Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 April 2012

Cerpen baru, sepertinya

Aku menggaruk-garuk kepala dengan kesal, mengapa otak ini urung bekerja lagi? Mengapa ide-ide yang dulu pernah kubanggakan menghilang begitu saja, menguap, lenyap? Aku mengerjapkan mata, menyadari bahwa inilah hari ke 79 sejak 'kematianku'. Ah, waktu memang tidak pernah memberikanku ruang untuk sekadar bernapas. 

20 Januari, hari terakhir aku menulis. Menulis fiksi tentu saja. Jujur, bahkan untuk ujian praktek aku menjiplak habis salah satu cerita yang pernah kutulis khusus untuk Dumalana. Lihat, betapa hinanya aku ini. Bocah ingusan, amatir, dan sok-sok an berhenti menulis? Bodoh. 

Ingin memutuskan untuk kembali ke dunia ini, tapi bingung juga mau menulis apa. Rasanya otakku ini sudah sepenuhnya berisi hapalan untuk ujian sekolah, rasanya ia berhenti untuk berimajinasi. Ayolah otakku, kembali ke duniamu ini. 

Yah, setidaknya aku masih bisa berimajinasi, barusan aku berbicara dengan otak kan? hahaha. 

Abu-abu Kelabu 

Dunia ini kelabu, hanya berwarna hitam dan putih. Ah, hitam bukan warna. Dunia ini hanya berwarna putih dan segaris abu. 

Menjalankan hari-hari yang begitu membosankan tentu bukan sebuah pilihan. Tapi setidaknya hari-hari seperti itu tidak beresiko, kamu tinggal berjalan sesuai arah angin, dan voila! 24 jam sudah kembali kau lewati. 

Hari-hariku ini membosankan, bosan karena aku tidak boleh menanggung resiko. lengah sedikit saja, dewa kematian akan mulai memburu nyawaku. Jujur, aku ingin sekali merasakan indahnya dunia luar, aku ingin menjadi benar-benar 'hidup'. Hidup untuk menjawab sebuah pertanyaan yang mungkin tak bisa dijawab oleh seorang ahli filsafat sekalipun. 

Apa itu arti hidup? 

Kau tahu, bagaimana rasanya saat melihat sekian banyak orang mencuri demi uang? Sakit. Aku merasa hina karena sama dengan mereka. Bayangkan saja, kami sama-sama tidak berdaya dan dikucilkan. Hanya bedanya, aku akan mati sebentar lagi, dan mereka? Mereka masih punya banyak waktu untuk menjadi lebih baik. 

Rasanya ketika melihat orang yang menikah dan meninggalkan orang tuanya begitu saja? Kesal, karena hanya mereka berdua yang kumiliki sekarang. Aku bahkan tidak bisa membalas jasa mereka, dan aku harus melihat manusia-manusia tak tahu terimakasih yang pergi begitu saja saat tak mau balas direpotkan. 

Pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? 

Kamu merasa dibutuhkan dunia? 
Lalu, kalau ditanya kau lahir untuk apa. Jawabmu? 
Bisa menyebutkan siapa saja yang butuh kamu?
Mama? Papa? Adik? Kakak? 
Bisa menyebutkan nama mereka satu persatu? 
Kalau bisa, maka kamu beruntung. 

Setidaknya kau lebih beruntung dari aku. 

Karena aku, tidak pernah sanggup menjawab pertanyaanku sendiri. 

Aku tidak tahu, aku lahir untuk siapa dan apa. 

Aku tidak dibutuhkan dunia. 

Jika kau tanya, siapa aku. 

Aku hanya setitik kecil di dunia, yang ingin memiliki hidup sepertimu. 

Aku hanya ingin hidup dalam artian yang sebenarnya, bukan sebagai onggokan daging yang bernapas. 

Aku iri, 

Aku iri denganmu, maka syukurilah hidupmu itu.

(bersambung) 

Ndre mau pergi dulu, nanti lanjut lagi :)  

Sabtu, 21 Januari 2012

Keseratus

Asal usul ide Waxed, cuman nama Bundanya aja yang beda.


Semilir angin memanja rambut, kaki-kaki kecil tergelitik rumput. Kalil kecil tertawa, melompat, berjingkrak-jingkrak riang. Satu kali ia berhenti, mengambil setitik embun dan merembeskannya ke dalam mata. Segar.


“Kalil, jangan jauh-jauh ya mainnya,” pesan Nenek yang sedang menenun di pinggir hutan kota, matanya yang lindap sibuk mengawasi gerak-gerik cucunya.

Kalil hanya mengangguk. otot-otot kakinya masih terus menekuk-nekuk, membuatnya berlari lebih cepat dan lebih cepat lagi. Sampai ia berdiri sesat di tengah sunyinya jantung hutan. Celingak-celinguk ragu, tidak ada siapa-siapa, hanya sepi yang menemani. Semilir angin terasa semakin dingin, menaikkan bulu kuduk Kalil satu demi satu.

“Nenek..” ia berbisik takut.

“Kalil, kemarilah. Ada kejutan untukmu.”

