Sabtu, 28 April 2012

Dendam


Bom waktu itu, ada dalam seonggok tubuh tak berguna yang masih berdetak jantungnya. Aku tak mau mengatakannya manusia, karena dia adalah sang pembunuh sekaligus pengkhianat. Kalian kenal orang ini, tapi tidak sepenuhnya. Kalian tahu namanya, tapi tidak dengan isi hati dan pikirannya. Cari dan redam bom itu sebelum matahari tepat berada di atas kepala kalian. 

Aku mengatur napas ketika Daru mengaktifkan pesan suara, "Bom lagi ya? Ah, negara ini tidak bisa melihat rakyatnya senang. Aku muak." 

"Bukan negara ini, Jendral. Tapi memang rakyatnya bukan?" 

Hening, kutatap Daru dingin, mencoba mengaktifkan kepekaan otaknya untuk menangkap maksud dari tatapanku, 'kumpulkan semua pasukan-berangkat-laksanakan tugas'. Aku tak terlalu berharap untuk ada hari esok, kalaupun kami semua harus mati memangnya kenapa? Siapa peduli? Memangnya para wakil rakyat itu peduli? Aku yakin mereka hanya akan tetap sibuk dengan masalah uang hasil korupsi itu.

"Maksudmu, rakyat yang tidak dipedulikan pemerintahnya? Atau, polisi yang selalu menjadi korban fitnah?" 

Daru hanya menyimpul senyum, "Laksanakan, Jendral!" balasnya sebelum menutup pintu.  

***
Satu persatu kami menuruni mobil dinas, entah sudah berapa ratus kali aku menaiki mobil berbau mesiu itu. Hatiku mengatakan bahwa kemungkinan besar hari ini adalah hari terakhirku berada di dalam sini. Maksudku, kami semua. 

Aku masih melangkah gontai ketika seluruh pasukan mulai berpencar dan mencari tempat bom waktu itu disembunyikan. Bodoh, jelas-jelas dikatakan tadi bahwa letaknya ada dalam seonggok tubuh tak berguna seorang pengkhianat. 

"Jenderal, kira-kira dimana letak bom tersebut?" lagi-lagi wajah Daru yang kulihat, tangan kotornya baru saja menepuk pundakku dari belakang. 

"Untuk apa? tidakkah bom waktu berupa rasa iri dan dengki lebih buruk dari jenis yang hanya mengeluarkan kobaran api dan melahap habis mereka yang tidak sayang negara?"

"Kau selalu begitu, memangnya para wakil rakyat tidak boleh selamat? Tidak semua dari mereka jahat, bukan?" 

"Sebagian besar, Daru, hampir semua. Ngomong-ngomong, kau habis apa sih?"

"Mencari bom tentu saja, siapa tahu mereka menyembunyikannya dalam tempat sampah." 

"Menjijikkan. Lagipula, aku baru tahu tempat sampah punya jantung." 

Daru menepuk jidatnya, "Ah! aku lupa, katanya ada dalam tubuh seseorang ya? Untung kau mengingatkanku. Aku terlalu bersemangat sepertinya." 

Semangat katamu? Buang-buang tenaga saja. Toh hari ini kita semua akan mati, lagipula tidak ada seorang pun selain kami dan para pelahap uang rakyat itu disini, siapa yang bisa dicurigai? Haruskah lagi-lagi kami, sebagai polisi yang terus difitnah. Atau mereka yang tidak mungkin rela mati dan meninggalkan hasil korupsinya?

***
Mereka sibuk memeriksa seluruh anggota dewan, aku terus menguap. Memperhatikan detik demi detik yang semakin tipis, menguap, lenyap, dan sebentar lagi habis. Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas, setengah jam menuju surga. Ya, surga, aku sudah terlalu banyak mendapat fitnah dan caci maki dari rakyat. 

"Sudahlah, Daru. Tinggal setengah jam. Segitu inginnya kau untuk hidup, coba, beritahu aku apa yang akan kamu lakukan jika hari ini kita selamat?" aku mengernyit sambil mengusap pelan peluh yang membasahi wajah panik Daru. 

"Peduli setan dengan hidupku, apalagi para lintah darat itu. Aku hanya mau tetap hidup karena aku menunggumu untuk menerima cintaku." 

Aku tersentak, melangkah mundur beberapa langkah, "Lalu, kamu akan rela mati setelah itu?" 

Laki-laki itu mengangguk ragu. 

Tunggu, kenapa jantungku tiba-tiba berdetak cepat? Bukannya masih dua puluh menit lagi? Jangan bilang, kematian kami, dipercepat? 

Curang sekali si perakit sok tahu itu!

Cepat-cepat aku mendekatkan bibirku ke telinga Daru, membisikkan sebuah kalimat yang seharusnya membuat dia tersenyum, "Baiklah, kalau itu maumu. Maaf ya." 

