Minggu, 25 Desember 2011

Pelangi dan Cahaya Hati

Pelangi kalau warnanya cuma satu, namanya masih pelangi bukan ya?

Hah?

Kan orang nyebutnya beda-beda tuh. Kalau di Jepang, Niji. Di Korea, Mujigae. Kalau Amerika sana Rainbow. Nah, kalau pelangi warnanya Cuma satu namanya pelangi bukan?

Apaan sih? Nes bingung…

Yah, sama aja lah kayak jatuh cinta, Nes. Indahnya karena banyak warna, kalau Cuma satu warna sih enggak akan menarik. Dan tau sendiri kan, pelangi muncul sehabis turun hujan. Sewaktu titik-titik air itu dibiaskan matahari. Nah, mungkin saja suatu saat nanti akan ada cahaya yang membiaskan air matamu itu, menjadikan hidupmu kembali berwarna layaknya pelangi. Cahaya hati.  ­­
***

Aku menyipitkan mata, membiarkan wajahku diterpa sinar matahari. Rasa sakit di hati ini belum pulih, walau sudah setahun berlalu. Wajah ramah dengan mata teduh itu masih terus terngiang dalam benakku, dia yang suka membuat kesal sambil tertawa, Albert.

Hari itu, malam itu. Malam terakhir kami tertawa bersama, dimana percakapan tentang pelangi menjadi akhir dari perbincangan, sebelum monitor menggariskan tanda akhir napas kehidupan Albert. Ia bahkan belum sempat pamit. Cahaya hati, dan ia tertidur selamanya.

“Nes, sudah lah. Kakak juga mau kamu seneng, kan.” Tiara menepuk bahuku, mencoba mengendapkan air matanya yang hampir terkuras habis.

“Kok kamu tenang banget, Ra? Albert kan kakakmu.”

“Cukup lah, Nes, semuanya. Enggak ada gunanya sedih terus. Lagipula dia enggak akan kembali.” 

Aku mengangguk,  kutebarkan kelopak-kelopak bunga terakhir dari dalam keranjang dan beranjak pergi. Mencoba mencari kebahagiaan yang menjadi hakku.
***

Aku tahu usus buntu itu perlu perawatan, tetapi aku tidak pernah tahu kalau itu bisa berakhir maut.
Hari itu Albert muncul sambil tertawa, tawa hangat yang menjadi favoritku selama tiga tahun belakangan. Ia terlambat satu jam, tapi tidak masalah, aku sudah terlanjur luluh dengan tawanya itu.

“Nes. Maaf, Albert telat. Tadi motornya mogok di jalan.” Albert tersenyum sambil menggaruk lugu kepalanya yang tak gatal.

Aku hanya mengangguk, mataku tak pernah bisa lepas menatap wajah Albert. Tidak tampan, tapi ramah dan enak dilihat. Itu yang membuatku mampu berlama-lama duduk diam di hadapannya. Seperti malam ini, kami berdua duduk di bangku teras sambil mendengarkan musik.

Lagu demi lagu mengalun, terbawa keheningan malam dan hembusan angin. Hanya hembusan napas dan degup jantung yang terdengar selain itu, dimana dua perasaan yang telah bercampur selama tiga tahun menjadi semakin terasa.
Tiba-tiba Albert mengerang kesakitan, tubuhnya terhempas ke lantai. Aku lupa, tapi semuanya terjadi begitu saja. Hanya suara sirene Ambulance pemecah malam yang kemudian kuingat. Setelah itu aku sudah berada di rumah sakit, di sebelah laki-laki yang kucintai. Laki-laki yang tadi masih bisa berdiri tegap dan tertawa.

Peradangan usus buntu Albert terlambat dideteksi, ususnya sudah semakin membengkak dan infeksi parah. Hanya itu yang kutangkap dari penjelasan dokter tadi.

“Nes, jangan nangis lagi. Aku enggak apa-apa.” Suara lirihnya kembali terdengar, entah sudah keberapa kali ia memintaku untuk berhenti menangis.

“Tapi, Nesia enggak mau kehilangan Albert.”

“Nes, tau apa saja warna pelangi?”

“Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu.”

Setelah itu ia berbicara tentang pelangi dan cinta, kalimat paling serius yang pernah keluar dari mulutnya. Kalimat-kalimat yang akan selalu terpatri dalam hatiku selamanya. Dari pesan terakhirnya aku tahu, Albert tahu, hidupnya tidak akan lama lagi.

***

Baru saja aku terduduk di sofa sepulang dari jengukanku ke tempat peristirahatan terakhir Albert, terdengar suara pintu diketuk pelan dari luar. Dengan agak malas aku kembali berdiri dan beranjak membuka pintu.

Berdiri seorang lelaki yang sama sekali asing, umurnya mungkin sama denganku atau sedikit lebih tua. Rambutnya hitam legam bagai disemir, dengan hidung mancung bak bule Philippine. Turis dari mana, nih?

“Hai, selamat siang.” Sapanya ramah. Matanya memancarkan keteduhan yang nyaman. Tunggu, matanya. Aku kenal mata itu, sangat kenal.

“Siang,” jawabku pelan, masih terpana dengan apa yang barusan kusadari. Lama aku terdiam, menatap kearah wajah, hidung, senyumannya, sampai akhirnya kembali ke mata. Mata teduh itu.

Ia tersenyum, kemudian menyodorkan sebuah kertas kepadaku, “Sepertinya kau telah menyadarinya, Nes. Bacalah itu.”

Aku membuka lipatan kertas itu, dan menatap tajam, sebuah surat wasiat. Isinya pernyataan tentang pemberian retina kepada seorang pengidap tunanetra bernama Fabian Rahardja. Tidak cukup sampai disana, nama dan alamat rumahku juga tertulis dalam surat itu.

“Perkenalkan, namaku Fabian. Fabian Rahardja.”

“Nesia,” Aku membalas jabatan tangan Fabian sambil tersenyum.

Mungkinkah Fabian yang akan menjadi sang cahaya hati pembias air mataku ini? menjadikan hidupku kembali berwarna layaknya pelangi? Mungkin saja. 

Sabtu, 12 November 2011

You, it's you

Australia is a continent, about koala and kangaroo. But it kept memories behind it, memories of our friendship that brought back here, within the heart.

I’m just a Chinese-blood kid from Indonesia that could see koala and kangaroo for like everyday years ago. I was born in Australia and have been living there for a year. But still, I’m different to them. I have black hair, un-pale white skin, and I didn’t do tanning. For a year I’m there, and for a year I felt really different. But it’s not a problem when I met you, the one that made me became more comfortable and believe in myself.
                
You’re one of my Australian best friend that knows me more than myself do. Until it’s the time for me to move to Indonesia and live our memories there. For some reason we lose contact and didn’t spoke with each other for like 2 years or more.
                
Then one day, I got a phone call from an unknown number, and as you know I never had a nerve to pick up any call from an unknown number. But that day, my heart said, “Pick it up, you’ll not regret it.” So I pick it up, and smiled. I heard your voice.
                
From that day we’re getting back in contact. You forced me to made you a facebook account because you wanted to talked to my new friend, Ivon Cheshire Joanne, or in Indonesia Novi Hartanti. Then you two became a sweet couple :’)
                
As the time goes by, we knew Vinta and you introduced Dylan to us. We became besties that made me wanted to open my facebook account everyday, to laugh and play together. It was the greatest time of my life.
                