Jawaban! Tepatnya bisikkan. Kalil bahagia, ia kembali berjingkrak-jingkrak sambil mengikuti arah datangnya suara. Kakinya melompat teratur mengikuti jalan setapak yang bagai disusun khusus menyambut kedatangannya.
***
Mata Kalil menangkap sana-sini. Namun jalan yang dilewatinya hanya dipenuhi pohon, pohon, dan pohon.

“Kiri, kanan. Kulihat saja. Banyak pohon…” senandungnya tertahan. Bukan apa-apa, tapi ia tidak mengetahui di golongan mana pohon itu berada. Pelajaran biologi di sekolah terasa baru seujung kuku ia selami.

Kalil terperanjat, sesuatu yang kenyal berada di bawah kakinya. Ketika melihat ke bawah, gerak-gerik lincahnya terhenti. Dunianya terhenti sesaat. Ia menginjak gepeng seekor cicak, cairan bening lengket membasahi telapak kaki Kalil.

“Ma.. ma.. MAMAAA!” Kalil lari tunggang langgang, tungkai kurusnya kembali membengkok-bengkok cepat.
Tanpa sengaja kaki-kaki kecil itu membawanya ke depan sebuah rumah kecil di tengah hutan. Terbuat dari bata yang dicat kuning muda, genting merah marun yang tampaknya masih basah oleh cat, lengkap dengan cerobong asap yang dibangun sedimikian rupa agar asap perapian yang keluar dari dalamnya membentuk spiral lembut. Angin yang berhembus mengantarkan semilir wangi sup labu.

Pintu tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan setengah baya bersama dengan seorang anak perempuan kuncir kuda yang mungkin sebaya dengan Kalil tersenyum lembut dari dalam, “Kelihatannya kau tersesat, ya? Ayo, masuk dulu kesini kalau lapar. Kebetulan kami sedang memasak sup labu,” ajaknya. 

Kalil mangangguk.
***
“Itu patung siapa?” tanya Kalil dengan mulut penuh sup, telunjuknya mengarah ke sebuah patung lilin dengan potongan tubuh dan wajah yang sempurna.

“Itu patung Kak Akmal. Dia Kakak laki-lakiku yang meninggal karena diterkam beruang.” Gadis kecil itu menjawab.

“Ya, Tiara benar. Sejak kepergian Akmal rumah kami ini menjadi sepi. Ah, seandainya saja waktu bisa diulang, pasti tidak ada penderitaan dan kesedihan.”

“Kalau yang lainnya?” tanya Kalil kembali, kali ini pertanyaannya untuk seluruh patung-patung lilin yang memenuhi ruangan.

“Itu anak-anakku yang lainnya. Lambat laun kau pasti mengerti siapa mereka.”

“Oh,” gumam Kalil sambil kembali menikmati sup.

“Namamu siapa, Nak?” tanya wanita setengah baya itu, sinar keibuan terpancar dari matanya.

“Namaku Kalil, Bibi?”

“Panggil aku Bibi Lili. Ini anak perempuanku, Tiara.”

“Baik, Bibi Lili.”

“Ayo, ikuti Bibi. Akan kutunjukkan kamarmu,” Bibi Lili memegang lengan Kalil, tangannya terasa sangat lembut. Agak terlalu lembut.

Kalil sekali lagi menaik-turunkan kepalanya tanda setuju.

***
Suasana kamar terasa berbeda dengan hangatnya ruang makan. Kamar ini berdebu, ditambah lagi gelap karena tanpa listrik. Kamar ini memang bekas kamar Akmal, tapi sebelumnya Bibi Lili sudah menjamin, tidak akan ada penampakan disini.

Kalil membalikkan tubuhnya gelisah, sudah dua jam berlalu tapi matanya masih belum bisa tertutup juga. Ia berdiri kemudian berjalan ke arah pintu, niatnya untuk mencari udara segar. Namun ia mengurungkan niatnya saat mendengar suara kecipak air dan jeritan samar-samar.

Apa itu? Otaknya mengirimkan sinyal-sinyal curiga. Tapi apa juga yang harus dicurigai, toh itu juga hanya suara air. Siapa tahu Bibi Lili atau Tiara sedang mandi di kamar sebelah.
Berusaha tak peduli, Kalil kembali berbaring di atas tempat tidurnya. Ia menarik selimut sampai menutupi seluruh wajah. Malam ini terasa begitu dingin.
***

“Bagaimana tidurnya, Kalil?” Bibi Lili menepuk-nepuk kepala Kalil yang sedang makan kue putu mayang untuk makan pagi.

“Enggak terlalu nyenyak. Kalil enggak suka yang gelap-gelap.”

“Oh, iya. Biasa kok itu. Anak-anak Bibi yang lain juga selalu susah tidur di hari pertama.”

“Bi, Kalil pulang ke rumah ya. Kalil takut Nenek cemas.”

“TIDAK BOLEH!”

Kalil mundur beberapa langkah, jantungnya berdetak cepat.

“Ah, maaf. Maaf sayang. Kamu jadi takut ya? Bibi enggak bermaksud marah, kok. Maksud Bibi, sebelum pulang kamu harus mandi dulu,” wanita itu gelagapan.

