, kemudian kembali memejam mungkin untuk selamanya. Tugasku sudah selesai, Damian kini normal seperti kebanyakan orang, berkepribadian satu. 

***
Mungkin memang benar aku tidak membutuhkannya, lagipula seluruh kendali otak ada padaku. Aku harus belajar untuk terbiasa berinteraksi dan aku akan benar-benar tidak membutuhkan dia lagi. Damian hanya perlu satu kepribadian, yaitu aku.

"Damian, tolong jawab saya." Aku kembali mendengar suara Pak Heri yang masih sibuk memaksa. 

Aku membuka mulut, tenggorokanku terasa tercekat. Kenapa sih aku ditakdirkan untuk menjadi minder seperti ini? Ayolah Damian… sepatah dua patah kata saja masa tak bisa kau katakan?

"Iya, Pak." Suaraku akhirnya keluar. Wajah Pak Heri terlihat berseri, akupun ikut tersenyum sumringah. 

***

Akhirnya dia berbicara, untuk pertama kalinya Damian mau menjawab pertanyaanku. Aku harus tau apa yang membuatnya menjadi seperti ini, apakah depresi atau masalah lainnya. Tanpa adanya Damian sekolah ini akan kehilangan pamor. 

"Jadi, apa yang terjadi padamu beberapa hari ini?" 

Aku melihatnya menarik napas beberapa kali, mengerjap-ngerjapkan mata dan baru kembali membuka mulut, "Tidak ada apa-apa." 

Kemudian Damian kembali bungkam. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, lalu pandangannya kosong sama sekali. Pertanyaan apapun yang kulontarkan pasti tak akan digubrisnya lagi. Aku sudah bosan memaksanya berbicara. Ada sedikit pergumulan dalam hatiku, untuk tetap bertahan atau menyerah pada keadaannya. 

"Hari ini kita sudahi dulu. Besok kamu kembali ke ruangan saya lagi, ya." Aku tersenyum padanya, mempersilahkan mantan andalan sekolah kami itu untuk keluar.

Kepalaku otomatis menggeleng bingung, ada apa dengan anak itu ya? Ah sudahlah, lebih baik kuselesaikan mengatur perubahan jadwal pelajaran ini dulu. Soal Damian akan kulanjutkan besok, mungkin aku dapat menghubungi orang tuanya lagi. Semoga mereka mau mendengarkan perkataanku.

Tak beberapa lama pintu ruanganku diketuk, dua wajah yang kukenal betul muncul dari balik tabir kayu itu. Mereka terlihat pucat pasi dan sedikit gelagapan. 

"Pak Heri, Damian Pak." 

***

Aku sedikit limbung akhir-akhir ini, mataku sering berkunang-kunang dan rasanya ingin jatuh. Bodohnya lagi, aku masih memaksakan untuk naik sepeda dengan keadaan seperti ini. Teman-teman memaksaku tadi, mereka tidak tahu aku ini si kepribadian yang tidak pernah mencoba naik sepeda sekalipun. 

Aku menggeleng kuat untuk yang entah keberapa kalinya, "Tidak, tidak, tidak." 

"Ayolah, Damian. Kau kan selalu menjadi juara pertama, bahkan saat dulu kakimu terkilirpun." Mereka terus memaksaku meskipun aku sudah berulang kali menolak, ribuan kali menggelengkan kepala. 

Mereka tidak tahu, aku ini tidak pernah naik sepeda. Si juara yang mereka maksud itu, ya, Damian satu lagi pastinya. Susah ya, memiliki kembaran yang terlampau atletik. Tapi ini adalah kesempatanku untuk bersosialisasi, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan maka kunaiki juga sepeda itu akhirnya. 

Kakiku menekuk, mencoba mengayuh untuk yang pertama kalinya. Tidak terlalu sulit, aku hanya perlu terus mengayuh dengan sekuat tenaga dan keseimbanganku akan muncul dengan sendirinya. Tapi dengan keadaan seperti ini dan tidak pernah menaiki sepeda sebelumnya, siapa sih yang tidak celaka?

Hal yang kuingat adalah, mataku sempat berkunang-kunang dan kakiku kehilangan pijakan. Oh, dan aku juga mendengar suara teriakan teman-teman sebelum semuanya gelap gulita. Hal yang kurasakan? Sakit tentu saja, sepertinya beberapa tulang rusukku retak.  

***

Aku tersentak, terbangun dari tidur panjangku. Seluruh tubuhku terasa sakit sekali, ada nyeri yang sangat hebat si sekitar dada. Apa yang si sok tahu itu telah lakukan pada raga? 

Aku beranjak untuk mencari si Damian satu lagi yang sudah lama tidak kulihat keberadaannya karena sibuk tenggelam dalam mimpi-mimpi indah. Semuanya terasa sunyi dan gelap, mungkin ragaku sedang tertidur di luar sana. 

"Damian?" Aku menyentuh tubuh kembaranku yang terkulai lemas, tubuhnya dingin dan napasnya tak beraturan. Sebenarnya ada apa ini? 

