Sabtu, 21 Januari 2012

Keseratus

Asal usul ide Waxed, cuman nama Bundanya aja yang beda.


Semilir angin memanja rambut, kaki-kaki kecil tergelitik rumput. Kalil kecil tertawa, melompat, berjingkrak-jingkrak riang. Satu kali ia berhenti, mengambil setitik embun dan merembeskannya ke dalam mata. Segar.


“Kalil, jangan jauh-jauh ya mainnya,” pesan Nenek yang sedang menenun di pinggir hutan kota, matanya yang lindap sibuk mengawasi gerak-gerik cucunya.

Kalil hanya mengangguk. otot-otot kakinya masih terus menekuk-nekuk, membuatnya berlari lebih cepat dan lebih cepat lagi. Sampai ia berdiri sesat di tengah sunyinya jantung hutan. Celingak-celinguk ragu, tidak ada siapa-siapa, hanya sepi yang menemani. Semilir angin terasa semakin dingin, menaikkan bulu kuduk Kalil satu demi satu.

“Nenek..” ia berbisik takut.

“Kalil, kemarilah. Ada kejutan untukmu.”

Jawaban! Tepatnya bisikkan. Kalil bahagia, ia kembali berjingkrak-jingkrak sambil mengikuti arah datangnya suara. Kakinya melompat teratur mengikuti jalan setapak yang bagai disusun khusus menyambut kedatangannya.
***
Mata Kalil menangkap sana-sini. Namun jalan yang dilewatinya hanya dipenuhi pohon, pohon, dan pohon.

“Kiri, kanan. Kulihat saja. Banyak pohon…” senandungnya tertahan. Bukan apa-apa, tapi ia tidak mengetahui di golongan mana pohon itu berada. Pelajaran biologi di sekolah terasa baru seujung kuku ia selami.

Kalil terperanjat, sesuatu yang kenyal berada di bawah kakinya. Ketika melihat ke bawah, gerak-gerik lincahnya terhenti. Dunianya terhenti sesaat. Ia menginjak gepeng seekor cicak, cairan bening lengket membasahi telapak kaki Kalil.

“Ma.. ma.. MAMAAA!” Kalil lari tunggang langgang, tungkai kurusnya kembali membengkok-bengkok cepat.
Tanpa sengaja kaki-kaki kecil itu membawanya ke depan sebuah rumah kecil di tengah hutan. Terbuat dari bata yang dicat kuning muda, genting merah marun yang tampaknya masih basah oleh cat, lengkap dengan cerobong asap yang dibangun sedimikian rupa agar asap perapian yang keluar dari dalamnya membentuk spiral lembut. Angin yang berhembus mengantarkan semilir wangi sup labu.

Pintu tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan setengah baya bersama dengan seorang anak perempuan kuncir kuda yang mungkin sebaya dengan Kalil tersenyum lembut dari dalam, “Kelihatannya kau tersesat, ya? Ayo, masuk dulu kesini kalau lapar. Kebetulan kami sedang memasak sup labu,” ajaknya. 

Kalil mangangguk.
***
“Itu patung siapa?” tanya Kalil dengan mulut penuh sup, telunjuknya mengarah ke sebuah patung lilin dengan potongan tubuh dan wajah yang sempurna.

“Itu patung Kak Akmal. Dia Kakak laki-lakiku yang meninggal karena diterkam beruang.” Gadis kecil itu menjawab.

“Ya, Tiara benar. Sejak kepergian Akmal rumah kami ini menjadi sepi. Ah, seandainya saja waktu bisa diulang, pasti tidak ada penderitaan dan kesedihan.”

“Kalau yang lainnya?” tanya Kalil kembali, kali ini pertanyaannya untuk seluruh patung-patung lilin yang memenuhi ruangan.

“Itu anak-anakku yang lainnya. Lambat laun kau pasti mengerti siapa mereka.”

“Oh,” gumam Kalil sambil kembali menikmati sup.

“Namamu siapa, Nak?” tanya wanita setengah baya itu, sinar keibuan terpancar dari matanya.

“Namaku Kalil, Bibi?”

“Panggil aku Bibi Lili. Ini anak perempuanku, Tiara.”

“Baik, Bibi Lili.”

“Ayo, ikuti Bibi. Akan kutunjukkan kamarmu,” Bibi Lili memegang lengan Kalil, tangannya terasa sangat lembut. Agak terlalu lembut.

