Senin, 18 November 2013

Seorang penulis tidak akan langsung mendapati posisi puncak jika tidak memulai dari bawah.
Seneng banget rasanya pas liat nama gue ada di salah satu pemenang lomba LMCR 2013, walaupun cuma pemenang harapan tapi lumayan kaget juga karena gue sama sekali engga mengharapkan menang lomba ini, gue bahkan lupa sama sekali pernah ikut LMCR 2013. Ini cerpen gue yang pernah dikirimin guru ke redaksi rayakultura beberapa bulan lalu buat ikut lomba.


Dua

Hidup ini tidak adil. Aku selalu keluar di saat yang tidak tepat, saat si egois itu selesai menikmati dunia. Saat mata terpejam, mimpi terasa lebih baik dari dunia nyata, yang penuh dengan rasa iri dan dengki. Setiap hariku dipenuhi tanya, kenapa harus dia? Mengapa bukan aku? 

"Selamat kepada pemenang juara pertama, Damian Santana!" Suara itu terngiang dalam otakku, aku mendengar namaku dipanggil. Tapi aku tak mampu membuka mata untuk keluar menyambut penghargaan itu, aku bukan si pintar yang memenangkan seluruh kejuaraan IPA sekabupaten. 

Aku merasakan ragaku berjalan menuju podium, mengambil piala dan berfoto dengan bupati dan bahkan mungkin presiden. Rasa iri ini semakin menjadi, kapan aku bisa menjadi seperti dia? 

Waktunya untuk aku melihat dunia sekarang, dunia yang tidak lebih baik dari mimpiku. Sekuat tenaga kubuka mata, membiarkan jiwaku menyeruak keluar. Setidaknya aku bisa memberikan sambutan. Yah, ini sudah menjadi kewajibanku selama ini, dia yang berpikir dan aku yang berbicara.  

***

Aku semakin merasa sepi saja, lama-lama botak kepalaku ini lantaran hanya dipergunakan untuk berpikir dan tidak pernah mendapat hiburan. Enak sekali si bodoh itu, dia sangat pandai bersosialisai dan mempunyai banyak teman. Sedangkan aku? Berbicara saja gagap. 

Barusan ia menyeruak keluar, mengambil tempatku dan mengendalikan raga. Dia sering berkata, mimpinya lebih baik dari kenyataan. Tapi lihatlah aku, imajinasiku sudah mati, aku tak pernah lagi bermimpi. Jauh lebih menyedihkan, bukan? 

Aku masih bertahan dalam keheningan, mengulang-ulang seluruh rumus aljabar yang terus menggerayangi otakku, besok ada ulangan dan aku harus tetap menjadi yang terbaik di kelas. Hanya satu tujuanku seumur hidup, belajar dan mendapatkan kebanggaan. 

***

"Malam Damian, bagaimana ulangan besok?" aku menyapa sambil duduk di sebelahnya, otakku sibuk memikirkan mimpi-mimpi indah untuk raga kami ini.

"Malam juga Damian. Yah, aku tinggal menghapalkan sedikit lagi dan peringkat pertama tetap di tangan. Hahaha." Si Damian satu lagi ini membusungkan dadanya, aku memang iri padanya, namun tidak ada alasan untukku membencinya. 

"Aku iri padamu, kau begitu pintar. Sedangkan aku? Bodohnya bukan main." 

"Justru aku yang selama ini iri padamu. otakku ini hanya dipakai untuk berpikir dan berpikir. Kau enak, pandai bersosialisasi dan punya banyak teman, sedangkan aku?" 

Keheningan sekejap berkumandang, aku sibuk membuat mimpi-mimpi indah untuk raga, dan aku satu lagi sibuk mengulang kembali seluruh rumus yang tak kumengerti secuil pun. Tiba-tiba secercah ide muncul dalam benakku. 

"Damian!" Panggilku sambil menjentikkan jari. Ia mendongak ke arahku tanpa mengatakan apa-apa. 

"Kau ingin menjadi sepertiku, kan? Dan aku juga ingin menjadi sepertimu. Bagaimana kalau kita bertukar tempat? Aku akan belajar untuk ulangan besok, kau yang bersosialisasi. Dengan begitu raga kita akan memiliki dua kepribadian sempurna."

"Kau gila ya? Damian harus kembali menjadi juara kelas besok. Kalau nilainya jeblok, ia tidak akan  dapat beasiswa. 

"Ya, ajari aku kalau begitu. Apa kamu tidak bosan belajar terus?" 

Ia menatap wajahku, tekadku sudah bulat. Dianggukkannya kepala dengan sedikit ragu. 

***

Sudah satu bulan sejak Damian terlihat berubah seratus delapan puluh derajat. Nilai-nilainya merosot jauh, ia bahkan mendapat nilai nol dalam ulangan aljabar yang lalu. Sikapnya juga, ia yang dulu supel menjadi pasif dan gugup saat berbicara dengan orang lain. Padahal menurut teman dan keluarganya, Damian tidak pernah ada masalah. Ketika ditanya secara pribadi, ia selalu mengunci rapat mulutnya dan sibuk menggeleng. 