Until today, 13 November 2011. I heard you’re in a critical condition and can passed away anytime because of a broken leg that became more worse because of the haemophilia that you suffered of. Although the doctor said that there’s no more hope, I’m still wishing that I could talked to you one more time. Wishing for a miracle and seeing you online for facebook. Seeing a message or wall post from you that says, “hey guys, I’m back!” like you always do.
                
Maybe all of this gonna end soon, but maybe as you always said. That good in our bye later could matter as the hell in our hello doesn’t matter at all. See? I, we will missed you bro and bestie. 

Sabtu, 15 Oktober 2011

Mesin Waktu

Deru ombak membentuk harmoni, dan awan putih berarak menyelimuti birunya langit. Kuintip Papa yang sedang menebar abu ke laut. Sejenak kusipitkan mata kearah sinar matahari yang kini tepat bersinar diatas ubun-ubun, aku berusaha untuk tidak menangis. Tetapi walau berapa kalipun kuusap, bulir-bulir kesedihan ini tak kunjung lelah berpacu di pipiku.

“anak laki-laki ga boleh nangis. Kamu harus kuat. Ingat, kamu punya dua adik yang akan menjadikanmu panutan mereka.” Kuingat kata-kata yang selalu diucapkan mama setiap kali aku menangis, entah karena terluka atau saat merasa takut.

           Mungkin sekarang lah kata-kata itu menjadi sangat bermakna dalam hatiku, suara lembut ibu terngiang di telinga dan seakan menyelimuti hatiku dengan kehangatan. Bagaimana tidak, pemilik suara itu telah membimbingku dengan sabar dari kecil sampai umurku yang keempat belas.

Mama, seorang wanita berhati mulia meninggal dua hari yang lalu karena kecelakaan lalu lintas. Hari itu, tanggal 12 Oktober bertepatan dengan hari ulang tahunku mama berjalan sendirian di tengah hujan demi berjualan nasi bungkus yang nanti uangnya akan dipergunakan untuk membeli kue ulang tahunku. Tiba-tiba sebuah mobil bak terbuka yang dikendarai seorang sopir mabuk meluncur cepat tanpa menyadari ada seorang perempuan sedang berjalan pelan di depannya. Dalam hitungan detik seluruh dagangan mama jatuh berantakan, bersamaan dengan tubuhnya yang langsung kaku berlumuran darah.

Hal yang pertama papa lakukan setelah menerima telepon adalah memanggilku. Saat itu wajahnya tampak sangat pucat karena memendam kalut. Ia mengajakku duduk di bangku anyam kecil di teras kami.

Papa menyulut sebatang rokok kemudian duduk di sampingku, ia menghembuskan napas kemudian menatap kearah rintikan hujan diluar. “Elang.” Panggilnya tak kuasa melihat wajahku.

“iya, pa?” jawabku cemas.

“Mama, lang.. Mama. Ia kecelakaan barusan.” Dengan terbata akhirnya ia mengatakannya.

           Jantungku seakan berhenti saat itu juga, seluruh tubuhku lemas. Aku hanya menatap kosong kearah papa. “serius, pa? Kenapa bisa..” suaraku bergetar menahan tangis.

“papa juga belum tau pasti. Ayo sekarang kita ke rumah sakit.” Papa menjawab dengan singkat dan sangat pelan. Setelah menatap wajah tegarnya aku segera mengikuti papa ke motor tuanya dan membonceng di belakang.

Di rumah sakit seorang dokter menghampiri aku dan papa yang tengah terduduk lesu di kursi. “kalian keluarga ibu yang disana?” tanyanya sambil menunjuk kearah ruang dimana mama ditempatkan.

“iya, saya suaminya dan ini anaknya. Bagaimana, dok?” Papa segera berdiri dan menunggu jawaban dokter penuh harap.

Dokter di depan papa menggeleng. “sepertinya bapak sudah tau kalau ia sudah tidak dapat diselamatkan, kami telah menggunakan segala cara. Tapi apa daya, Tuhan berkehendak lain.” Ia menepuk pundak papa prihatin. “saya pamit dulu. Yang sabar ya, pak. Tuhan pasti punya rencana.” Lanjutnya, kemudian pergi meninggalkan kami.

Tubuh papa melemas dan terjatuh, lutut dan tangannya menghantam lantai. Ia menangis, menumpahkan segala kesedihan yang disimpannya sejak tadi. Aku tak kuasa melihatnya. Perasaanku semakin kacau dan pesimis. Tadinya, aku masih memiliki harapan bahwa kami bisa hidup tanpa ibu. Tetapi ketika melihat seorang panutan terhebatku kehilangan seluruh harapannya, harapanku pun perlahan menghilang.

“kak Elang..” panggilan Dito, adik terkecilku memecah lamunanku.

“iya Dit, ada apa?” suaraku terdengar sangat parau. Selama dua hari ini aku kurang tidur karena sibuk membantu papa.

“kapan ibu pulang, kak? Dito kangen nih..” Pertanyaan Dito membuatku tersentak dan bingung harus menjawab apa.

“ibu mungkin akan lamaaa… Sekali pulangnya, Dit. Tapi kamu yang sabar ya. Karena yang terpenting, walaupun raga ibu gaada disamping kita, tapi jiwa dan kebaikannya akan selalu ada disini. Selamanya.” Aku menjawab pertanyaan Dito dengan yakin sambil menunjuk kearah dadanya, sebagai penanda bahwa ibu akan selalu ada di hati kami masing-masing.

Dito mengangguk ragu, sambil menaruh telapak tangannya di dada. “jadi, Dito nanti tidur sendirian dong? Dito takut kak.” Ia melanjutkan.

“hahaha, enggak juga kok, Dit. Kamu bisa tidur sama kakak atau Kak Cempaka.” Aku menjawab pertanyaan lugu Dito dengan sedikit tawa geli.

“oh yaudah kalau gitu Dito bakal nunggu mama dengan sabar deh.” Ia tersenyum lebar, menunjukkan barisan gigi kuning dengan satu ompong. Kemudian berlari kecil kearah pantai dan mulai bermain pasir seorang diri.

Diujung sana, kuperhatikan Cempaka sedang menulis dalam buku diary warna biru. Matanya menerawang menatap langit, seakan sedang berpikir keras. Setelah terdiam cukup lama akhirnya ia menjentikkan jari dan menulis beberapa kalimat pendek dengan semangat, kemudian berhenti dan kembali menatap langit.

Penasaran dengan apa yang ditulis Cempaka aku berjalan pelan mendekatinya. “lagi apa, Cempaka?” tanyaku sambil menendang-nendang pasir putih bagaikan tepung yang menggelitik kakiku.

“ah? Kakak? Cempaka lagi nulis cita-cita Cempaka.” Jawabnya sambil tersenyum.

“cita-cita? Emang cita-cita Cempaka apa sih?” godaku padanya, anak sekecil Cempaka yang masih berumur tujuh tahun biasanya belum bisa menentukan cita-cita yang pasti.

“Cita-cita Cempaka.. Cempaka mau belajar yang rajin, rajin berdoa, rajin segalanya yang bagus-bagus. Biar mama di surga seneng ngeliat Cempaka ga bikin papa tambah stress.” Ia membacakan tulisan berantakan di dalam bukunya. Aku tersentak mendengar apa yang barusan dikatakan olehnya. Cita-cita Cempaka bukanlah menjadi seorang model seperti Kim Kandarshian atau penyanyi seperti Anggun. Ia memiliki cita-cita yang berbeda dengan orang lain, cita-cita mulia yang belum pernah kudengar sebelumnya. Kemudian aku menyadari, aku tidak pernah mengetahui apa arti dari cita-cita yang sebenarnya.

