Minggu, 25 Desember 2011

Pelangi dan Cahaya Hati

Pelangi kalau warnanya cuma satu, namanya masih pelangi bukan ya?

Hah?

Kan orang nyebutnya beda-beda tuh. Kalau di Jepang, Niji. Di Korea, Mujigae. Kalau Amerika sana Rainbow. Nah, kalau pelangi warnanya Cuma satu namanya pelangi bukan?

Apaan sih? Nes bingung…

Yah, sama aja lah kayak jatuh cinta, Nes. Indahnya karena banyak warna, kalau Cuma satu warna sih enggak akan menarik. Dan tau sendiri kan, pelangi muncul sehabis turun hujan. Sewaktu titik-titik air itu dibiaskan matahari. Nah, mungkin saja suatu saat nanti akan ada cahaya yang membiaskan air matamu itu, menjadikan hidupmu kembali berwarna layaknya pelangi. Cahaya hati.  ­­
***

Aku menyipitkan mata, membiarkan wajahku diterpa sinar matahari. Rasa sakit di hati ini belum pulih, walau sudah setahun berlalu. Wajah ramah dengan mata teduh itu masih terus terngiang dalam benakku, dia yang suka membuat kesal sambil tertawa, Albert.

Hari itu, malam itu. Malam terakhir kami tertawa bersama, dimana percakapan tentang pelangi menjadi akhir dari perbincangan, sebelum monitor menggariskan tanda akhir napas kehidupan Albert. Ia bahkan belum sempat pamit. Cahaya hati, dan ia tertidur selamanya.

“Nes, sudah lah. Kakak juga mau kamu seneng, kan.” Tiara menepuk bahuku, mencoba mengendapkan air matanya yang hampir terkuras habis.

“Kok kamu tenang banget, Ra? Albert kan kakakmu.”

“Cukup lah, Nes, semuanya. Enggak ada gunanya sedih terus. Lagipula dia enggak akan kembali.” 

Aku mengangguk,  kutebarkan kelopak-kelopak bunga terakhir dari dalam keranjang dan beranjak pergi. Mencoba mencari kebahagiaan yang menjadi hakku.
***

Aku tahu usus buntu itu perlu perawatan, tetapi aku tidak pernah tahu kalau itu bisa berakhir maut.
Hari itu Albert muncul sambil tertawa, tawa hangat yang menjadi favoritku selama tiga tahun belakangan. Ia terlambat satu jam, tapi tidak masalah, aku sudah terlanjur luluh dengan tawanya itu.

“Nes. Maaf, Albert telat. Tadi motornya mogok di jalan.” Albert tersenyum sambil menggaruk lugu kepalanya yang tak gatal.

Aku hanya mengangguk, mataku tak pernah bisa lepas menatap wajah Albert. Tidak tampan, tapi ramah dan enak dilihat. Itu yang membuatku mampu berlama-lama duduk diam di hadapannya. Seperti malam ini, kami berdua duduk di bangku teras sambil mendengarkan musik.

Lagu demi lagu mengalun, terbawa keheningan malam dan hembusan angin. Hanya hembusan napas dan degup jantung yang terdengar selain itu, dimana dua perasaan yang telah bercampur selama tiga tahun menjadi semakin terasa.
Tiba-tiba Albert mengerang kesakitan, tubuhnya terhempas ke lantai. Aku lupa, tapi semuanya terjadi begitu saja. Hanya suara sirene Ambulance pemecah malam yang kemudian kuingat. Setelah itu aku sudah berada di rumah sakit, di sebelah laki-laki yang kucintai. Laki-laki yang tadi masih bisa berdiri tegap dan tertawa.

Peradangan usus buntu Albert terlambat dideteksi, ususnya sudah semakin membengkak dan infeksi parah. Hanya itu yang kutangkap dari penjelasan dokter tadi.

“Nes, jangan nangis lagi. Aku enggak apa-apa.” Suara lirihnya kembali terdengar, entah sudah keberapa kali ia memintaku untuk berhenti menangis.

“Tapi, Nesia enggak mau kehilangan Albert.”

“Nes, tau apa saja warna pelangi?”

“Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu.”

Setelah itu ia berbicara tentang pelangi dan cinta, kalimat paling serius yang pernah keluar dari mulutnya. Kalimat-kalimat yang akan selalu terpatri dalam hatiku selamanya. Dari pesan terakhirnya aku tahu, Albert tahu, hidupnya tidak akan lama lagi.

***

Baru saja aku terduduk di sofa sepulang dari jengukanku ke tempat peristirahatan terakhir Albert, terdengar suara pintu diketuk pelan dari luar. Dengan agak malas aku kembali berdiri dan beranjak membuka pintu.

Berdiri seorang lelaki yang sama sekali asing, umurnya mungkin sama denganku atau sedikit lebih tua. Rambutnya hitam legam bagai disemir, dengan hidung mancung bak bule Philippine. Turis dari mana, nih?

“Hai, selamat siang.” Sapanya ramah. Matanya memancarkan keteduhan yang nyaman. Tunggu, matanya. Aku kenal mata itu, sangat kenal.

“Siang,” jawabku pelan, masih terpana dengan apa yang barusan kusadari. Lama aku terdiam, menatap kearah wajah, hidung, senyumannya, sampai akhirnya kembali ke mata. Mata teduh itu.

Ia tersenyum, kemudian menyodorkan sebuah kertas kepadaku, “Sepertinya kau telah menyadarinya, Nes. Bacalah itu.”

Aku membuka lipatan kertas itu, dan menatap tajam, sebuah surat wasiat. Isinya pernyataan tentang pemberian retina kepada seorang pengidap tunanetra bernama Fabian Rahardja. Tidak cukup sampai disana, nama dan alamat rumahku juga tertulis dalam surat itu.

“Perkenalkan, namaku Fabian. Fabian Rahardja.”

“Nesia,” Aku membalas jabatan tangan Fabian sambil tersenyum.

Mungkinkah Fabian yang akan menjadi sang cahaya hati pembias air mataku ini? menjadikan hidupku kembali berwarna layaknya pelangi? Mungkin saja.