Sebagai wali kelasnya, aku merasa peduli dengan keadaan Damian. Bagaimana tidak, sekolah ini kehilangan siswa terbaiknya yang sedari dulu rajin mengumpulkan piala dan piagam. Aku harus mengetahui apa yang terjadi pada Damian. 

"Damian?" 

Damian hanya diam, seperti terlelap namun matanya masih membelalak lebar. 

Aku mengibaskan tangan tepat di depan wajahnya, "Damian, hey, Nak?" 

Keadaannya semakin hari semakin parah. Aku sudah sejak lama menyarankan orang tua Damian untuk membawanya ke psikiater, tetapi mereka tetap mengatakan bahwa anaknya tidak memiliki kelainan jiwa. Padahal aku yakin sekali, pasti ada yang salah dengan anak ini. 

***

Sudah beberapa minggu ini kami bertukar peran, dan hasilnya gagal total. Aku masih gugup ketika berbicara dengan orang lain, dan Damian yang satu lagi itu tak kunjung bisa menghapal rumus. Kami lupa sama sekali dengan raga yang kepribadiannya kini telah hancur. 

Maaf ya raga, kami sudah berusaha semampu kami namun rencana ini tak kunjung berhasil. Segan juga untuk kembali ke sifat awal, belajar dan belajar, memuakkan. 

Semakin hari aku semakin takut berbicara dengan orang, wajahku pasti akan pucat pasi dan berkeringat dingin. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah menolak memberikan jawaban dengan gelengan kepala. 

"Damian?"

Suara itu terdengar lagi, aku kenal betul pemilik suara itu. Dia Pak Heri, wali kelas ragaku. 

Aku terlalu takut untuk menjawab, terlalu takut untuk berinteraksi. Tidak sepatah katapun dapat kukeluarkan. Hanya gelengan demi gelengan kulakukan. Mungkin sebentar lagi ragaku akan dibawa ke psikiater, dan terbongkarlah keberadaan kami.

"Damian, tolong aku dong. Sekali ini saja." Aku berbisik. Ia menoleh sebentar dan kembali tenggelam ke dalam buku kumpulan rumusnya, walau ia tidak mungkin bisa menghapalkan lebih dari seperempat karena otaknya tidak terbiasa untuk itu. 

"Tidak, itu kan tugasmu sekarang. Tugasku belajar, Damian." 

Bagaimana ini? Aku tidak mampu menjawab, berbicara sepatah katapun tidak. Bisa-bisa ragaku tidak jadi mendapat beasiswa, bahkan tinggal kelas, atau masuk rumah sakit jiwa.  

"Ah, Damian. Ayolah, kita ini kan ada di dalam satu raga. Kau mau raga kita masuk rumah sakit jiwa?" 

"Tidak mungkin dia masuk rumah sakit jiwa. Lagipula keluarganya tidak mau membawa dia ke psikiater, bukan? Sudah ya, aku sedang sibuk belajar." 

"Belajar? aku yakin kau bahkan tidak bisa menghapal seperempat dari total rumus yang ada di dalam sana." Aku menjawab sengit. Wajahku memanas, ini pertengkaran pertama kami sejak raga terlahir ke dunia. 

***

Kurang ajar sekali dia berani merendahkanku seperti itu. Dia pikir si bodoh ini tidak bisa berubah? Justru dia yang tetap begitu, tidak berani berinteraksi, aneh. Lihat saja, keadaan akan menjadi lebih buruk lagi jika tanpa aku. 

"Oh, jadi kau berani merendahkanku sekarang. Sepertinya kau sudah tidak membutuhkanku lagi ya? Baiklah kalau begitu." Aku mengembalikan buku rumus miliknya yang sedari tadi kubaca, kemudian mengempaskan tubuh dan memejamkan mata dengan rasa gondok. 

Keadaan kembali hening, persis sebelum aku mengutarakan ideku sebulan yang lalu. Aku perlahan melihat si sok pintar itu duduk, meratapi raga kami yang masih termenung kosong di hadapan Pak Heri.
Guru itu tidak ada bosannya bertanya ya? 

Merasa diperhatikan, Damian memutar kepala dan menoleh ke arahku, "Apa?" Tanyanya sengit. Sombong sekali. 

"Kau benar-benar berpikir tidak membutuhkan aku lagi ya? Baiklah kalau begitu. Urus semuanya sendiri, berdiam dirilah sampai kau muak. Aku berhenti dengan semua tugasku selama ini. Tidak akan ada lagi Damian yang pintar dan supel, hanya tinggal Damian seorang pasien rumah sakit jiwa." Aku memaki kesal, kemudian kembali memejam mungkin untuk selamanya. Tugasku sudah selesai, Damian kini normal seperti kebanyakan orang, berkepribadian satu. 

***
Mungkin memang benar aku tidak membutuhkannya, lagipula seluruh kendali otak ada padaku. Aku harus belajar untuk terbiasa berinteraksi dan aku akan benar-benar tidak membutuhkan dia lagi. Damian hanya perlu satu kepribadian, yaitu aku.

"Damian, tolong jawab saya." Aku kembali mendengar suara Pak Heri yang masih sibuk memaksa. 