“emangnya Cempaka tau cita-cita itu apa?” Aku tertawa kecil sambil mencubit pipi bulat adik pertamaku itu.

“emm.. kata mama, cita-cita itu sesuatu yang bikin kita seneng waktu ngelakuinnya. Cempaka seneng kalau mama seneng. Jadi, cita-cita Cempaka ya bikin mama seneng.” Aku terdiam mendengar jawaban dari anak perempuan mungil namun bijaksana di depanku. Kutatap matanya lekat-lekat, ada sinar kerinduan bercampur harapan dan keyakinan di dalamnya.

Sesederhana itu ya? Tanyaku dalam hati. Ya, sesederhana itu.

Perlahan senyumku mengembang. Muncul sebuah semangat baru dalam diriku. Sebuah semangat yang mendorongku untuk bangkit dari segala kesedihan dan mewujudkan cita-citaku. Bukan, bukan menjadi seorang dokter, arsitek, atau seorang presiden. Cita-citaku adalah membantu kedua adikku dan papa untuk  membangun kembali semangat dan impian yang telah lama dibentuk. Demi kebahagiaan mama dan kami semua.

Sesederhana itu? Ya, sesederhana itu.
***

Awalnya sulit untuk membiasakan diri dengan tidak adanya lagi kehadiran mama di rumah. Beberapa kali makan pagi yang disiapkan papa gosong, lantai rumahpun penuh debu karena tak ada yang membersihkan. Tapi hal yang paling menyakitkan adalah tidak ada penasehat bijaksana kami lagi, serta peluk dan ciuman hangat ketika kami bangun tengah malam karena mimpi buruk.

“susah ya, Pa? tanpa mama.” Aku menghampiri papa yang sedang merebus mie untuk makan malam di dapur.

“iya pastinya, Lang. Tapi kita pasti bisa kan? lagian kalau kayak gini kita bisa ngerasain gimana susahnya jadi seorang ibu.” Senyum papa merekah dibalik kumis lebatnya, tangannya mengacak-acak rambutku pelan.

Aku membalas senyuman papa kemudian menatap wajahnya. “iya, pa. Papa bener, kita pasti bisa. Ayo kita lakuin semuanya sendiri.”

Papa menjabat tanganku, “deal.” Ucapnya mantap kemudian tertawa keras.

Tiba-tiba terdengar ketukan pelan dari arah pintu depan. Karena papa sedang memasak akhirnya aku berinisiatif untuk membukakan pintu. Ketukan tadi semakin mengeras, kuprediksikan tangan yang sedari tadi menghantam pintu kami adalah tangan yang sangat besar. Sejenak aku terdiam, membayangkan hal-hal bodoh yang selalu dipikirkan oleh seorang penakut. Apa itu di depan sana? Siapa yang mengetuk? Hantu? Atau monster?

Ketukan di pintu semakin keras dan cepat. Sambil memejamkan mata dengan erat akhirnya kuberanikan diri untuk membukakan pintu, dengan perlahan.

 Kurasakan hembusan angin malam merambat masuk melalui celah-celah kecil celana jins kebesaran yang melekat di kakiku. Aku mengusap-usap mata kemudian menengadahkan wajah untuk melihat siapa yang datang. Belum terlihat, hanya sekelibat bayangan hitam muncul dari balik gelapnya malam.

“permisi? Boleh saya masuk?” bayangan tadi mengeluarkan suara. Aku menghembuskan napas lega ketika mengetahui bahwa itu manusia. Tapi tubuhku kembali menegang, itu siapa?

Ia berjalan perlahan mendekatiku. Wajahnya kini terlihat jelas. Wajah penuh wibawa dan kehangatan dilengkapi dengan kerutan-kerutan halus dan rambut yang telah memutih. Ia tersenyum ramah. Walaupun sudah tua, wajah itu masih terlihat rupawan.

“boleh saya masuk?” ia mengulangi pertanyaannya.

“pa! papa!” aku berteriak nyaring memanggil papa, perlahan kakiku bergerak mundur beberapa langkah.

Papa tergopoh-gopoh keluar dari dapur karena mendengar panggilanku. “ada apa, Lang?” ia bertanya, nada suaranya terdengar sedikit panik. Kemudian, ia diam terperangah. Matanya menatap takjub kearah sosok di depan pintu.

“bapak?” papa berlutut dan mencium tangan lelaki yang juga telah dipenuhi kerutan dan urat-urat halus yang menonjol.

“berdirilah, nak.” Laki-laki itu berbahasa Indonesia, namun dengan logat Jawa.

“duduk dulu pak, saya ambilkan minum.” papa dengan sigap mengambilkan kursi untuk tiga orang, mengaturnya agar membentuk lingkaran. kemudian berlari ke dapur.

Papa kembali dengan dua cangkir kopi hitam dan segelas sirup berwarna hijau. Kemudian ia ikut duduk di salah satu kursi.

“Pak, ini Elang. Anak saya dan Shifa. Kami punya tiga anak, laki-laki yang tertua serta dua adik perempuan dan laki-laki.” Ia memulai pembicaraan sambil menata minuman diatas meja.

Laki-laki yang dipanggilnya bapak itu mengangguk ke arahku, kemudian meneguk sedikit kopi dari cangkir.

“Elang, saya ayah dari mamamu. Panggil saja Kakek Seno.” Aku mengangguk kemudian memberikan senyuman teramahku.

“dan, Aryo.” Ia kemudian menengok dan memanggil nama papa. Yang dibalas dengan tatapan bingung papa.

“saya perlu berbicara sebentar denganmu, berdua saja.” Kakek melanjutkan kalimatnya.

Papa melihat kearahku untuk meminta pengertian. Aku segera berdiri dari kursi “kalau begitu aku ke dapur dulu ya, kek.” Kataku sopan sambil beranjak ke dapur.

Aku mengintip sedikit dari balik tembok. percakapan mereka memang tidak terdengar, tapi setidaknya aku dapat menebak apa yang mereka bicarakan. Aku melihat raut wajah papa mulai berubah, ia menunduk. Mata papa menjadi sayu dan bingung bercampur kecewa, ia terus mengangguk pasrah.

Sepuluh menit kemudian mereka berhenti. Papa membuka pintu, mencium tangan kakek kemudian mengantarnya sampai masuk ke dalam taksi yang sedari tadi terparkir di depan rumah. Setelah menutup pintu taksi ia kembali masuk ke rumah.

“pa, ada apa? Tadi papa sama kakek bicarain apa?” aku mengejar langkah papa sambil bertanya. Hatiku dipenuhi oleh rasa penasaran yang kian menggebu.

Papa hanya menengok sebentar kearahku, kemudian kembali menunduk dan berjalan masuk ke kamarnya, “besok saja, papa lelah. Kamu tidur ya.” Katanya tepat sebelum menutup pintu.

Aku menuruti perkataan papa, kulangkahkan kakiku ke kamar. Namun setelah masuk, kuurungkan niatku untuk tidur. Alih-alih berbaring di tempat tidur aku terduduk di kursi sambil membuka laci meja.