“Mandi dimana?”

“Di atas, di sebelah kamarmu. Ayo.”
***
Bibi Lili memencet saklar di ujung ruangan. Cahaya seketika saling menyambar, memburamkan mata siapapun yang melihatnya. Terlihat sebuah bak mandi bertembok tinggi. Pintu dikunci dari luar.

“Itu bak mandinya, sekarang kamu mandi ya Kalil,” ajak wanita itu sambil tersenyum simpul.
Kalil berjalan perlahan, menghampiri bak mandi tersebut. Dengan kaki-kaki kecilnya yang kembali tertekuk-tekuk, kali ini karena naik tangga. Sampai dipuncak. Ia mencelupkan tangannya ke dalam air, untuk memastikan air tersebut tidak panas mendidih. Kalil tidak mau nasibnya berakhir seperti dongeng Hansel dan Gretel.

Tunggu. Air yang disentuh Kalil mengeras di jari telunjuknya. Ini bukan air, ini lilin!
Kalil tersentak, wajahnya seketika pucat pasi. Ia segera berlari turun melewati tangga yang barusan didakinya.

“Kalil, kenapa tidak jadi? Airnya terlalu panas ya? Atau kurang hangat?” Bibi Lili tersenyum, namun kali ini senyumnya lain. Tentu saja lain, ia baru mendapat mangsa baru!

“Jahat! Hantu! Aku mau pergi, biarkan aku pulang!” tanpa memedulikan pertanyaan yang ditujukan padanya, Kalil mendorong tubuh wanita di hadapannya. Seketika Bibi Lili limbung dan jatuh terjerembap ke lantai.

Kaki-kaki kecil yang tertekuk-tekuk, kali ini berpeluh dingin. Pemiliknya di ujung tanduk.

Kaki-kaki kecil yang tertekuk-tekuk, berusaha mencari perlindungan. Tapi semua sisi terkutuk.

Semua pintu tertutup, tidak ada ventilasi apapun. Kalil kecil mau kemana?
***
Kubangan lilin yang semula tenang kini beriak. Panas.

Koleksi patung lilin wanita kesepian dan anaknya kini bertambah. Tungkai-tungkai kurus yang tertekuk-tekuk itu tentu mengingatkan pada seseorang.

Seseorang kecil yang menggenapi patung-patung lilin itu menjadi seratus.

“Tiara, hangatkan sup labu. Nyalakan api perapian. Kita kedatangan tamu lagi.”

Selamat datang, tamu ke seratus satu.

Minggu, 25 Desember 2011

Pelangi dan Cahaya Hati

Pelangi kalau warnanya cuma satu, namanya masih pelangi bukan ya?

Hah?

Kan orang nyebutnya beda-beda tuh. Kalau di Jepang, Niji. Di Korea, Mujigae. Kalau Amerika sana Rainbow. Nah, kalau pelangi warnanya Cuma satu namanya pelangi bukan?

Apaan sih? Nes bingung…

Yah, sama aja lah kayak jatuh cinta, Nes. Indahnya karena banyak warna, kalau Cuma satu warna sih enggak akan menarik. Dan tau sendiri kan, pelangi muncul sehabis turun hujan. Sewaktu titik-titik air itu dibiaskan matahari. Nah, mungkin saja suatu saat nanti akan ada cahaya yang membiaskan air matamu itu, menjadikan hidupmu kembali berwarna layaknya pelangi. Cahaya hati.  ­­
***

Aku menyipitkan mata, membiarkan wajahku diterpa sinar matahari. Rasa sakit di hati ini belum pulih, walau sudah setahun berlalu. Wajah ramah dengan mata teduh itu masih terus terngiang dalam benakku, dia yang suka membuat kesal sambil tertawa, Albert.

Hari itu, malam itu. Malam terakhir kami tertawa bersama, dimana percakapan tentang pelangi menjadi akhir dari perbincangan, sebelum monitor menggariskan tanda akhir napas kehidupan Albert. Ia bahkan belum sempat pamit. Cahaya hati, dan ia tertidur selamanya.

“Nes, sudah lah. Kakak juga mau kamu seneng, kan.” Tiara menepuk bahuku, mencoba mengendapkan air matanya yang hampir terkuras habis.

“Kok kamu tenang banget, Ra? Albert kan kakakmu.”

“Cukup lah, Nes, semuanya. Enggak ada gunanya sedih terus. Lagipula dia enggak akan kembali.” 

Aku mengangguk,  kutebarkan kelopak-kelopak bunga terakhir dari dalam keranjang dan beranjak pergi. Mencoba mencari kebahagiaan yang menjadi hakku.
***

Aku tahu usus buntu itu perlu perawatan, tetapi aku tidak pernah tahu kalau itu bisa berakhir maut.
Hari itu Albert muncul sambil tertawa, tawa hangat yang menjadi favoritku selama tiga tahun belakangan. Ia terlambat satu jam, tapi tidak masalah, aku sudah terlanjur luluh dengan tawanya itu.

“Nes. Maaf, Albert telat. Tadi motornya mogok di jalan.” Albert tersenyum sambil menggaruk lugu kepalanya yang tak gatal.