Aku membuka mulut, tenggorokanku terasa tercekat. Kenapa sih aku ditakdirkan untuk menjadi minder seperti ini? Ayolah Damian… sepatah dua patah kata saja masa tak bisa kau katakan?

"Iya, Pak." Suaraku akhirnya keluar. Wajah Pak Heri terlihat berseri, akupun ikut tersenyum sumringah. 

***

Akhirnya dia berbicara, untuk pertama kalinya Damian mau menjawab pertanyaanku. Aku harus tau apa yang membuatnya menjadi seperti ini, apakah depresi atau masalah lainnya. Tanpa adanya Damian sekolah ini akan kehilangan pamor. 

"Jadi, apa yang terjadi padamu beberapa hari ini?" 

Aku melihatnya menarik napas beberapa kali, mengerjap-ngerjapkan mata dan baru kembali membuka mulut, "Tidak ada apa-apa." 

Kemudian Damian kembali bungkam. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, lalu pandangannya kosong sama sekali. Pertanyaan apapun yang kulontarkan pasti tak akan digubrisnya lagi. Aku sudah bosan memaksanya berbicara. Ada sedikit pergumulan dalam hatiku, untuk tetap bertahan atau menyerah pada keadaannya. 

"Hari ini kita sudahi dulu. Besok kamu kembali ke ruangan saya lagi, ya." Aku tersenyum padanya, mempersilahkan mantan andalan sekolah kami itu untuk keluar.

Kepalaku otomatis menggeleng bingung, ada apa dengan anak itu ya? Ah sudahlah, lebih baik kuselesaikan mengatur perubahan jadwal pelajaran ini dulu. Soal Damian akan kulanjutkan besok, mungkin aku dapat menghubungi orang tuanya lagi. Semoga mereka mau mendengarkan perkataanku.

Tak beberapa lama pintu ruanganku diketuk, dua wajah yang kukenal betul muncul dari balik tabir kayu itu. Mereka terlihat pucat pasi dan sedikit gelagapan. 

"Pak Heri, Damian Pak." 

***

Aku sedikit limbung akhir-akhir ini, mataku sering berkunang-kunang dan rasanya ingin jatuh. Bodohnya lagi, aku masih memaksakan untuk naik sepeda dengan keadaan seperti ini. Teman-teman memaksaku tadi, mereka tidak tahu aku ini si kepribadian yang tidak pernah mencoba naik sepeda sekalipun. 

Aku menggeleng kuat untuk yang entah keberapa kalinya, "Tidak, tidak, tidak." 

"Ayolah, Damian. Kau kan selalu menjadi juara pertama, bahkan saat dulu kakimu terkilirpun." Mereka terus memaksaku meskipun aku sudah berulang kali menolak, ribuan kali menggelengkan kepala. 

Mereka tidak tahu, aku ini tidak pernah naik sepeda. Si juara yang mereka maksud itu, ya, Damian satu lagi pastinya. Susah ya, memiliki kembaran yang terlampau atletik. Tapi ini adalah kesempatanku untuk bersosialisasi, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan maka kunaiki juga sepeda itu akhirnya. 

Kakiku menekuk, mencoba mengayuh untuk yang pertama kalinya. Tidak terlalu sulit, aku hanya perlu terus mengayuh dengan sekuat tenaga dan keseimbanganku akan muncul dengan sendirinya. Tapi dengan keadaan seperti ini dan tidak pernah menaiki sepeda sebelumnya, siapa sih yang tidak celaka?

Hal yang kuingat adalah, mataku sempat berkunang-kunang dan kakiku kehilangan pijakan. Oh, dan aku juga mendengar suara teriakan teman-teman sebelum semuanya gelap gulita. Hal yang kurasakan? Sakit tentu saja, sepertinya beberapa tulang rusukku retak.  

***

Aku tersentak, terbangun dari tidur panjangku. Seluruh tubuhku terasa sakit sekali, ada nyeri yang sangat hebat si sekitar dada. Apa yang si sok tahu itu telah lakukan pada raga? 

Aku beranjak untuk mencari si Damian satu lagi yang sudah lama tidak kulihat keberadaannya karena sibuk tenggelam dalam mimpi-mimpi indah. Semuanya terasa sunyi dan gelap, mungkin ragaku sedang tertidur di luar sana. 

"Damian?" Aku menyentuh tubuh kembaranku yang terkulai lemas, tubuhnya dingin dan napasnya tak beraturan. Sebenarnya ada apa ini? 

Panik dan sakit, hanya itu yang kurasakan sekarang. Nyawa ragaku pasti sedang berada di ujung tanduk, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah kemungkinan terburuk itu. Kalau saja aku tidak memutuskan untuk berhenti melakukan tugasku beberapa hari yang lalu, pasti semuanya tidak akan menjadi seperti ini. Ya, kalau saja. 