Belum sempat aku berbuat apa-apa, terdengar suara tangisan Dito dari arah kamar Cempaka. Aku segera lari dan beranjak masuk ke kamar Cempaka.

“Dito mimpi buruk kayaknya kak, tiba-tiba nangis.” Cempaka sedang mengusap-usap kepala Dito ketika aku masuk, ia terlihat sangat mengantuk dengan rambut acak-acakkan dan wajah bagai tak bernyawa.

“oh, ayo sini Dito. Ikut Kak Elang ya. Kasian Kak Cempaka udah ngantuk.” Aku menggandeng tangan Dito, hendak membawanya ke kamar.

“Kak Elang.” Cempaka memanggilku lirih.

“ya?” jawabku sambil menatap wajah mungil di depanku.

“Cempaka boleh tidur sama kakak juga? Cempaka kangen tidur sama kakak.” Ia memandang kearahku penuh harap, kamudian berdiri dan mengambil selimutnya setelah kuberikan anggukan.

Malam itu, kami bertiga tidur di bawah terangnya cahaya bulan dan hiasan bintang yang tertempel di dinding serta langit-langit kamar. Walaupun tidak asli, bintang-bintang yang dibelikan ibu waktu aku kecil itu dapat menggantikan gugusan bintang di langit luar yang dulu selalu bercahaya, namun sekarang telah hilang tertimpa asap polusi.

Mungkin bagi siapa yang mendengarnya, hal yang kami lakukan ini biasa atau bahkan konyol. Awalnya aku pun berpikir begitu, ketika aku belum menyadari bahwa hari ini adalah malam terakhirku bersama dengan mereka.
***

Pagi ini berbeda dari biasanya. Masakan papa yang biasanya sederhana menjadi sangat mewah. Ada roti goreng telur yang dilengkapi dengan irisan sosis, pisang goreng, sayur brokoli rebus, dan jagung bakar. Sebagai minuman, papa menyediakan tiga gelas cokelat panas dan segelas cappuccino.

Aku, Cempaka, dan Dito memandang takjub kearah meja makan. Serentak kami melihat ke kalender, kalau-kalau ada peristiwa penting. Namun nihil, hari ini adalah hari Selasa biasa.

Papa keluar dari kamar ketika melihat kami bertiga berlari gaduh, berebut menuruni tangga. Kami tidak sabar untuk segera mencicipi semua makanan enak diatas meja.

“wah wah, pagi-pagi sudah ramai sekali kalian ini. Ayo sekarang cuci tangan dulu lalu kita makan.” Papa tertawa melihat kelakuan kami.

Semenit kemudian kami bertiga telah duduk rapih diatas meja sambil menggenggam sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Setelah doa bersama kami mulai makan dengan lahap. Kecuali Papa, ia hanya diam menatap makanan di piring.

“pa, gak makan?” aku bertanya dengan mulut penuh makanan.

“nanti aja, kalian makan dulu. Oh ya, Lang. Habis makan ikut papa ke taman luar.” Jawab papa dengan nada sendu. Kemudian ia berdiri dan berjalan keluar sambil merokok.

Aku menatap bingung kearahnya. Segera kuhabiskan makanan yang tersisa lalu mengikuti papa keluar setelah mencuci tangan. “ada apa, pa?” aku bertanya sambil berdiri di samping papa.

“Elang.” Papa menatapku, ia menunjukkan wajah tak tega.

Oh tidak, aku pernah mengalami saat seperti ini juga dulu, dihari mama meninggal. Jangan sampai kejadian seperti dulu terulang lagi. Aku memejamkan mata sambil berdoa kepada Tuhan.

“kamu harus ikut kakek ke Tuban, Jawa Barat. Keretanya siang ini jam dua. Koper serta isi-isinya sudah papa siapkan, kamu tinggal berangkat saja.” Ucapnya penuh wibawa, aku tau ia sedang mencoba untuk tetap tabah.

Cita-cita untuk membahagiakan mama dan keluargaku hancur berkeping-keping. Bahkan pondasinya yang berupa harapan dan keyakinan pun diruntuhkan oleh kenyataan bahwa aku tak akan tinggal bersama keluargaku lagi. Tidak ada hari-hari bersama, tawa dan canda pun takkan pernah kudengar lagi. Tak akan pernah.

Aku mencoba untuk tetap kuat dan melihat dalam ke mata papa. “kenapa, pa? kenapa? Apa salahku?” tanyaku lirih.

“enggak, Lang. Kamu gak salah. Papa yang salah, maafin papa nak.” Papa balas melihatku, matanya penuh keteguhan dan mulai digenangi oleh air mata yang hampir turun.

Tatapanku semakin dalam. “sepertinya aku tahu apa permasalahannya. Papa pasti dibilang tidak bisa menjaga mama, kakek gak percaya lagi sama papa lalu mau merawatku. Dan nantinya dia juga akan mengambil Dito dan Cempaka. Tega banget sih pa..” bibirku bergetar menahan perasaan yang campur aduk. Sedih, takut, dan marah bercampur jadi satu.

“ya, kamu benar.” Papa menjawab kemudian kembali mengatupkan mulutnya, memberikan jeda untuk meredakan amarahku. “kamu benar, papa gak bisa ngejaga mama. Papa gak bisa ngejaga kalian semua. Kalian pasti akan lebih bahagia kalau tinggal bersama kakek Seno di rumahnya yang besar dan mewah, setiap hari kalian juga akan dimasakan makanan yang enak-enak. Masakan papa pagi ini tidak akan ada artinya kalau dibandingkan dengan yang disana.”

“enggak pa, kalau dibilang disana lebih enak aku kira papa salah besar. Aku kira papa gak ngerti apa arti sebenarnya dari kebahagiaan. Bahagia bukan cuma soal materi atau fasilitas, tapi masalah perasaan. Perasaan aman, perasaan bahagia. Aku mendapatkan perasaan itu waktu di rumah ini, waktu berkumpul bersama keluarga kecil kita. Aku bahagia ketika dikelilingi orang-orang yang kusayang, bukan steak lezat atau tv 51 inci!” Akhirnya air mata yang sedari tadi kutahan meleleh juga, seiring dengan meluapnya seluruh perasaanku.

Papa terdiam, matanya kosong. Ia memelukku erat, sangat erat seakan tidak akan pernah dilepaskan kembali. “maafin papa, maafin papa Elang. Ini semua salah papa.” Ia berbisik.

“enggak pa, papa itu orang yang paling bertanggung jawab yang pernah kulihat. Papa itu penutanku dalam menentukan setiap langkah dalam hidup. Sekarang aku akan membalas semua jasa papa dengan tinggal bersama kakek di Tuban.” Aku membalas perkataan papa setelah ia melepaskan pelukannya.

“wah, udah jam dua belas. Aku harus bersiap sekarang.” Tanpa memberikan papa kesempatan untuk berkata-kata lagi aku segera berlari ke dalam kamar, berganti baju dan mempersiapkan semuanya. Setelah itu aku kembali turun dan menemui papa juga kedua adikku dengan koper biru tua di genggamannya.

“kak, kita pasti bakal kangen banget sama kakak.” Cempaka memelukku dengan matanya yang sudah memerah. Diikuti dengan Dito yang menangis sesenggukan.

“iya, kakak juga pasti akan kangen banget sama kalian.” Aku balas memeluk mereka dengan Mata yang mulai berkaca-kaca kembali.