Aku hanya mengangguk, mataku tak pernah bisa lepas menatap wajah Albert. Tidak tampan, tapi ramah dan enak dilihat. Itu yang membuatku mampu berlama-lama duduk diam di hadapannya. Seperti malam ini, kami berdua duduk di bangku teras sambil mendengarkan musik.

Lagu demi lagu mengalun, terbawa keheningan malam dan hembusan angin. Hanya hembusan napas dan degup jantung yang terdengar selain itu, dimana dua perasaan yang telah bercampur selama tiga tahun menjadi semakin terasa.
Tiba-tiba Albert mengerang kesakitan, tubuhnya terhempas ke lantai. Aku lupa, tapi semuanya terjadi begitu saja. Hanya suara sirene Ambulance pemecah malam yang kemudian kuingat. Setelah itu aku sudah berada di rumah sakit, di sebelah laki-laki yang kucintai. Laki-laki yang tadi masih bisa berdiri tegap dan tertawa.

Peradangan usus buntu Albert terlambat dideteksi, ususnya sudah semakin membengkak dan infeksi parah. Hanya itu yang kutangkap dari penjelasan dokter tadi.

“Nes, jangan nangis lagi. Aku enggak apa-apa.” Suara lirihnya kembali terdengar, entah sudah keberapa kali ia memintaku untuk berhenti menangis.

“Tapi, Nesia enggak mau kehilangan Albert.”

“Nes, tau apa saja warna pelangi?”

“Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu.”

Setelah itu ia berbicara tentang pelangi dan cinta, kalimat paling serius yang pernah keluar dari mulutnya. Kalimat-kalimat yang akan selalu terpatri dalam hatiku selamanya. Dari pesan terakhirnya aku tahu, Albert tahu, hidupnya tidak akan lama lagi.

***

Baru saja aku terduduk di sofa sepulang dari jengukanku ke tempat peristirahatan terakhir Albert, terdengar suara pintu diketuk pelan dari luar. Dengan agak malas aku kembali berdiri dan beranjak membuka pintu.

Berdiri seorang lelaki yang sama sekali asing, umurnya mungkin sama denganku atau sedikit lebih tua. Rambutnya hitam legam bagai disemir, dengan hidung mancung bak bule Philippine. Turis dari mana, nih?

“Hai, selamat siang.” Sapanya ramah. Matanya memancarkan keteduhan yang nyaman. Tunggu, matanya. Aku kenal mata itu, sangat kenal.

“Siang,” jawabku pelan, masih terpana dengan apa yang barusan kusadari. Lama aku terdiam, menatap kearah wajah, hidung, senyumannya, sampai akhirnya kembali ke mata. Mata teduh itu.

Ia tersenyum, kemudian menyodorkan sebuah kertas kepadaku, “Sepertinya kau telah menyadarinya, Nes. Bacalah itu.”

Aku membuka lipatan kertas itu, dan menatap tajam, sebuah surat wasiat. Isinya pernyataan tentang pemberian retina kepada seorang pengidap tunanetra bernama Fabian Rahardja. Tidak cukup sampai disana, nama dan alamat rumahku juga tertulis dalam surat itu.

“Perkenalkan, namaku Fabian. Fabian Rahardja.”

“Nesia,” Aku membalas jabatan tangan Fabian sambil tersenyum.

Mungkinkah Fabian yang akan menjadi sang cahaya hati pembias air mataku ini? menjadikan hidupku kembali berwarna layaknya pelangi? Mungkin saja. 

Sabtu, 12 November 2011

You, it's you

Australia is a continent, about koala and kangaroo. But it kept memories behind it, memories of our friendship that brought back here, within the heart.

I’m just a Chinese-blood kid from Indonesia that could see koala and kangaroo for like everyday years ago. I was born in Australia and have been living there for a year. But still, I’m different to them. I have black hair, un-pale white skin, and I didn’t do tanning. For a year I’m there, and for a year I felt really different. But it’s not a problem when I met you, the one that made me became more comfortable and believe in myself.
                
You’re one of my Australian best friend that knows me more than myself do. Until it’s the time for me to move to Indonesia and live our memories there. For some reason we lose contact and didn’t spoke with each other for like 2 years or more.
                
Then one day, I got a phone call from an unknown number, and as you know I never had a nerve to pick up any call from an unknown number. But that day, my heart said, “Pick it up, you’ll not regret it.” So I pick it up, and smiled. I heard your voice.
                
From that day we’re getting back in contact. You forced me to made you a facebook account because you wanted to talked to my new friend, Ivon Cheshire Joanne, or in Indonesia Novi Hartanti. Then you two became a sweet couple :’)
                
As the time goes by, we knew Vinta and you introduced Dylan to us. We became besties that made me wanted to open my facebook account everyday, to laugh and play together. It was the greatest time of my life.
                
Until today, 13 November 2011. I heard you’re in a critical condition and can passed away anytime because of a broken leg that became more worse because of the haemophilia that you suffered of. Although the doctor said that there’s no more hope, I’m still wishing that I could talked to you one more time. Wishing for a miracle and seeing you online for facebook. Seeing a message or wall post from you that says, “hey guys, I’m back!” like you always do.
                