***

Sudah berhari-hari yang kulakukan hanyalah berdoa, doa untuk Damian anakku yang telah koma selama tiga hari. Katanya ia menabrak sebuah pohon ketika mengendarai sepeda dan terpental beberapa meter, diperkirakan ada cedera pada otak dan retakan pada tulang rusuk. Kalau saja aku menyerah pada keadaan waktu itu, berpikir bahwa membawa Damian ke psikiater tidak ada salahnya, pasti semuanya tidak akan begini. Ya, kalau saja. 

Aku masih melamun sedih ketika Damian menggenggam tanganku lembut. Ia memanggil pelan aku, suaranya melelehkan kembali air mata yang kukira sudah terkuras habis. 

"Mama, sakit." Ia merintih ngilu, membuatku ikut menggemelutukkan gigi. 

Kuelus rambut anakku pelan. Kalau saja aku bisa menggantikan posisinya sekarang, aku rela, sangat rela. 

"Damian sabar ya, sayang. Mama ada disini, kamu bisa minta apa saja yang kamu butuh pada mama." 

"Air." 

Tanganku meraih gelas berisi air putih di atas meja, mendekatkan bibir gelas pada bibirnya, membiarkannya meneguk setiap bulir dan melepas dahaga. Aku bahagia melihatnya, bahagia bisa kembali berbicara dan mengurusnya. 

***

Hal yang pertama keluar dalam benakku adalah, aku harus menutup kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada ragaku. Aku harus menyeruak keluar dan mengambil alih kendali raga meskipun itu akan terasa sangat menyakitkan.Tanpa berpikir dua kali akupun segera menyeruak keluar, sakit sekali rasanya. Kuhidupkan kembali raga, meski penuh dengan rintihan ngilu. 

Tapi cerita belum selesai, aku tidak bisa begini terus. Damian tidak boleh kehilangan satu kepribadiannya dan menjadi seperti layaknya manusia normal, lagipula aku ini kan bodoh. 

Setelah meminta minum karena tenggorokanku terasa seperti digerus perlahan, aku kembali menutup mata dan menyeruak masuk. Sebentar ya, Mama. Aku akan kembali dengan Damian yang semua orang kenal. 

Damian masih terkulai lemas, tubuhnya semakin dingin saja. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tetapi aku yakin dia kuat.

"Damian, aku dan kamu, kita lebih kuat dari kematian." Air mataku menetes, aku bahkan tidak yakin dengan perkataanku barusan. Tapi aku, tidak ingin kehilangan dia. 

Aku sadar, dua Damian inilah yang telah menyempurnakan dan menjadikan raga utuh selama ini. Kami berdua dengan tugas dan kemampuan kami masing-masing. Betapa bodohnya aku sempat merasa iri dengan dia, padahal selama ini semuanya berjalan baik-baik saja. Kita bodoh ya, Damian. 

Tilas masa lalu seakan merajamku, semua ini terjadi karena aku, karena ideku dan ketidakpedulianku. Hatiku hancur terkecai, dan air mata ini terus berderai, seiring dengan tubuh satu Damian di sebelahku yang kian mendingin. 

Ah, mengapa aku ini? Mengapa aku tak pernah puas, mengapa aku selalu cemburu… Mengapa aku tega mengorbankan separuh dari diriku hanya untuk ego yang tak ada habisnya? 

Maaf, Damian. Maafkan aku yang selalu menjadi gulma dalam setiap harimu. Seharusnya aku yang pergi, bukan kamu. 
***

Kini semua telah terlambat, aku tak lagi dapat melihatmu, Damian. hanya mengenangmulah satu-satunya hal yang dapat sedikit demi sedikit menyembuhkan luka. Namun semuanya tak akan lagi sama, hanya ada aku kini, hanya ada separuh Damian. Separuh Damian yang akan mencoba mengepakkan sebelah sayap, karena sebelah lagi telah lenyap demi menghapus ego semata. 

Aku kembali membuka mata, hai dunia-Apa kabar? Aku sudah puas berada dalam mimpi indah, dan kini aku akan kembali menjalani kehidupan nyata yang tak lebih baik dari mimpiku. 

Mereka semua ada disini. Keluargaku, Pak Heri, beserta seluruh teman-teman sekelas. Mereka semua peduli padaku, mereka semua yang kini akan membantuku menjalani kehidupan ini. Mudah-mudahan aku cepat terbiasa dengan keadaan ini ya, Damian. 

Mudah-mudahan aku cepat terbiasa untuk menjalani kehidupan yang tak lebih baik dari mimpiku ini seorang diri. Hidupku akan penuh gelungan nestapa, karena tanpa adanya lagi kamu, Damian. 

Kemarin gue diundang buat ikut acara penyerahan hadiah lomba di Ora et Labora Jaksel, sebuah pengalaman yang cukup berharga karena disana gue ngerasa lagi di dunianya para penulis :')

Senin, 25 Juni 2012

Apa ini?

Aku mungkin masih terlalu naif untuk mengenal cinta, aku juga tak mau sok kenal karena aku masih butuh ketenangan untuk menghabiskan masa mudaku. Tapi, semua orang pasti pernah dan akan jatuh cinta. Yah, aku pernah beberapa kali merasa jatuh, mungkin bukan jatuh cinta karena aku tidak mengenalnya, aku menamakan setiap rasa itu dengan jatuh untuk kebahagiaan orang yang kusayang. Sama bukan dengan jatuh cinta? Butuh pengorbanan.