Papa ikut memelukku erat. “Suatu saat, papa janji. Papa akan bawa kamu kembali ke rumah ini, Lang. Kembali berkumpul dengan kita semua.”

Kami mulai melepaskan pelukan satu persatu. Cempaka mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ungu kecil yang selalu dibawanya kemanapun.

“Ini kak, buat kakak.” Ia menyodorkan buku diary biru kesayangannya, aku terperanjat melihatnya.

“tapi kan, ini punyamu?” kataku ingin menolak buku yang disodorkannya.

“buat kakak. Ini mesin waktu.” Ia berjinjit dan membuat buku itu sejajar dengan wajahku. Akhirnya kuraih buku itu dan kumasukkan ke dalam koper yang masih seperempat kosong.

“kak, Elang. Kak, Elang. Jangan lupain Dito ya! Walaupun Dito, Kak Cempaka, sama papa gaada di samping kakak nanti, selalu inget kalau kita ada di dalam situ kak.” Dito melompat-lompat dengan semangat kemudian menunjuk kearah dadaku, sama dengan apa yang kulakukan saat dipantai.

“terimakasih semuanya. Makasih, pa. Makasih, Cempaka. Makasih, Dito.” Aku tersenyum kemudian memeluk mereka satu persatu sebelum aku melangkah keluar untuk naik ke taksi karena mobil papa sedang direparasi, sehingga tidak bisa dipakai untuk mengantarku.

Kini aku telah siap untuk berangkat dengan bekal janji dari papa, mesin waktu Cempaka, dan hati yang akan selalu menyimpan segala kenangan dengan mereka semua.
***
Empat tahun telah berlalu sejak aku meninggalkan rumah di Indonesia dan pergi ke Tuban. Rumah kakek Seno dua kali lebih besar dari rumahku dulu, namun tetap saja aku tidak merasakan kehangatan sebuah keluarga disini.

Aku sedang melambai pada anak perempuan di seberang jalan yang duduk dengan anjing putih di pangkuannya, ketika sebuah buku kecil berwarna biru jatuh dari ujung meja. Aku mengingat tentang pemberian Cempaka padaku, sebelumnya aku tidak pernah bisa membuka buku itu karena Cempaka lupa memberikan kuncinya. Namun kini secara ajaib buku itu telah terbuka begitu saja. Kulihat tulisan besar di halaman paling depan. “MESIN WAKTU KE MASA LALU.”

Aku menggerakkan tangan untuk mengambil dan membalik halaman-demi halaman buku tersebut. Disana terekam segala peristiwa yang terjadi dalam keluarga kami. Saat aku dan kedua adikku berkelahi, ataupun saat kami merayakan ulang tahun dan hari ulang tahun perkawinan mama dan papa. Sehelai bungkus cokelat yang pernah kuberikan pada Cempaka saat meminta maaf setelah kami perang dingin juga masih terempel rapih di dalam sana.

Aku terus membalik dan membaca halaman demi halaman dengan seru, sampai saat aku menyentuh kertas yang agak lusuh karena mungkin sempat terkena tetesan hangatnya air mata. Halaman itu berisi tentang hari dimana mama meninggal. Hanya cerita penuh haru biru yang tertulis disana, juga di halaman-halaman selanjutnya. Perbedaan yang sangat terasa dengan sebelum mama meninggalkan kami semua.

Aku hampir menangis ketika akhirnya tanganku membalik ke halaman terakhir buku tersebut, dalam halaman itu tertulis sebuah surat pendek yang ditujukan kepadaku.

Dear, Kak Elang
Kak, mungkin saat kakak membaca ini kita udah gak sama-sama lagi. Mungkin saat itu kakak udah ngelupain kita semua. Aku bukannya mau membuat kakak inget lagi dengan kita setelah membaca surat dan buku ini, aku cuma mau membagi sedikit pikiranku pada kakak. Kakak tau? Mesin waktu itu sebenarnya bukan sebuah mitos. Karena kakak sekarang sedang memegangnya. Buku ini adalah sebuah mesin waktu ke masa lalu, mesin waktu yang bernama kenangan. Kenangan dapat membawa kita ke masa lalu, sama halnya dengan fungsi dari mesin waktu. Kakak sudah membaca diaryku? Kalau sudah berarti kakak baru saja menaiki mesin waktu ke masa-masa dimana kita semua bersama sebagai satu keluarga, saat masih utuh dan saat tidak utuh lagi. Nah, setelah selesai membaca buku ini aku ingin kakak segera menutupnya lalu menaruh buku ini di dalam tempat yang tidak akan pernah kakak buka lagi. Agar segala hal tentang masa lalu ini tidak menghalangi kakak untuk melakukan perjalanan dalam menaiki mesin waktu yang lebih lama ke masa depan, namanya impian dan cita-cita. Sebuah perjalanan yang membutuhkan persiapan bertahun-tahun dan tidak boleh pupus hanya karena ingatan tentang masa lalu dan penyesalan akan kesalahan-kesalahan yang dibuat dulu. Sekarang, bangunlah mesin waktu ke masa depan yang indah di dalam diri kakak, ciptakan sebuah impian dan cita-cita yang telah dikencangkan dengan sekrup berupa keyakinan dan harapan. Kemudian tancapkanlah itu di dalam hati kakak agar terus berada disana dan tidak pernah hilang dimakan waktu atau kegagalan sementara. Sekali lagi, setelah ini tolong tutup diary Cempaka dan masukkan ke tempat yang tidak akan pernah terlihat oleh kakak lagi. Kemudian buatlah mesin waktu untuk merajut masa depan yang indah. Tetapkanlah impian dan cita-cita kakak. Ingat, kak. Cita-cita adalah sebuah hal yang membuat kita bahagia saat melakukannya. Karena kunci kehidupan adalah bahagia. Dan nanti kalau kakak udah sukses, Cuma satu permintaan Cempaka. Tolong kunjungi rumah keluarga kita ini sekali saja, Cempaka kangen kakak.
Dari pendukung setia kakak, Cempaka Kailani Putri.

Aku tertegun membaca surat dari Cempaka. Apalagi setelah kuingat bahwa Cempaka baru berusia tujuh tahun ketika membuat surat ini. Ia adalah anak cerdas yang memiliki pengertian tersendiri tentang hidup, ia selalu berhasil membangkitkan semangat untuk membangun kembali cita-citaku.

Kututup buku diary itu dan kumasukkan ke dalam laci terbawah meja belajarku yang masih kosong sama sekali. Agar segala penghalang menuju masa depan itu menghilang, kulemparkan kunci laci meja berwarna kuning mengkilat di genggamanku keluar jendela.

Sekarang aku berani untuk berjanji pada diriku sendiri. Berjanji untuk memikirkan setiap langkahku dalam hidup, berjanji untuk mulai menciptakan mesin waktu khusus untuk diriku sendiri. Mesin waktu berupa impian dan cita-cita yang telah disekrup oleh harapan dan keyakinan. Kemudian nantinya akan kutancapkan dalam hatiku agar selalu teringat selamanya berapa kalipun aku terjatuh. Aku yakin, aku akan sukses. Dan nanti ketika sukses aku akan menepati permohonan Cempaka untuk kembali ke hangatnya keluarga kecil kami. Tunggu aku, papa. Tunggu aku, Cempaka. Tunggu aku, Dito. Aku akan pulang ketika aku berhasil sampai dan turun dari mesin waktu ke masa depan indahku. 