Maybe all of this gonna end soon, but maybe as you always said. That good in our bye later could matter as the hell in our hello doesn’t matter at all. See? I, we will missed you bro and bestie. 

Sabtu, 15 Oktober 2011

Mesin Waktu

Deru ombak membentuk harmoni, dan awan putih berarak menyelimuti birunya langit. Kuintip Papa yang sedang menebar abu ke laut. Sejenak kusipitkan mata kearah sinar matahari yang kini tepat bersinar diatas ubun-ubun, aku berusaha untuk tidak menangis. Tetapi walau berapa kalipun kuusap, bulir-bulir kesedihan ini tak kunjung lelah berpacu di pipiku.

“anak laki-laki ga boleh nangis. Kamu harus kuat. Ingat, kamu punya dua adik yang akan menjadikanmu panutan mereka.” Kuingat kata-kata yang selalu diucapkan mama setiap kali aku menangis, entah karena terluka atau saat merasa takut.

           Mungkin sekarang lah kata-kata itu menjadi sangat bermakna dalam hatiku, suara lembut ibu terngiang di telinga dan seakan menyelimuti hatiku dengan kehangatan. Bagaimana tidak, pemilik suara itu telah membimbingku dengan sabar dari kecil sampai umurku yang keempat belas.

Mama, seorang wanita berhati mulia meninggal dua hari yang lalu karena kecelakaan lalu lintas. Hari itu, tanggal 12 Oktober bertepatan dengan hari ulang tahunku mama berjalan sendirian di tengah hujan demi berjualan nasi bungkus yang nanti uangnya akan dipergunakan untuk membeli kue ulang tahunku. Tiba-tiba sebuah mobil bak terbuka yang dikendarai seorang sopir mabuk meluncur cepat tanpa menyadari ada seorang perempuan sedang berjalan pelan di depannya. Dalam hitungan detik seluruh dagangan mama jatuh berantakan, bersamaan dengan tubuhnya yang langsung kaku berlumuran darah.

Hal yang pertama papa lakukan setelah menerima telepon adalah memanggilku. Saat itu wajahnya tampak sangat pucat karena memendam kalut. Ia mengajakku duduk di bangku anyam kecil di teras kami.

Papa menyulut sebatang rokok kemudian duduk di sampingku, ia menghembuskan napas kemudian menatap kearah rintikan hujan diluar. “Elang.” Panggilnya tak kuasa melihat wajahku.

“iya, pa?” jawabku cemas.

“Mama, lang.. Mama. Ia kecelakaan barusan.” Dengan terbata akhirnya ia mengatakannya.

           Jantungku seakan berhenti saat itu juga, seluruh tubuhku lemas. Aku hanya menatap kosong kearah papa. “serius, pa? Kenapa bisa..” suaraku bergetar menahan tangis.

“papa juga belum tau pasti. Ayo sekarang kita ke rumah sakit.” Papa menjawab dengan singkat dan sangat pelan. Setelah menatap wajah tegarnya aku segera mengikuti papa ke motor tuanya dan membonceng di belakang.

Di rumah sakit seorang dokter menghampiri aku dan papa yang tengah terduduk lesu di kursi. “kalian keluarga ibu yang disana?” tanyanya sambil menunjuk kearah ruang dimana mama ditempatkan.

“iya, saya suaminya dan ini anaknya. Bagaimana, dok?” Papa segera berdiri dan menunggu jawaban dokter penuh harap.

Dokter di depan papa menggeleng. “sepertinya bapak sudah tau kalau ia sudah tidak dapat diselamatkan, kami telah menggunakan segala cara. Tapi apa daya, Tuhan berkehendak lain.” Ia menepuk pundak papa prihatin. “saya pamit dulu. Yang sabar ya, pak. Tuhan pasti punya rencana.” Lanjutnya, kemudian pergi meninggalkan kami.

Tubuh papa melemas dan terjatuh, lutut dan tangannya menghantam lantai. Ia menangis, menumpahkan segala kesedihan yang disimpannya sejak tadi. Aku tak kuasa melihatnya. Perasaanku semakin kacau dan pesimis. Tadinya, aku masih memiliki harapan bahwa kami bisa hidup tanpa ibu. Tetapi ketika melihat seorang panutan terhebatku kehilangan seluruh harapannya, harapanku pun perlahan menghilang.

“kak Elang..” panggilan Dito, adik terkecilku memecah lamunanku.

“iya Dit, ada apa?” suaraku terdengar sangat parau. Selama dua hari ini aku kurang tidur karena sibuk membantu papa.

“kapan ibu pulang, kak? Dito kangen nih..” Pertanyaan Dito membuatku tersentak dan bingung harus menjawab apa.

“ibu mungkin akan lamaaa… Sekali pulangnya, Dit. Tapi kamu yang sabar ya. Karena yang terpenting, walaupun raga ibu gaada disamping kita, tapi jiwa dan kebaikannya akan selalu ada disini. Selamanya.” Aku menjawab pertanyaan Dito dengan yakin sambil menunjuk kearah dadanya, sebagai penanda bahwa ibu akan selalu ada di hati kami masing-masing.