Kali ini aku hanya ingin curhat sejujurnya, tentang rasa yang terus terpendam karena tak ingin kehilangan. Aku tidak tahu apa namanya rasa yang kumiliki ini, tapi yang aku tau..

Aku selalu ingin tertawa setiap kali melihatnya tertawa, dan setiap kata yang keluar dari bibirnya selalu terbungkam sempurna dalam hatiku, selalu teringat dalam otakku.

Aku berdoa untuknya di hari ujian, bahkan hampir lupa untuk mendoakan diriku sendiri.

Aku rindu terhadap ejekannya, aku rindu akan kata-katanya yang seakan merendahkan diriku, yang kubenci bila itu keluar dari bibir orang lain.

Aku terjaga setiap malam, mengenang setiap kejadian yang kami alami bersama, sebagai teman.

Aku berubah kekanak-kanakan dan ceroboh juga kaku ketika berada di dekatnya, padahal dulu, aku tidak pernah seaneh ini.

Aku ikut menyukai lagu-lagu favoritnya, genre lagu yang kudengar berubah seratus delapan puluh derajat karena dia.

Semakin lama aku demikian tertarik ke dalam dunianya, mengikuti alur hidupnya, dan semakin jatuh ke dalam.

Dan aku menangis, hanya karena membaca segelintir kalimat yang dituliskannya.

Mungkin semuanya terdengar bodoh, dan jangan tanya aku apa rasanya. Karena bahkan diriku sendiri tak dapat menerka apa yang kurasakan, dan bagaimana sakitnya. Mungkin ini bukan cinta, karena aku tidak mengenalnya. Mungkin bukan juga sayang, bukan juga suka. Namun yang kutahu, aku peduli dan takut. Takut kehilangan dia.

Jadi apa namanya ini? Tentu bukan cinta, karena sekali lagi, aku terlalu masih terlalu polos untuk mengenalnya, karena bahkan belajar mencintai diri sendiri pun masih setengah kuterima.

Sabtu, 28 April 2012

Dendam


Bom waktu itu, ada dalam seonggok tubuh tak berguna yang masih berdetak jantungnya. Aku tak mau mengatakannya manusia, karena dia adalah sang pembunuh sekaligus pengkhianat. Kalian kenal orang ini, tapi tidak sepenuhnya. Kalian tahu namanya, tapi tidak dengan isi hati dan pikirannya. Cari dan redam bom itu sebelum matahari tepat berada di atas kepala kalian. 

Aku mengatur napas ketika Daru mengaktifkan pesan suara, "Bom lagi ya? Ah, negara ini tidak bisa melihat rakyatnya senang. Aku muak." 

"Bukan negara ini, Jendral. Tapi memang rakyatnya bukan?" 

Hening, kutatap Daru dingin, mencoba mengaktifkan kepekaan otaknya untuk menangkap maksud dari tatapanku, 'kumpulkan semua pasukan-berangkat-laksanakan tugas'. Aku tak terlalu berharap untuk ada hari esok, kalaupun kami semua harus mati memangnya kenapa? Siapa peduli? Memangnya para wakil rakyat itu peduli? Aku yakin mereka hanya akan tetap sibuk dengan masalah uang hasil korupsi itu.

"Maksudmu, rakyat yang tidak dipedulikan pemerintahnya? Atau, polisi yang selalu menjadi korban fitnah?" 

Daru hanya menyimpul senyum, "Laksanakan, Jendral!" balasnya sebelum menutup pintu.  

***
Satu persatu kami menuruni mobil dinas, entah sudah berapa ratus kali aku menaiki mobil berbau mesiu itu. Hatiku mengatakan bahwa kemungkinan besar hari ini adalah hari terakhirku berada di dalam sini. Maksudku, kami semua. 

Aku masih melangkah gontai ketika seluruh pasukan mulai berpencar dan mencari tempat bom waktu itu disembunyikan. Bodoh, jelas-jelas dikatakan tadi bahwa letaknya ada dalam seonggok tubuh tak berguna seorang pengkhianat. 

"Jenderal, kira-kira dimana letak bom tersebut?" lagi-lagi wajah Daru yang kulihat, tangan kotornya baru saja menepuk pundakku dari belakang. 

"Untuk apa? tidakkah bom waktu berupa rasa iri dan dengki lebih buruk dari jenis yang hanya mengeluarkan kobaran api dan melahap habis mereka yang tidak sayang negara?"

"Kau selalu begitu, memangnya para wakil rakyat tidak boleh selamat? Tidak semua dari mereka jahat, bukan?" 

"Sebagian besar, Daru, hampir semua. Ngomong-ngomong, kau habis apa sih?"

"Mencari bom tentu saja, siapa tahu mereka menyembunyikannya dalam tempat sampah." 

"Menjijikkan. Lagipula, aku baru tahu tempat sampah punya jantung." 

Daru menepuk jidatnya, "Ah! aku lupa, katanya ada dalam tubuh seseorang ya? Untung kau mengingatkanku. Aku terlalu bersemangat sepertinya." 