Sepanjang hayat

Kutatap dua anak bermuka mirip yang sedang bersenda gurau di sofa dari balik kacamata berlensa plusku. Air mataku mulai menggenangi pelupuk mata. Perasaan bangga, senang, dan haru seakan membasuh luka yang takkan pernah hilang dalam hatiku.


“cucu-cucuku. Kalian mau dengar cerita nenek?” tanyaku pada dua kakak adik di depanku.


“mau, nek! Mau.” Vina, yang berpredikat sebagai kakak langsung duduk manis dan menepuk punggung Vara, adiknya agar ikut tenang.


Mataku menerawang, berpikir darimana aku harus mulai. Walaupun rambutku telah memutih serta kulitku telah berubah kasar dan berkerut, namun hati ini masih tetap menyimpan segala rekaman akan memori di masa lalu.


“dulu, waktu umur nenek bahkan belum mencapai 17 tahun, ayah nenek dimutasi kerja ke sebuah kantor di tengah kota Jakarta.” Aku memulai cerita dengan antusias.


Saat itu, tepatnya tahun 1963 aku terpaksa pindah rumah karena ayah dimutasi kerja ke Jakarta. Perasaan gembira dalam hatiku meletup-letup, apalagi ketika mengetahui kenyataan bahwa sekolahku adalah sekolah nomor 3 paling elit di seluruh Jakarta.


Tidak ada yang spesial awalnya. Kegiatanku setiap hari hanya belajar, belajar, dan belajar demi mencapai juara nomor 1 bertahan dalam setiap olimpiade dan peringkat sekolah. Saat itu, aku merasa bahagia dengan apa yang selalu kulakukan.


Sampai aku mengenal cinta…


“hey, Rinai. Boleh pinjam PR?” Aku masih mengingat perkataan wajibnya tiap pagi saat aku memasuki kelas. Ia selalu datang paling pagi demi menungguku dan meminjam PR, bagiku itu tidak masalah karena percakapan kami setiap pagi soal PR dapat mendekatkanku dengannya.


Dia adalah Bima. Seorang pelari jarak jauh terbaik di sekolah, orang pertama dan terakhir yang pernah mengisi relung hatiku.


Bima, hampir tidak ada kelebihan selain kakinya yang selalu berlari cepat bagai peluru. Kulitnya hitam dengan wajah rata-rata, badannya kurus ceking karena terlalu sering latihan. Nilainya pun buruk, maklum saja, ia terkenal sebagai siswa yang paling malas di sekolah. Lalu, mengapa aku begitu memujanya? Jika ditanya seperti itu aku akan selalu menjawab, aku tidak punya alasan. Karena menurutku cinta sejati itu tak bersyarat.
***
“wah, wah nek. Ternyata nenek pernah muda juga ya. Aku kira nenek lahirnya langsung gede.” Potong si kecil Vara polos.


Aku terkikik geli mendengar omongan Vara. “iya dong Var, nenek kan juga dilahirin sama mama nenek. Sama kayak kamu dan Vina, kalian waktu dilahirin nggak langsung segini kan?” Jawabku sambil menggerakkan kedua tanganku yang sudah melemah karena dimakan usia dan penyakit diabetes untuk mencubit kedua pipi bulat milik Vara.


“hus, jangan ganggu dong var! cerita nenek kan lagi seru, nanti nenek keburu lupa loh.” Vina berbicara dengan nada marah sambil menepuk paha mungil adiknya.


“hahaha, kalian ini. yasudah, nenek lanjutkan lagi ya. Sampai mana tadi?” aku berusaha memotong perkelahian mereka agar tidak semakin panjang.
***
Sempat kucoba untuk membuat sebuah surat cinta untuknya, dan isi surat itu masih kuingat persis sampai sekarang.


Bima, awalnya kau tampak biasa saja di mataku. Hanya seorang laki-laki pemenang banyak piala dalam lomba lari antar Negara. Namun lama kelamaan, perasaan itu mulai terajut dalam hatiku. Sebuah perasaan yang tak akan pernah bisa ditolak oleh siapapun, karena ia begitu mulia dan rasanya tak akan pernah bisa dideskripsikan oleh seorang filosofis terhebat sekalipun. Sebuah perasaan yang memiliki makna luar biasa, sebuah perasaan yang bernama cinta. Mungkin kamu akan berpikir kalau surat ini konyol dan gaada artinya. Sama sepertiku pada awal masuk ke sekolah ini. Bagiku dulu, cinta bukanlah apa-apa. Prestasilah yang terpenting. Namun, ketika aku mulai mengenalmu dan cinta, hidupku yang bagaikan mantra diulang-ulang pun menjadi lebih berwarna. Terimakasih, kaulah cinta pertamaku.


Lucu memang rasanya ketika mengingat ulang surat yang pernah kutulis beberapa tahun silam itu. Namun, saat itulah pertama kalinya aku mau mencoba jujur tentang perasaanku. Walaupun akhirnya surat itu pun musnah ditelan api perapian.
***
“api perapian, nek?” mata Vina membulat, penuh rasa ingin tahu.


“ya, surat itu tidak pernah sampai pada Bima. Surat itu ditemukan oleh ayah nenek lalu dibuang ke perapian. Setelah itu nenek merasa kalau Bima bukanlah jodoh nenek.” 
***
Gagalnya pemberian surat tersebut ke tangan Bima membuatku patah hati dan semangat. Setiap hari yang kulakukan hanyalah melamun tentang Bima. Nilaikupun mulai tak menentu bagai tangga nada, naik turun. Akhirnya kutancapkan sebuah tekad di dalam hati, bahwa aku akan mencoba untuk berhenti menyukainya. Berusaha untuk melupakannya.


Awalnya memang sulit, bahkan terbawa sampai mimpi. Namun seiring waktu berjalan, perasaan itu mulai terhapus sedikit demi sedikit. Sampai aku tidak pernah mau berbicara lagi dengan Bima. Akhirnya perasaan yang kian menggebu itu pun hilang, sepenuhnya.


Namun cerita tidak berhenti sampai disini. Ceritaku masih panjang…


Hari itu, tanggal 15 Januari. Bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke 17, atau yang biasa dianggap sebagai sweet 17 ia datang ke rumahku dan membawa sebuket bunga. Bima mengetuk pintu dan segera berlutut di hadapanku. Sayang, saat itu perasaanku kepadanya sudah hilang.


“Rinai, sejak dulu aku telah menyukaimu. Menyukai senyummu, tulisanmu, bahkan bagian terkecil dalam dirimu. Aku akan mendampingimu sampai nanti saat rambutmu memutih, pandanganmu memudar, juga ketika kulitmu keriput dan tidak putih mulus lagi. Maukah kau, menerima pernyataanku?”


Aku menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Kalau saja aku masih menyukainya, pasti hari itu akan menjadi hari yang paling indah dalam hatiku. Tapi hal yang dapat kulakukan sekarang hanyalah diam, menatap haru pada Bima.


“Bim, aku sebenarnya pernah punya rasa juga sama kamu. Tapi itu dulu, beberapa minggu yang lalu sebelum aku memutuskan untuk melupakan segalanya tentang kamu.” Aku menunduk, menjawab pertanyaannya dengan sedikit canggung.