Dito mengangguk ragu, sambil menaruh telapak tangannya di dada. “jadi, Dito nanti tidur sendirian dong? Dito takut kak.” Ia melanjutkan.

“hahaha, enggak juga kok, Dit. Kamu bisa tidur sama kakak atau Kak Cempaka.” Aku menjawab pertanyaan lugu Dito dengan sedikit tawa geli.

“oh yaudah kalau gitu Dito bakal nunggu mama dengan sabar deh.” Ia tersenyum lebar, menunjukkan barisan gigi kuning dengan satu ompong. Kemudian berlari kecil kearah pantai dan mulai bermain pasir seorang diri.

Diujung sana, kuperhatikan Cempaka sedang menulis dalam buku diary warna biru. Matanya menerawang menatap langit, seakan sedang berpikir keras. Setelah terdiam cukup lama akhirnya ia menjentikkan jari dan menulis beberapa kalimat pendek dengan semangat, kemudian berhenti dan kembali menatap langit.

Penasaran dengan apa yang ditulis Cempaka aku berjalan pelan mendekatinya. “lagi apa, Cempaka?” tanyaku sambil menendang-nendang pasir putih bagaikan tepung yang menggelitik kakiku.

“ah? Kakak? Cempaka lagi nulis cita-cita Cempaka.” Jawabnya sambil tersenyum.

“cita-cita? Emang cita-cita Cempaka apa sih?” godaku padanya, anak sekecil Cempaka yang masih berumur tujuh tahun biasanya belum bisa menentukan cita-cita yang pasti.

“Cita-cita Cempaka.. Cempaka mau belajar yang rajin, rajin berdoa, rajin segalanya yang bagus-bagus. Biar mama di surga seneng ngeliat Cempaka ga bikin papa tambah stress.” Ia membacakan tulisan berantakan di dalam bukunya. Aku tersentak mendengar apa yang barusan dikatakan olehnya. Cita-cita Cempaka bukanlah menjadi seorang model seperti Kim Kandarshian atau penyanyi seperti Anggun. Ia memiliki cita-cita yang berbeda dengan orang lain, cita-cita mulia yang belum pernah kudengar sebelumnya. Kemudian aku menyadari, aku tidak pernah mengetahui apa arti dari cita-cita yang sebenarnya.

“emangnya Cempaka tau cita-cita itu apa?” Aku tertawa kecil sambil mencubit pipi bulat adik pertamaku itu.

“emm.. kata mama, cita-cita itu sesuatu yang bikin kita seneng waktu ngelakuinnya. Cempaka seneng kalau mama seneng. Jadi, cita-cita Cempaka ya bikin mama seneng.” Aku terdiam mendengar jawaban dari anak perempuan mungil namun bijaksana di depanku. Kutatap matanya lekat-lekat, ada sinar kerinduan bercampur harapan dan keyakinan di dalamnya.

Sesederhana itu ya? Tanyaku dalam hati. Ya, sesederhana itu.

Perlahan senyumku mengembang. Muncul sebuah semangat baru dalam diriku. Sebuah semangat yang mendorongku untuk bangkit dari segala kesedihan dan mewujudkan cita-citaku. Bukan, bukan menjadi seorang dokter, arsitek, atau seorang presiden. Cita-citaku adalah membantu kedua adikku dan papa untuk  membangun kembali semangat dan impian yang telah lama dibentuk. Demi kebahagiaan mama dan kami semua.

Sesederhana itu? Ya, sesederhana itu.
***

Awalnya sulit untuk membiasakan diri dengan tidak adanya lagi kehadiran mama di rumah. Beberapa kali makan pagi yang disiapkan papa gosong, lantai rumahpun penuh debu karena tak ada yang membersihkan. Tapi hal yang paling menyakitkan adalah tidak ada penasehat bijaksana kami lagi, serta peluk dan ciuman hangat ketika kami bangun tengah malam karena mimpi buruk.

“susah ya, Pa? tanpa mama.” Aku menghampiri papa yang sedang merebus mie untuk makan malam di dapur.

“iya pastinya, Lang. Tapi kita pasti bisa kan? lagian kalau kayak gini kita bisa ngerasain gimana susahnya jadi seorang ibu.” Senyum papa merekah dibalik kumis lebatnya, tangannya mengacak-acak rambutku pelan.

Aku membalas senyuman papa kemudian menatap wajahnya. “iya, pa. Papa bener, kita pasti bisa. Ayo kita lakuin semuanya sendiri.”

Papa menjabat tanganku, “deal.” Ucapnya mantap kemudian tertawa keras.

Tiba-tiba terdengar ketukan pelan dari arah pintu depan. Karena papa sedang memasak akhirnya aku berinisiatif untuk membukakan pintu. Ketukan tadi semakin mengeras, kuprediksikan tangan yang sedari tadi menghantam pintu kami adalah tangan yang sangat besar. Sejenak aku terdiam, membayangkan hal-hal bodoh yang selalu dipikirkan oleh seorang penakut. Apa itu di depan sana? Siapa yang mengetuk? Hantu? Atau monster?