Semangat katamu? Buang-buang tenaga saja. Toh hari ini kita semua akan mati, lagipula tidak ada seorang pun selain kami dan para pelahap uang rakyat itu disini, siapa yang bisa dicurigai? Haruskah lagi-lagi kami, sebagai polisi yang terus difitnah. Atau mereka yang tidak mungkin rela mati dan meninggalkan hasil korupsinya?

***
Mereka sibuk memeriksa seluruh anggota dewan, aku terus menguap. Memperhatikan detik demi detik yang semakin tipis, menguap, lenyap, dan sebentar lagi habis. Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas, setengah jam menuju surga. Ya, surga, aku sudah terlalu banyak mendapat fitnah dan caci maki dari rakyat. 

"Sudahlah, Daru. Tinggal setengah jam. Segitu inginnya kau untuk hidup, coba, beritahu aku apa yang akan kamu lakukan jika hari ini kita selamat?" aku mengernyit sambil mengusap pelan peluh yang membasahi wajah panik Daru. 

"Peduli setan dengan hidupku, apalagi para lintah darat itu. Aku hanya mau tetap hidup karena aku menunggumu untuk menerima cintaku." 

Aku tersentak, melangkah mundur beberapa langkah, "Lalu, kamu akan rela mati setelah itu?" 

Laki-laki itu mengangguk ragu. 

Tunggu, kenapa jantungku tiba-tiba berdetak cepat? Bukannya masih dua puluh menit lagi? Jangan bilang, kematian kami, dipercepat? 

Curang sekali si perakit sok tahu itu!

Cepat-cepat aku mendekatkan bibirku ke telinga Daru, membisikkan sebuah kalimat yang seharusnya membuat dia tersenyum, "Baiklah, kalau itu maumu. Maaf ya." 

"Maaf?" tanyanya ragu. 

Aku hanya diam, air mata perlahan meleleh, membanjiri pipiku. Suara itu kini terdengar, lima detik lagi. 

Lima…

Empat…

"Suara itu.. kamu?" 

Daru, maaf ya. 

Tiga…

Dua…

Satu… 

Puas rasanya. Negara itu hanya perlu merekrut orang-orang baru yang lebih baik untuk menduduki kursi pemerintahan saja sekarang. 

Rasa sakit ini tak sebanding dengan kepuasanku, lagipula tak ada rasanya, kok. Kecuali, rasa bersalahku pada Daru yang agak menyesakkan dada. Tapi tak apa, toh dia akan menuju ke surga. 

Aku? Kau tanya aku menuju kemana? entahlah. Menurutmu? 

Minggu, 08 April 2012

Cerpen baru, sepertinya

Aku menggaruk-garuk kepala dengan kesal, mengapa otak ini urung bekerja lagi? Mengapa ide-ide yang dulu pernah kubanggakan menghilang begitu saja, menguap, lenyap? Aku mengerjapkan mata, menyadari bahwa inilah hari ke 79 sejak 'kematianku'. Ah, waktu memang tidak pernah memberikanku ruang untuk sekadar bernapas. 

20 Januari, hari terakhir aku menulis. Menulis fiksi tentu saja. Jujur, bahkan untuk ujian praktek aku menjiplak habis salah satu cerita yang pernah kutulis khusus untuk Dumalana. Lihat, betapa hinanya aku ini. Bocah ingusan, amatir, dan sok-sok an berhenti menulis? Bodoh. 

Ingin memutuskan untuk kembali ke dunia ini, tapi bingung juga mau menulis apa. Rasanya otakku ini sudah sepenuhnya berisi hapalan untuk ujian sekolah, rasanya ia berhenti untuk berimajinasi. Ayolah otakku, kembali ke duniamu ini. 

Yah, setidaknya aku masih bisa berimajinasi, barusan aku berbicara dengan otak kan? hahaha. 

Abu-abu Kelabu 

Dunia ini kelabu, hanya berwarna hitam dan putih. Ah, hitam bukan warna. Dunia ini hanya berwarna putih dan segaris abu. 

Menjalankan hari-hari yang begitu membosankan tentu bukan sebuah pilihan. Tapi setidaknya hari-hari seperti itu tidak beresiko, kamu tinggal berjalan sesuai arah angin, dan voila! 24 jam sudah kembali kau lewati. 

Hari-hariku ini membosankan, bosan karena aku tidak boleh menanggung resiko. lengah sedikit saja, dewa kematian akan mulai memburu nyawaku. Jujur, aku ingin sekali merasakan indahnya dunia luar, aku ingin menjadi benar-benar 'hidup'. Hidup untuk menjawab sebuah pertanyaan yang mungkin tak bisa dijawab oleh seorang ahli filsafat sekalipun. 

Apa itu arti hidup? 

Kau tahu, bagaimana rasanya saat melihat sekian banyak orang mencuri demi uang? Sakit. Aku merasa hina karena sama dengan mereka. Bayangkan saja, kami sama-sama tidak berdaya dan dikucilkan. Hanya bedanya, aku akan mati sebentar lagi, dan mereka? Mereka masih punya banyak waktu untuk menjadi lebih baik. 