“oh.” Bima menjawab dengan singkat. Ia mengatupkan bibirnya beberapa saat, kemudian kembali melanjutkan. “kalau begitu tolong ambil dulu bunga ini. Sebagai tanda bahwa perasaan untukku yang pernah kamu rasakan itu akan segera kembali.” Ia kemudian beranjak pergi setelah mendapat anggukan ragu dariku.


Tanpa kusangka, ia benar-benar serius dengan perkataannya. Semakin hari Bima semakin menjaga perasaanku. Dan siapa perempuan yang tak luluh ketika mendapat perlakuan spesial dari orang yang sempat ada di hatinya? Perempuan itu, bukan aku. Perlahan tapi pasti hatiku mulai luluh dan aku kembali menaruh hati padanya.
***
“wah, nek. Ceritanya so sweet banget. Aku juga mau tuh kayak gitu hehehe.” Vina melebarkan senyum dan matanya terlihat berbinar.


“Vara juga mau, mau kayak nenek!” Vara yang memang suka mengikuti sang kakak berseru sambil melompat-lompat diatas sofa.


“hush! Umurmu kan baru 7 tahun, Var. Kalau kakak udah 15 tahun jadi enggak apa-apa.” Vina tertawa melihat tingkah adik tersayangnya.


“nenek lanjutin ceritanya ya.” Aku ikut tertawa kemudian melanjutkan cerita selagi sempat.
***
Semuanya mengalir begitu saja, perasaan lama itu kini kembali mendesak ke dalam hatiku. Sebulan setelah hari itu aku menerima cinta Bima. Bima adalah tipe lelaki yang dapat menjadi seorang pendamping hidup sekaligus sahabat, tidak seperti laki-laki lainnya yang hanya mengharap dari tubuh sang pacar. Ia selalu berusaha untuk memberikan solusi setiap kali kuceritakan masalah padanya, bukan hanya sekedar menyarankan untuk terus sabar. Aku memang tidak pernah salah pilih.


Di tahun kelima sejak kami mengenal satu sama lain, ia memberiku sebuah cincin sebagai pengakuan bahwa ia telah siap menuju pelaminan dan mengucapkan janji suci di depan seluruh dunia. Bunga-bunga bermekaran ketika ia mengajakku berdansa hari itu. Sebuah ingatan yang masih tersimpan rapih dalam hatiku.
***
13 Mei 1998, asap-asap yang membumbung tinggi ke udara merubah segalanya. Hari itu, aku dan Bima serta anak pertama kami, Risa sedang makan pagi bersama ketika gedoran pintu yang begitu keras menggetarkan seluruh sudut rumah.


“Pak Bima, toko sepeda Symphony dibakar massa!” Firman, asisten terpercaya Bima berteriak tepat ketika atasannya itu membukakan pintu. Mendengar kabar itu Bima segera berlari menuju toko sepeda miliknya, tempat warisan dari kedua orang tuanya.


Kupikir saat itu semuanya akan baik-baik saja. Mungkin itu hanya sedikit kesalah pahaman, lagipula kalau memang seluruh toko hangus terbakar kami masih dapat mencari usaha yang lebih baik bersama.


Namun lama kelamaan hatiku semakin gelisah menunggu kepulangan suami yang telah mendampingiku selama 3 tahun.


30 menit berlalu, ia belum juga kembali.
1 jam… 1 jam 30 menit… 2 jam…


Ia belum juga pulang. Dengan sedikit ragu akhirnya aku keluar dari rumah dengan baju seadanya demi mengecek keadaan toko sepeda Symphony dan suamiku.


Baru saja aku menginjakkan kaki keluar teras, seorang laki-laki setengah baya penuh luka sedang diseret oleh mobil yang berjalan cukup cepat. Ia sudah tak bergerak, bahkan berteriak pun tak kuat. Segera kukejar mobil tersebut, untuk melihat siapa yang sedang diseretnya. Perasaanku sedikit lega ketika aku melihat bahwa ia bukanlah Bima.


Namun, keadaan disekitar semakin ricuh. Diujung jalan dua orang gadis remaja sedang disiksa dan dibunuh. Di seberangnya, sebuah toko dijarah dan kemudian dibakar. Asap-asap pembakaran menyelimuti langit yang semakin menghitam, menambah ngeri keadaan.


BAKAR! BUNUH! Teriakan-teriakan di sekitar menggetarkan gendang telingaku. Aku menutup telinga dan memejamkan mata sambil berusaha mengendalikan diri.


Tiba-tiba aku tersentak. Kutengok sedikit ke belakang, dan aku melihat toko sepeda Symphony sedang dibakar dan dijarah. Miris hatiku saat melihat warisan paling berharga yang selalu di benggakan oleh Bima kini telah menghitam dan mulai berubah menjadi puing.


Bi.. Bima? Ya, dimana Bima? Pikirku tiba-tiba. Ia tidak terlihat di manapun.


“Bima..” aku mulai terisak, ketakutan memenuhi otakku.


KAMI BUTUH KEADILAN! BUNUH! BUNUH SEMUANYA!! Teriakan terdengar semakin kencang, disertai dengan tindakan para penjarah yang kian mengerikan. Mereka terus membakar, membunuh, dan menjarah semuanya. Tanpa pandang bulu.


Aku semakin cemas dan mulai berteriak penuh kepiluan. “Bima! Jangan pergi!”


Akhirnya semua kegelisahanku terjawab. Teriakanku berhenti seketika dan seluruh tubuhku melemas, aku jatuh terduduk di atas aspal. Diujung sana, seorang laki-laki yang sangat kukenal terbujur kaku dengan muka dan badan penuh luka serta sehelai baju dan celana bahan penuh darah. Aku tahu siapa dia, tahu persis. Aku mengenalnya, bahkan mencintainya. Dia, Bima. Seorang lelaki perkasa yang telah setia menjagaku selama 8 tahun.


Seluruh kekuatanku seakan hilang dihisap awan hitam tebal diatas langit. Seiring dengan turunnya hujan aku menumpahkan segala kesedihan yang memenuhi hatiku. Selama 15 menit aku terdiam, mengenggam tangan Bima yang sudah mendingin.


“Tante, tante! Cepat kembali kerumah sekarang. Para pejarah tidak akan berhenti sebelum semuanya musnah.” Seorang siswi SMA dengan keranjang kue ditangannya mengguncangkan tubuhku. Seragam sekolahnya tampak sangat kotor dan berdebu. Ketakutan juga seakan merajalela dalam mata cantiknya.


ITU! ADA LAGI! KEJAR! Kerumunan massa berlari dari arah kanan menuju ke tempat kami. “namaku Sheilla, tolong bawakan kue ini ke ibuku. Handphoneku ada di dalamnya, carilah alamat rumahku. Katakan padanya, bahwa aku tidak bisa berjualan lagi mulai hari ini. Dan yang terpenting, tolong sampaikan bahwa aku menyayanginya.” Gadis itu tersenyum tulus sambil menyodorkan keranjang yang sedari tadi dibawanya. “sekarang tante tolong segera pergi dari sini dan kembali ke rumah. Saya yakin tante pasti masih punya anak yang harus dijaga.” Ia kemudian mendorong tubuhku pelan agar segera menjauh dari tempat tersebut.


“tapi, kamu? Ayo kita pergi bersama!” aku menggenggam tangannya sambil berusaha mengajaknya pergi dari tempat tersebut.