Kalil sekali lagi menaik-turunkan kepalanya tanda setuju.

***
Suasana kamar terasa berbeda dengan hangatnya ruang makan. Kamar ini berdebu, ditambah lagi gelap karena tanpa listrik. Kamar ini memang bekas kamar Akmal, tapi sebelumnya Bibi Lili sudah menjamin, tidak akan ada penampakan disini.

Kalil membalikkan tubuhnya gelisah, sudah dua jam berlalu tapi matanya masih belum bisa tertutup juga. Ia berdiri kemudian berjalan ke arah pintu, niatnya untuk mencari udara segar. Namun ia mengurungkan niatnya saat mendengar suara kecipak air dan jeritan samar-samar.

Apa itu? Otaknya mengirimkan sinyal-sinyal curiga. Tapi apa juga yang harus dicurigai, toh itu juga hanya suara air. Siapa tahu Bibi Lili atau Tiara sedang mandi di kamar sebelah.
Berusaha tak peduli, Kalil kembali berbaring di atas tempat tidurnya. Ia menarik selimut sampai menutupi seluruh wajah. Malam ini terasa begitu dingin.
***

“Bagaimana tidurnya, Kalil?” Bibi Lili menepuk-nepuk kepala Kalil yang sedang makan kue putu mayang untuk makan pagi.

“Enggak terlalu nyenyak. Kalil enggak suka yang gelap-gelap.”

“Oh, iya. Biasa kok itu. Anak-anak Bibi yang lain juga selalu susah tidur di hari pertama.”

“Bi, Kalil pulang ke rumah ya. Kalil takut Nenek cemas.”

“TIDAK BOLEH!”

Kalil mundur beberapa langkah, jantungnya berdetak cepat.

“Ah, maaf. Maaf sayang. Kamu jadi takut ya? Bibi enggak bermaksud marah, kok. Maksud Bibi, sebelum pulang kamu harus mandi dulu,” wanita itu gelagapan.

“Mandi dimana?”

“Di atas, di sebelah kamarmu. Ayo.”
***
Bibi Lili memencet saklar di ujung ruangan. Cahaya seketika saling menyambar, memburamkan mata siapapun yang melihatnya. Terlihat sebuah bak mandi bertembok tinggi. Pintu dikunci dari luar.

“Itu bak mandinya, sekarang kamu mandi ya Kalil,” ajak wanita itu sambil tersenyum simpul.
Kalil berjalan perlahan, menghampiri bak mandi tersebut. Dengan kaki-kaki kecilnya yang kembali tertekuk-tekuk, kali ini karena naik tangga. Sampai dipuncak. Ia mencelupkan tangannya ke dalam air, untuk memastikan air tersebut tidak panas mendidih. Kalil tidak mau nasibnya berakhir seperti dongeng Hansel dan Gretel.

Tunggu. Air yang disentuh Kalil mengeras di jari telunjuknya. Ini bukan air, ini lilin!
Kalil tersentak, wajahnya seketika pucat pasi. Ia segera berlari turun melewati tangga yang barusan didakinya.

“Kalil, kenapa tidak jadi? Airnya terlalu panas ya? Atau kurang hangat?” Bibi Lili tersenyum, namun kali ini senyumnya lain. Tentu saja lain, ia baru mendapat mangsa baru!

“Jahat! Hantu! Aku mau pergi, biarkan aku pulang!” tanpa memedulikan pertanyaan yang ditujukan padanya, Kalil mendorong tubuh wanita di hadapannya. Seketika Bibi Lili limbung dan jatuh terjerembap ke lantai.

Kaki-kaki kecil yang tertekuk-tekuk, kali ini berpeluh dingin. Pemiliknya di ujung tanduk.

Kaki-kaki kecil yang tertekuk-tekuk, berusaha mencari perlindungan. Tapi semua sisi terkutuk.

Semua pintu tertutup, tidak ada ventilasi apapun. Kalil kecil mau kemana?
***
Kubangan lilin yang semula tenang kini beriak. Panas.

Koleksi patung lilin wanita kesepian dan anaknya kini bertambah. Tungkai-tungkai kurus yang tertekuk-tekuk itu tentu mengingatkan pada seseorang.

Seseorang kecil yang menggenapi patung-patung lilin itu menjadi seratus.

“Tiara, hangatkan sup labu. Nyalakan api perapian. Kita kedatangan tamu lagi.”

Selamat datang, tamu ke seratus satu.