Rasanya ketika melihat orang yang menikah dan meninggalkan orang tuanya begitu saja? Kesal, karena hanya mereka berdua yang kumiliki sekarang. Aku bahkan tidak bisa membalas jasa mereka, dan aku harus melihat manusia-manusia tak tahu terimakasih yang pergi begitu saja saat tak mau balas direpotkan. 

Pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? 

Kamu merasa dibutuhkan dunia? 
Lalu, kalau ditanya kau lahir untuk apa. Jawabmu? 
Bisa menyebutkan siapa saja yang butuh kamu?
Mama? Papa? Adik? Kakak? 
Bisa menyebutkan nama mereka satu persatu? 
Kalau bisa, maka kamu beruntung. 

Setidaknya kau lebih beruntung dari aku. 

Karena aku, tidak pernah sanggup menjawab pertanyaanku sendiri. 

Aku tidak tahu, aku lahir untuk siapa dan apa. 

Aku tidak dibutuhkan dunia. 

Jika kau tanya, siapa aku. 

Aku hanya setitik kecil di dunia, yang ingin memiliki hidup sepertimu. 

Aku hanya ingin hidup dalam artian yang sebenarnya, bukan sebagai onggokan daging yang bernapas. 

Aku iri, 

Aku iri denganmu, maka syukurilah hidupmu itu.

(bersambung) 

Ndre mau pergi dulu, nanti lanjut lagi :)  

Sabtu, 21 Januari 2012

Keseratus

Asal usul ide Waxed, cuman nama Bundanya aja yang beda.


Semilir angin memanja rambut, kaki-kaki kecil tergelitik rumput. Kalil kecil tertawa, melompat, berjingkrak-jingkrak riang. Satu kali ia berhenti, mengambil setitik embun dan merembeskannya ke dalam mata. Segar.


“Kalil, jangan jauh-jauh ya mainnya,” pesan Nenek yang sedang menenun di pinggir hutan kota, matanya yang lindap sibuk mengawasi gerak-gerik cucunya.

Kalil hanya mengangguk. otot-otot kakinya masih terus menekuk-nekuk, membuatnya berlari lebih cepat dan lebih cepat lagi. Sampai ia berdiri sesat di tengah sunyinya jantung hutan. Celingak-celinguk ragu, tidak ada siapa-siapa, hanya sepi yang menemani. Semilir angin terasa semakin dingin, menaikkan bulu kuduk Kalil satu demi satu.

“Nenek..” ia berbisik takut.

“Kalil, kemarilah. Ada kejutan untukmu.”

Jawaban! Tepatnya bisikkan. Kalil bahagia, ia kembali berjingkrak-jingkrak sambil mengikuti arah datangnya suara. Kakinya melompat teratur mengikuti jalan setapak yang bagai disusun khusus menyambut kedatangannya.
***
Mata Kalil menangkap sana-sini. Namun jalan yang dilewatinya hanya dipenuhi pohon, pohon, dan pohon.

“Kiri, kanan. Kulihat saja. Banyak pohon…” senandungnya tertahan. Bukan apa-apa, tapi ia tidak mengetahui di golongan mana pohon itu berada. Pelajaran biologi di sekolah terasa baru seujung kuku ia selami.

Kalil terperanjat, sesuatu yang kenyal berada di bawah kakinya. Ketika melihat ke bawah, gerak-gerik lincahnya terhenti. Dunianya terhenti sesaat. Ia menginjak gepeng seekor cicak, cairan bening lengket membasahi telapak kaki Kalil.

“Ma.. ma.. MAMAAA!” Kalil lari tunggang langgang, tungkai kurusnya kembali membengkok-bengkok cepat.
Tanpa sengaja kaki-kaki kecil itu membawanya ke depan sebuah rumah kecil di tengah hutan. Terbuat dari bata yang dicat kuning muda, genting merah marun yang tampaknya masih basah oleh cat, lengkap dengan cerobong asap yang dibangun sedimikian rupa agar asap perapian yang keluar dari dalamnya membentuk spiral lembut. Angin yang berhembus mengantarkan semilir wangi sup labu.

Pintu tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan setengah baya bersama dengan seorang anak perempuan kuncir kuda yang mungkin sebaya dengan Kalil tersenyum lembut dari dalam, “Kelihatannya kau tersesat, ya? Ayo, masuk dulu kesini kalau lapar. Kebetulan kami sedang memasak sup labu,” ajaknya. 

Kalil mangangguk.
***
“Itu patung siapa?” tanya Kalil dengan mulut penuh sup, telunjuknya mengarah ke sebuah patung lilin dengan potongan tubuh dan wajah yang sempurna.

“Itu patung Kak Akmal. Dia Kakak laki-lakiku yang meninggal karena diterkam beruang.” Gadis kecil itu menjawab.

“Ya, Tiara benar. Sejak kepergian Akmal rumah kami ini menjadi sepi. Ah, seandainya saja waktu bisa diulang, pasti tidak ada penderitaan dan kesedihan.”

“Kalau yang lainnya?” tanya Kalil kembali, kali ini pertanyaannya untuk seluruh patung-patung lilin yang memenuhi ruangan.