Ketukan di pintu semakin keras dan cepat. Sambil memejamkan mata dengan erat akhirnya kuberanikan diri untuk membukakan pintu, dengan perlahan.

 Kurasakan hembusan angin malam merambat masuk melalui celah-celah kecil celana jins kebesaran yang melekat di kakiku. Aku mengusap-usap mata kemudian menengadahkan wajah untuk melihat siapa yang datang. Belum terlihat, hanya sekelibat bayangan hitam muncul dari balik gelapnya malam.

“permisi? Boleh saya masuk?” bayangan tadi mengeluarkan suara. Aku menghembuskan napas lega ketika mengetahui bahwa itu manusia. Tapi tubuhku kembali menegang, itu siapa?

Ia berjalan perlahan mendekatiku. Wajahnya kini terlihat jelas. Wajah penuh wibawa dan kehangatan dilengkapi dengan kerutan-kerutan halus dan rambut yang telah memutih. Ia tersenyum ramah. Walaupun sudah tua, wajah itu masih terlihat rupawan.

“boleh saya masuk?” ia mengulangi pertanyaannya.

“pa! papa!” aku berteriak nyaring memanggil papa, perlahan kakiku bergerak mundur beberapa langkah.

Papa tergopoh-gopoh keluar dari dapur karena mendengar panggilanku. “ada apa, Lang?” ia bertanya, nada suaranya terdengar sedikit panik. Kemudian, ia diam terperangah. Matanya menatap takjub kearah sosok di depan pintu.

“bapak?” papa berlutut dan mencium tangan lelaki yang juga telah dipenuhi kerutan dan urat-urat halus yang menonjol.

“berdirilah, nak.” Laki-laki itu berbahasa Indonesia, namun dengan logat Jawa.

“duduk dulu pak, saya ambilkan minum.” papa dengan sigap mengambilkan kursi untuk tiga orang, mengaturnya agar membentuk lingkaran. kemudian berlari ke dapur.

Papa kembali dengan dua cangkir kopi hitam dan segelas sirup berwarna hijau. Kemudian ia ikut duduk di salah satu kursi.

“Pak, ini Elang. Anak saya dan Shifa. Kami punya tiga anak, laki-laki yang tertua serta dua adik perempuan dan laki-laki.” Ia memulai pembicaraan sambil menata minuman diatas meja.

Laki-laki yang dipanggilnya bapak itu mengangguk ke arahku, kemudian meneguk sedikit kopi dari cangkir.

“Elang, saya ayah dari mamamu. Panggil saja Kakek Seno.” Aku mengangguk kemudian memberikan senyuman teramahku.

“dan, Aryo.” Ia kemudian menengok dan memanggil nama papa. Yang dibalas dengan tatapan bingung papa.

“saya perlu berbicara sebentar denganmu, berdua saja.” Kakek melanjutkan kalimatnya.

Papa melihat kearahku untuk meminta pengertian. Aku segera berdiri dari kursi “kalau begitu aku ke dapur dulu ya, kek.” Kataku sopan sambil beranjak ke dapur.

Aku mengintip sedikit dari balik tembok. percakapan mereka memang tidak terdengar, tapi setidaknya aku dapat menebak apa yang mereka bicarakan. Aku melihat raut wajah papa mulai berubah, ia menunduk. Mata papa menjadi sayu dan bingung bercampur kecewa, ia terus mengangguk pasrah.

Sepuluh menit kemudian mereka berhenti. Papa membuka pintu, mencium tangan kakek kemudian mengantarnya sampai masuk ke dalam taksi yang sedari tadi terparkir di depan rumah. Setelah menutup pintu taksi ia kembali masuk ke rumah.

“pa, ada apa? Tadi papa sama kakek bicarain apa?” aku mengejar langkah papa sambil bertanya. Hatiku dipenuhi oleh rasa penasaran yang kian menggebu.

Papa hanya menengok sebentar kearahku, kemudian kembali menunduk dan berjalan masuk ke kamarnya, “besok saja, papa lelah. Kamu tidur ya.” Katanya tepat sebelum menutup pintu.

Aku menuruti perkataan papa, kulangkahkan kakiku ke kamar. Namun setelah masuk, kuurungkan niatku untuk tidur. Alih-alih berbaring di tempat tidur aku terduduk di kursi sambil membuka laci meja.

Belum sempat aku berbuat apa-apa, terdengar suara tangisan Dito dari arah kamar Cempaka. Aku segera lari dan beranjak masuk ke kamar Cempaka.

“Dito mimpi buruk kayaknya kak, tiba-tiba nangis.” Cempaka sedang mengusap-usap kepala Dito ketika aku masuk, ia terlihat sangat mengantuk dengan rambut acak-acakkan dan wajah bagai tak bernyawa.

“oh, ayo sini Dito. Ikut Kak Elang ya. Kasian Kak Cempaka udah ngantuk.” Aku menggandeng tangan Dito, hendak membawanya ke kamar.

“Kak Elang.” Cempaka memanggilku lirih.

“ya?” jawabku sambil menatap wajah mungil di depanku.