(Waxed) Setengah - Bunda Lana

Setengah – Bunda Lana

Bagaimana rasanya jika anak keduamu lahir tanpa kedua kaki, dan kau baru saja mengetahui anak pertamamu yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga tewas diterkam beruang? Apalagi suamimu sedang pergi mengelana jauh ke negeri orang, dengan kemungkinan terbesar ia telah menikah dengan perempuan lain.

Wanita yang sedang berusaha mengajak ngobrol bulan itu bernama Lana. Tubuhnya masih berlumur merah akibat membopong putra sulungnya yang sudah tak bernapas.

Hei, bulan. Tanyakan pada Tuhan, apa salahku? Aku sudah berkali-kali meminta belas kasihan padanya, tapi belum juga aku menerima kebaikan-Nya.

Belenggu kain satin menutupi keseluruhan pundaknya yang kurus, berusaha menyamarkan bercak-bercak darah dan lapisan lumpur pada gaun tidur putihnya. Peluh bercucuran dari kening, menetes pelan menyusuri lengannya yang sedang menggali tanah.

Kemudian digulingkannya perlahan tubuh yang sudah mendingin itu, dalam kesenduan malam ia kembali menutup lubang yang baru saja dibuatnya. Terakhir, ditempatkan sebuah pusara sederhana dengan tulisan yang diukir samar-samar.

Disini terbaring Akmal Sahawidja

Mei 08 1990 – Februari 17 2012

Rasanya selesai sudah seluruh hidupnya. Empat tahun lalu ia kehilangan suami yang pergi berkelana ke negeri orang, namun sampai hari ini tanpa kabar. Dan sekarang ia kehilangan anak laki-laki yang selalu menjadi tulang punggung keluarga. Lebih-lebih meninggal karena diterkam beruang, mengenaskan bukan?

Terdengar suara roda berputar berat dari arah belakang, tangan-tangan lentik memutar tepat pada porosnya. Memadu bersama suara renyah daun kering. Lana memutar kepala pelan, menangkap mata  putrinya, Tiara, yang memerah. 

Wanita itu berdiri, tangan mereka saling bertautan. Dengan sepasang kelopak mata membungkam mereka 
berdoa untuk Akmal dan seluruh dunia. Kini hanya tinggal mereka berdua, di dalam jantung Hutan Rintik.

***

Tangan-tangan yang mulai keriput itu kembali menggali, meragas lapisan demi lapisan tanah yang kemarin malam ia timbun. Tangannya mencapai ke dalam lubang setinggi dua meter dan mengangkat tubuh yang masih utuh, beruntung belum digerogoti belatung.

Lana menyeret tubuh anak sulungnya ke dalam sebuah kamar di lantai dua. Tadi siang ia baru saja berkunjung ke perusahaan lilin tempat anaknya bekerja, meminta dua truk lilin cair dengan janji untuk membuat puluhan patung lilin yang persis dengan manusia asli.

Lilin cair di dalam bak mandi bertembok tinggi mulai beriak. Perlahan Lana mencelup tubuh anaknya ke dalam kubangan panas yang sejatinya bisa membuat seseorang normal berteriak-teriak sakit, namun tidak sekarang, karena yang ditenggelamkan ke dalam lilin mendidih itu sudah tak bisa lagi berteriak.

“Tidak terlalu panas, kan?” bisiknya, “Enak kan, berendam di dalam sana?”

Jam dinding berdentang dua belas kali. Lana menarik mahakarya yang baru dibuatnya keluar, memperhatikan setiap detailnya. Benar-benar mirip Akmal, benar-benar mahakarya. Sekarang ia telah mendapatkan kembali anaknya, bahkan dalam rupa yang jauh lebih lembut dari biasanya.

“Tiara, Tiara. Kakak telah kembali bersama kita, Nak.”

Tiara mengangguk setuju, mata hangatnya berbinar. Pengembalian raga seorang kakak dalam keluarga mereka telah terlaksanakan, sekarang tinggal bagaimana mencari pekerjaan yang memastikan bahwa mereka akan makan besok.

Hitam pekat berubah kelabu, diremangkan oleh lilin yang menyala bangga. Lana berjalan tertatih ke tengah hutan, menyebarkan batubata di sepanjang jalan sebagai setapak penghubung ke rumahnya. Kemudian ia berbalik dan pulang ke rumah. Meninggalkan sebuah plang dari kayu yang tertancap kokoh di tanah berlumpur.