“Itu anak-anakku yang lainnya. Lambat laun kau pasti mengerti siapa mereka.”

“Oh,” gumam Kalil sambil kembali menikmati sup.

“Namamu siapa, Nak?” tanya wanita setengah baya itu, sinar keibuan terpancar dari matanya.

“Namaku Kalil, Bibi?”

“Panggil aku Bibi Lili. Ini anak perempuanku, Tiara.”

“Baik, Bibi Lili.”

“Ayo, ikuti Bibi. Akan kutunjukkan kamarmu,” Bibi Lili memegang lengan Kalil, tangannya terasa sangat lembut. Agak terlalu lembut.

Kalil sekali lagi menaik-turunkan kepalanya tanda setuju.

***
Suasana kamar terasa berbeda dengan hangatnya ruang makan. Kamar ini berdebu, ditambah lagi gelap karena tanpa listrik. Kamar ini memang bekas kamar Akmal, tapi sebelumnya Bibi Lili sudah menjamin, tidak akan ada penampakan disini.

Kalil membalikkan tubuhnya gelisah, sudah dua jam berlalu tapi matanya masih belum bisa tertutup juga. Ia berdiri kemudian berjalan ke arah pintu, niatnya untuk mencari udara segar. Namun ia mengurungkan niatnya saat mendengar suara kecipak air dan jeritan samar-samar.

Apa itu? Otaknya mengirimkan sinyal-sinyal curiga. Tapi apa juga yang harus dicurigai, toh itu juga hanya suara air. Siapa tahu Bibi Lili atau Tiara sedang mandi di kamar sebelah.
Berusaha tak peduli, Kalil kembali berbaring di atas tempat tidurnya. Ia menarik selimut sampai menutupi seluruh wajah. Malam ini terasa begitu dingin.
***

“Bagaimana tidurnya, Kalil?” Bibi Lili menepuk-nepuk kepala Kalil yang sedang makan kue putu mayang untuk makan pagi.

“Enggak terlalu nyenyak. Kalil enggak suka yang gelap-gelap.”

“Oh, iya. Biasa kok itu. Anak-anak Bibi yang lain juga selalu susah tidur di hari pertama.”

“Bi, Kalil pulang ke rumah ya. Kalil takut Nenek cemas.”

“TIDAK BOLEH!”

Kalil mundur beberapa langkah, jantungnya berdetak cepat.

“Ah, maaf. Maaf sayang. Kamu jadi takut ya? Bibi enggak bermaksud marah, kok. Maksud Bibi, sebelum pulang kamu harus mandi dulu,” wanita itu gelagapan.

“Mandi dimana?”

“Di atas, di sebelah kamarmu. Ayo.”
***
Bibi Lili memencet saklar di ujung ruangan. Cahaya seketika saling menyambar, memburamkan mata siapapun yang melihatnya. Terlihat sebuah bak mandi bertembok tinggi. Pintu dikunci dari luar.

“Itu bak mandinya, sekarang kamu mandi ya Kalil,” ajak wanita itu sambil tersenyum simpul.
Kalil berjalan perlahan, menghampiri bak mandi tersebut. Dengan kaki-kaki kecilnya yang kembali tertekuk-tekuk, kali ini karena naik tangga. Sampai dipuncak. Ia mencelupkan tangannya ke dalam air, untuk memastikan air tersebut tidak panas mendidih. Kalil tidak mau nasibnya berakhir seperti dongeng Hansel dan Gretel.

Tunggu. Air yang disentuh Kalil mengeras di jari telunjuknya. Ini bukan air, ini lilin!
Kalil tersentak, wajahnya seketika pucat pasi. Ia segera berlari turun melewati tangga yang barusan didakinya.

“Kalil, kenapa tidak jadi? Airnya terlalu panas ya? Atau kurang hangat?” Bibi Lili tersenyum, namun kali ini senyumnya lain. Tentu saja lain, ia baru mendapat mangsa baru!

“Jahat! Hantu! Aku mau pergi, biarkan aku pulang!” tanpa memedulikan pertanyaan yang ditujukan padanya, Kalil mendorong tubuh wanita di hadapannya. Seketika Bibi Lili limbung dan jatuh terjerembap ke lantai.

Kaki-kaki kecil yang tertekuk-tekuk, kali ini berpeluh dingin. Pemiliknya di ujung tanduk.

Kaki-kaki kecil yang tertekuk-tekuk, berusaha mencari perlindungan. Tapi semua sisi terkutuk.

Semua pintu tertutup, tidak ada ventilasi apapun. Kalil kecil mau kemana?
***
Kubangan lilin yang semula tenang kini beriak. Panas.

Koleksi patung lilin wanita kesepian dan anaknya kini bertambah. Tungkai-tungkai kurus yang tertekuk-tekuk itu tentu mengingatkan pada seseorang.

Seseorang kecil yang menggenapi patung-patung lilin itu menjadi seratus.

“Tiara, hangatkan sup labu. Nyalakan api perapian. Kita kedatangan tamu lagi.”

Selamat datang, tamu ke seratus satu.