Panik dan sakit, hanya itu yang kurasakan sekarang. Nyawa ragaku pasti sedang berada di ujung tanduk, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah kemungkinan terburuk itu. Kalau saja aku tidak memutuskan untuk berhenti melakukan tugasku beberapa hari yang lalu, pasti semuanya tidak akan menjadi seperti ini. Ya, kalau saja. 

***

Sudah berhari-hari yang kulakukan hanyalah berdoa, doa untuk Damian anakku yang telah koma selama tiga hari. Katanya ia menabrak sebuah pohon ketika mengendarai sepeda dan terpental beberapa meter, diperkirakan ada cedera pada otak dan retakan pada tulang rusuk. Kalau saja aku menyerah pada keadaan waktu itu, berpikir bahwa membawa Damian ke psikiater tidak ada salahnya, pasti semuanya tidak akan begini. Ya, kalau saja. 

Aku masih melamun sedih ketika Damian menggenggam tanganku lembut. Ia memanggil pelan aku, suaranya melelehkan kembali air mata yang kukira sudah terkuras habis. 

"Mama, sakit." Ia merintih ngilu, membuatku ikut menggemelutukkan gigi. 

Kuelus rambut anakku pelan. Kalau saja aku bisa menggantikan posisinya sekarang, aku rela, sangat rela. 

"Damian sabar ya, sayang. Mama ada disini, kamu bisa minta apa saja yang kamu butuh pada mama." 

"Air." 

Tanganku meraih gelas berisi air putih di atas meja, mendekatkan bibir gelas pada bibirnya, membiarkannya meneguk setiap bulir dan melepas dahaga. Aku bahagia melihatnya, bahagia bisa kembali berbicara dan mengurusnya. 

***

Hal yang pertama keluar dalam benakku adalah, aku harus menutup kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada ragaku. Aku harus menyeruak keluar dan mengambil alih kendali raga meskipun itu akan terasa sangat menyakitkan.Tanpa berpikir dua kali akupun segera menyeruak keluar, sakit sekali rasanya. Kuhidupkan kembali raga, meski penuh dengan rintihan ngilu. 

Tapi cerita belum selesai, aku tidak bisa begini terus. Damian tidak boleh kehilangan satu kepribadiannya dan menjadi seperti layaknya manusia normal, lagipula aku ini kan bodoh. 

Setelah meminta minum karena tenggorokanku terasa seperti digerus perlahan, aku kembali menutup mata dan menyeruak masuk. Sebentar ya, Mama. Aku akan kembali dengan Damian yang semua orang kenal. 

Damian masih terkulai lemas, tubuhnya semakin dingin saja. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tetapi aku yakin dia kuat.

"Damian, aku dan kamu, kita lebih kuat dari kematian." Air mataku menetes, aku bahkan tidak yakin dengan perkataanku barusan. Tapi aku, tidak ingin kehilangan dia. 

Aku sadar, dua Damian inilah yang telah menyempurnakan dan menjadikan raga utuh selama ini. Kami berdua dengan tugas dan kemampuan kami masing-masing. Betapa bodohnya aku sempat merasa iri dengan dia, padahal selama ini semuanya berjalan baik-baik saja. Kita bodoh ya, Damian. 

Tilas masa lalu seakan merajamku, semua ini terjadi karena aku, karena ideku dan ketidakpedulianku. Hatiku hancur terkecai, dan air mata ini terus berderai, seiring dengan tubuh satu Damian di sebelahku yang kian mendingin. 

Ah, mengapa aku ini? Mengapa aku tak pernah puas, mengapa aku selalu cemburu… Mengapa aku tega mengorbankan separuh dari diriku hanya untuk ego yang tak ada habisnya? 

Maaf, Damian. Maafkan aku yang selalu menjadi gulma dalam setiap harimu. Seharusnya aku yang pergi, bukan kamu. 
***

Kini semua telah terlambat, aku tak lagi dapat melihatmu, Damian. hanya mengenangmulah satu-satunya hal yang dapat sedikit demi sedikit menyembuhkan luka. Namun semuanya tak akan lagi sama, hanya ada aku kini, hanya ada separuh Damian. Separuh Damian yang akan mencoba mengepakkan sebelah sayap, karena sebelah lagi telah lenyap demi menghapus ego semata. 

Aku kembali membuka mata, hai dunia-Apa kabar? Aku sudah puas berada dalam mimpi indah, dan kini aku akan kembali menjalani kehidupan nyata yang tak lebih baik dari mimpiku. 

Mereka semua ada disini. Keluargaku, Pak Heri, beserta seluruh teman-teman sekelas. Mereka semua peduli padaku, mereka semua yang kini akan membantuku menjalani kehidupan ini. Mudah-mudahan aku cepat terbiasa dengan keadaan ini ya, Damian. 

Mudah-mudahan aku cepat terbiasa untuk menjalani kehidupan yang tak lebih baik dari mimpiku ini seorang diri. Hidupku akan penuh gelungan nestapa, karena tanpa adanya lagi kamu, Damian. 

Kemarin gue diundang buat ikut acara penyerahan hadiah lomba di Ora et Labora Jaksel, sebuah pengalaman yang cukup berharga karena disana gue ngerasa lagi di dunianya para penulis :')