Rumah penginapan Bunda Lana 2km
Menginap dan makan gratis untuk berapa malam pun
Letak: Jantung Hutan Rintik. 

Jumat, 20 Januari 2012

Waxed

Sejak sering nongkrong di Dumalana rasanya cerpen-cerpen gw jadi punya napas baru (contohnya ini: Pelangi dan Cahaya Hati) Well, walaupun gw diakui sebagai seorang psikopat disana.

Sekarang untuk yang entah keberapa kalinya gw mau bikin novel! Kali ini tentang pembunuhan pakai lilin gitu deh. Baru jadi prolognya.

Judulnya belum didapat, mungkin Waxed atau something yang berhubungan dengan itu.


Prolog

Kalau kau berjalan sepuluh kilometer ke arah jantung Hutan Rintik, dan terus melaju hingga terdengar lolongan serigala, kau akan mencium wangi sup labu. Ikutilah jalan setapak yang menuntun kakimu, mengantarmu ke sebuah tempat yang tentu berbeda.

Setiba di ujung jalan setapak mungkin kau akan mendengar bisikan-bisikan halus. Tantangan pertama, pikirkan baik-baik, ikuti suara itu atau kembali berbalik ke arah pertama kali kau datang dan tidur nyenyak di rumah.

Jika kau memutuskan untuk berbalik, tutuplah buku ini dan kembalikan ke toko buku.

Jika kau memutuskan untuk mengikuti suara-suara itu, kau akan menemukan sebuah rumah manis bercat kuning. Tengadahkan sedikit kepalamu, lihatlah, cerobong asap rumah itu menghembuskan lembut asap berbentuk spiral halus. Rasakan, atau abaikan, semilir angin mengembus lehermu, mendirikan bulu kudukmu.

Hal kedua yang kau lihat adalah seorang wanita paruh baya dan anak perempuannya yang duduk di kursi roda. Mereka berdiri di depan pintu, menyambutmu untuk bermalam di rumah itu. Tantangan kedua, terima ajakan mereka atau tidak.

Jika kau memutuskan untuk menolak, pekat malam tak akan mengijinkanmu pulang.

Setelah menerima ajakan mereka, kau akan menemukan dirimu mabuk oleh sup labu hangat. Edarkan pandanganmu sebentar ke sekeliling ruangan, lihatlah mereka, patung-patung lilin itu. Menyeramkan bukan? Sayang, hal yang dapat kau lakukan sekarang hanyalah duduk diam sambil menyeruput sup labu.

Kemudian kau akan diajak ke sebuah kamar tidur penuh debu, letaknya di sebelah ruang yang terus terkunci. Kau bahkan tidak menggubris perkataan si wanita tentang kamar anak laki-lakinya yang tewas diterkam beruang beberapa tahun lalu. Ingat, nikmatnya sup labu sedang membuatmu mabuk.

Dua belas kali dentangan jam dinding akan menyentakmu bangun untuk ke toilet, namun ketika berdiri kau akan merasakan hembusan napas dingin mengitari telapak kakimu. Satu lagi yang pasti, kau akan mendengar suara kecipak air dan jeritan samar-samar. Dalam hitungan detik kau akan mengurungkan niat dan kembali menarik selimut sampai ke hidung.

Keesokan paginya kau sedang terenak-enak menikmati kue putu mayang, gulanya yang gurih terasa mengalir hangat lewat tenggorokanmu. Pertanyaan penting akan kau dapatkan, “Bagaimana tidurmu semalam, nyenyak?” Jawaban akan otomatis meluncur dari bibirmu, jawaban jujur bahwa tidurmu agak kurang nyaman.

Di sela-sela pembicaraan kau akan meminta ijin untuk pulang. Wanita tuan rumah itu akan marah besar dan membentakmu, kemudian meminta maaf dan memintamu untuk mandi terlebih dahulu. Katakan iya, karena aku pun tidak tahu apa yang akan terjadi ketika kau langsung menggedor-gedor pintu yang terkunci.

Kau akan diantar naik ke lantai dua dan menemukan pintu yang berada di sebelah kamarmu telah lepas gerendelnya. Sebuah bak mandi bertembok tinggi menunggumu di dalam, naikilah tangganya dan celupkan 
jari telunjukmu ke dalam air yang memenuhinya.

Sudah? Sekarang kau akan menyadari apa arti dari judul buku ini.