"Maaf?" tanyanya ragu. 

Aku hanya diam, air mata perlahan meleleh, membanjiri pipiku. Suara itu kini terdengar, lima detik lagi. 

Lima…

Empat…

"Suara itu.. kamu?" 

Daru, maaf ya. 

Tiga…

Dua…

Satu… 

Puas rasanya. Negara itu hanya perlu merekrut orang-orang baru yang lebih baik untuk menduduki kursi pemerintahan saja sekarang. 

Rasa sakit ini tak sebanding dengan kepuasanku, lagipula tak ada rasanya, kok. Kecuali, rasa bersalahku pada Daru yang agak menyesakkan dada. Tapi tak apa, toh dia akan menuju ke surga. 

Aku? Kau tanya aku menuju kemana? entahlah. Menurutmu? 

Minggu, 08 April 2012

Cerpen baru, sepertinya

Aku menggaruk-garuk kepala dengan kesal, mengapa otak ini urung bekerja lagi? Mengapa ide-ide yang dulu pernah kubanggakan menghilang begitu saja, menguap, lenyap? Aku mengerjapkan mata, menyadari bahwa inilah hari ke 79 sejak 'kematianku'. Ah, waktu memang tidak pernah memberikanku ruang untuk sekadar bernapas. 

20 Januari, hari terakhir aku menulis. Menulis fiksi tentu saja. Jujur, bahkan untuk ujian praktek aku menjiplak habis salah satu cerita yang pernah kutulis khusus untuk Dumalana. Lihat, betapa hinanya aku ini. Bocah ingusan, amatir, dan sok-sok an berhenti menulis? Bodoh. 

Ingin memutuskan untuk kembali ke dunia ini, tapi bingung juga mau menulis apa. Rasanya otakku ini sudah sepenuhnya berisi hapalan untuk ujian sekolah, rasanya ia berhenti untuk berimajinasi. Ayolah otakku, kembali ke duniamu ini. 

Yah, setidaknya aku masih bisa berimajinasi, barusan aku berbicara dengan otak kan? hahaha. 

Abu-abu Kelabu 

Dunia ini kelabu, hanya berwarna hitam dan putih. Ah, hitam bukan warna. Dunia ini hanya berwarna putih dan segaris abu. 

Menjalankan hari-hari yang begitu membosankan tentu bukan sebuah pilihan. Tapi setidaknya hari-hari seperti itu tidak beresiko, kamu tinggal berjalan sesuai arah angin, dan voila! 24 jam sudah kembali kau lewati. 

Hari-hariku ini membosankan, bosan karena aku tidak boleh menanggung resiko. lengah sedikit saja, dewa kematian akan mulai memburu nyawaku. Jujur, aku ingin sekali merasakan indahnya dunia luar, aku ingin menjadi benar-benar 'hidup'. Hidup untuk menjawab sebuah pertanyaan yang mungkin tak bisa dijawab oleh seorang ahli filsafat sekalipun. 

Apa itu arti hidup? 

Kau tahu, bagaimana rasanya saat melihat sekian banyak orang mencuri demi uang? Sakit. Aku merasa hina karena sama dengan mereka. Bayangkan saja, kami sama-sama tidak berdaya dan dikucilkan. Hanya bedanya, aku akan mati sebentar lagi, dan mereka? Mereka masih punya banyak waktu untuk menjadi lebih baik. 

Rasanya ketika melihat orang yang menikah dan meninggalkan orang tuanya begitu saja? Kesal, karena hanya mereka berdua yang kumiliki sekarang. Aku bahkan tidak bisa membalas jasa mereka, dan aku harus melihat manusia-manusia tak tahu terimakasih yang pergi begitu saja saat tak mau balas direpotkan. 

Pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? 

Kamu merasa dibutuhkan dunia? 
Lalu, kalau ditanya kau lahir untuk apa. Jawabmu? 
Bisa menyebutkan siapa saja yang butuh kamu?
Mama? Papa? Adik? Kakak? 
Bisa menyebutkan nama mereka satu persatu? 
Kalau bisa, maka kamu beruntung. 

Setidaknya kau lebih beruntung dari aku. 

Karena aku, tidak pernah sanggup menjawab pertanyaanku sendiri. 

Aku tidak tahu, aku lahir untuk siapa dan apa. 

Aku tidak dibutuhkan dunia. 

Jika kau tanya, siapa aku. 

Aku hanya setitik kecil di dunia, yang ingin memiliki hidup sepertimu. 

Aku hanya ingin hidup dalam artian yang sebenarnya, bukan sebagai onggokan daging yang bernapas. 

Aku iri, 

Aku iri denganmu, maka syukurilah hidupmu itu.

(bersambung) 

Ndre mau pergi dulu, nanti lanjut lagi :)