“tidak, mereka akan terus mengejar kalau kita berusaha kabur. Biarkan aku disini, tante kembalilah kerumah.” Ia mendorong tubuhku semakin jauh. Matanya menatap wajahku lekat-lekat, penuh dengan keseriusan.


Rombongan massa semakin mendekat. Setelah memeluk tubuh kecil Sheilla, aku segera berlari secepat kilat menjauhi tempatku berdiri tadi. Sekilas kutengok ke belakang, Sheilla sedang dikeroyok bersama. Dengan sisa-sisa tenaganya ia melihatku dan tersenyum lemah, kemudian kepalanya jatuh menunduk tak bergerak.
***
“yaampun, nek. Ternyata masih ada ya orang sebaik itu diantara orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan akan jati diri negaranya.” Vina menggelengkan kepala sambil menatapku serius.


“ya. Betul, Vin. Nenek juga kagum, ternyata masih ada orang yang lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.” Aku membalas tatapan Vina tak kalah serius.


“jadi, nek. Nenek, kirim kue itu ke rumahnya?” Vara ikut menatapku sambil berharap aku mau melanjutkan cerita yang masih menggantung.
***
Hatiku pedih melihatnya, sebuah hutang budi yang tak akan pernah dapat kutebus sampai kapanpun. Teringat pesan darinya aku langsung mencari rumah gadis itu dengan modal alamat dari handphone putih miliknya.


Ternyata ia tinggal di rumah yang tidak jauh dari komplekku, namun keadaannya jauh berbeda. Komplek perumahan ini memang lebih besar, tapi juga jauh lebih sepi dari tempat keluarga kecilku tinggal. Hanya terdengar suara desiran angin dan sayup-sayup gonggongan anjing. Selebihnya kosong dan memilukan, sama seperti hatiku sekarang.


Tok.. tok.. tok.. Setelah yakin bahwa rumah yang berada di depanku memiliki alamat yang tertera di layar handphone, akupun mengetuk pintu depannya pelan. Suasana rumah ini sesuai dengan suasana di komplek. Sepi dan mencekam.


seorang wanita yang berumur kira-kira di akhir 40an mengintip lesu dari dalam rumah, kemudian menghembuskan napas kecewa. “siapa?” tanyanya setelah membukakan pintu.


“saya Rinai. Saya kesini bermaksud mengirimkan ini dari Sheilla.” Kusodorkan keranjang kue yang diberikan Sheilla kepadanya. “Sheilla juga mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi berjualan kue mulai hari ini. Dan yang terpenting ia sangat mencintai anda selamanya.”


Wanita tadi memegang pundakku erat, “ada apa dengan Sheilla?” tanyanya terbata.


“Sheilla, meninggal. Dan semuanya salah saya, saya akan membayar hutang budi kepada keluarganya.” Bisikku tak kuasa menahan air mata.


Peganggannya melemah, ia terdiam menatap ke lantai dengan sinar mata yang kosong. Bahkan menangispun ia tak sanggup.


“terimakasih informasinya. Sheilla memang pernah mengatakan bahwa ia akan berhenti membantuku berjualan kue hanya saat ia sudah dapat membantu orang lain, dengan nyawa sekalipun. Sebelum ia berguna bagi orang lain, Sheilla akan berusaha untuk menggunakan dirinya agar berguna bagi saya, ibundanya.” Perlahan ia mendongak dan kembali menatap mataku, ada ketegaran disana.
***
“mulia banget ya, nek. Si Sheilla itu.” Potong Vina di tengah ceritaku.


“ya, ini entah sebuah kenyataan atau keajaiban. Kamu juga enggak nyangka kan masih ada orang sebaik itu?” Jawabku. Kembali kuingat tentang hari itu, hari dimana aku kehilangan orang yang paling berharga sekaligus menemukan orang-orang berhati emas.
***
Dan disinilah aku, terduduk di depan foto suami yang telah 3 tahun mengalami ombang-ambing dunia pernikahan berdua denganku. Pernikahan kami memang belum terlalu lama, namun perasaan sakitnya tak tertahankan.


Risa perlahan mendekatiku, kemudian ia mengangkat foto sang ayah dan menciumnya. “ayah, tunggu aku disana ya. Kita akan bertemu lagi kalau aku sudah sukses membahagiakan mama.” Ia berbisik pelan sambil tersenyum. Isak tangis seketika membahana di seluruh ruangan.
           
          Aku mengelus pelan rambut putri tunggalku. “Risa, yang sabar ya.”
            
        “Risa kangen papa, ma. Risa kangen dipangku papa. Kangen baca Koran sama berita bareng papa. Kangen candaan papa. Tapi yang Risa paling kangen, tatapan papa yang bisa mempengaruhi hati semua orang.” Anakku mendongakkan kepalanya. Menunjukkan wajah manis yang merupakan perpaduan antara aku dan Bima, ia terlihat sempurna di mataku.
            
        “iya, Risa. Mama juga kangen. Tapi, satu hal yang perlu kamu mengerti. Walaupun papa udah enggak berada di samping kita, tapi jiwanya akan selalu ada disini. Di hati kita, selamanya.” Jawabku mantap sambil menunjuk kearah dadanya.
           
         Risa menaruh telapak tangannya di depan dada dan mencium pipiku.
***
“selesai ceritanya.” Ucapku dengan genangan air mata yang hampir jatuh dari pelupuk mata.


“speechless, nek.” Vina menjawab, diikuti dengan anggukan setuju dari Vara.


“ma, sudah mau mulai ya?” seorang wanita cantik muncul dengan gaun berwarna putih. Ia Risa, anakku satu-satunya. Pemilik dua anak yang bernama Vina dan Vara.
            
             Kami kemudian mematikan lampu dan memakai penerangan berupa lilin yang menyala. Tahun ini. Hari ini. tanggal 13 Mei, giliran Vara yang membacakan surat dariku untuk Bima yang kubuat bertahun-tahun yang lalu.
            
Bima, memang mungkin awalnya kita tak belum mengenal satu sama lain. Tapi seperti yang orang bilang, jodoh tak akan kemana. Kau telah menepati janjimu untuk tetap menemaniku sampai aku tua. Walaupun kau pergi lebih dahulu, tapi aku yakin kau akan selalu menatapku dari atas sana. Waktu 3 tahun memang tergolong sangat cepat dalam dunia pernikahan, namun 3 tahun sudah membuatku bersyukur. Karena dalam 3 tahun itu aku telah mendapat banyak sekali pelajaran penting dari sosokmu. Terimakasih telah bersedia untuk menjadi segalanya bagiku. Satu hal yang perlu kau tahu, perasaan di dalam hatiku yang tidak akan pernah dapat dideskripsikan oleh seorang filosofis terhebat sekalipun ini tak pernah berkurang sedikitpun dengan tidak adanya kehadiranmu. Sebaliknya, ia terus bertambah setiap harinya. Sekarang, aku sedang membimbing anak kita untuk tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa secara fisik dan pikiran. Kujanjikan sebuah keberhasilan dalam hidupnya untukmu. Selamat tinggal suamiku, kau akan selalu ada di hatiku selamanya.  

            Seiring dengan selesainya dibacakan surat tersebut, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku menangis haru sambil melihat kearah awan-awan yang berarak di atas langit membentuk sebuah senyuman. Selamanya aku akan mencintaimu, Bima. Bisik hatiku dalam kesetiaan.