“Cempaka boleh tidur sama kakak juga? Cempaka kangen tidur sama kakak.” Ia memandang kearahku penuh harap, kamudian berdiri dan mengambil selimutnya setelah kuberikan anggukan.

Malam itu, kami bertiga tidur di bawah terangnya cahaya bulan dan hiasan bintang yang tertempel di dinding serta langit-langit kamar. Walaupun tidak asli, bintang-bintang yang dibelikan ibu waktu aku kecil itu dapat menggantikan gugusan bintang di langit luar yang dulu selalu bercahaya, namun sekarang telah hilang tertimpa asap polusi.

Mungkin bagi siapa yang mendengarnya, hal yang kami lakukan ini biasa atau bahkan konyol. Awalnya aku pun berpikir begitu, ketika aku belum menyadari bahwa hari ini adalah malam terakhirku bersama dengan mereka.
***

Pagi ini berbeda dari biasanya. Masakan papa yang biasanya sederhana menjadi sangat mewah. Ada roti goreng telur yang dilengkapi dengan irisan sosis, pisang goreng, sayur brokoli rebus, dan jagung bakar. Sebagai minuman, papa menyediakan tiga gelas cokelat panas dan segelas cappuccino.

Aku, Cempaka, dan Dito memandang takjub kearah meja makan. Serentak kami melihat ke kalender, kalau-kalau ada peristiwa penting. Namun nihil, hari ini adalah hari Selasa biasa.

Papa keluar dari kamar ketika melihat kami bertiga berlari gaduh, berebut menuruni tangga. Kami tidak sabar untuk segera mencicipi semua makanan enak diatas meja.

“wah wah, pagi-pagi sudah ramai sekali kalian ini. Ayo sekarang cuci tangan dulu lalu kita makan.” Papa tertawa melihat kelakuan kami.

Semenit kemudian kami bertiga telah duduk rapih diatas meja sambil menggenggam sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Setelah doa bersama kami mulai makan dengan lahap. Kecuali Papa, ia hanya diam menatap makanan di piring.

“pa, gak makan?” aku bertanya dengan mulut penuh makanan.

“nanti aja, kalian makan dulu. Oh ya, Lang. Habis makan ikut papa ke taman luar.” Jawab papa dengan nada sendu. Kemudian ia berdiri dan berjalan keluar sambil merokok.

Aku menatap bingung kearahnya. Segera kuhabiskan makanan yang tersisa lalu mengikuti papa keluar setelah mencuci tangan. “ada apa, pa?” aku bertanya sambil berdiri di samping papa.

“Elang.” Papa menatapku, ia menunjukkan wajah tak tega.

Oh tidak, aku pernah mengalami saat seperti ini juga dulu, dihari mama meninggal. Jangan sampai kejadian seperti dulu terulang lagi. Aku memejamkan mata sambil berdoa kepada Tuhan.

“kamu harus ikut kakek ke Tuban, Jawa Barat. Keretanya siang ini jam dua. Koper serta isi-isinya sudah papa siapkan, kamu tinggal berangkat saja.” Ucapnya penuh wibawa, aku tau ia sedang mencoba untuk tetap tabah.

Cita-cita untuk membahagiakan mama dan keluargaku hancur berkeping-keping. Bahkan pondasinya yang berupa harapan dan keyakinan pun diruntuhkan oleh kenyataan bahwa aku tak akan tinggal bersama keluargaku lagi. Tidak ada hari-hari bersama, tawa dan canda pun takkan pernah kudengar lagi. Tak akan pernah.

Aku mencoba untuk tetap kuat dan melihat dalam ke mata papa. “kenapa, pa? kenapa? Apa salahku?” tanyaku lirih.

“enggak, Lang. Kamu gak salah. Papa yang salah, maafin papa nak.” Papa balas melihatku, matanya penuh keteguhan dan mulai digenangi oleh air mata yang hampir turun.

Tatapanku semakin dalam. “sepertinya aku tahu apa permasalahannya. Papa pasti dibilang tidak bisa menjaga mama, kakek gak percaya lagi sama papa lalu mau merawatku. Dan nantinya dia juga akan mengambil Dito dan Cempaka. Tega banget sih pa..” bibirku bergetar menahan perasaan yang campur aduk. Sedih, takut, dan marah bercampur jadi satu.

“ya, kamu benar.” Papa menjawab kemudian kembali mengatupkan mulutnya, memberikan jeda untuk meredakan amarahku. “kamu benar, papa gak bisa ngejaga mama. Papa gak bisa ngejaga kalian semua. Kalian pasti akan lebih bahagia kalau tinggal bersama kakek Seno di rumahnya yang besar dan mewah, setiap hari kalian juga akan dimasakan makanan yang enak-enak. Masakan papa pagi ini tidak akan ada artinya kalau dibandingkan dengan yang disana.”

“enggak pa, kalau dibilang disana lebih enak aku kira papa salah besar. Aku kira papa gak ngerti apa arti sebenarnya dari kebahagiaan. Bahagia bukan cuma soal materi atau fasilitas, tapi masalah perasaan. Perasaan aman, perasaan bahagia. Aku mendapatkan perasaan itu waktu di rumah ini, waktu berkumpul bersama keluarga kecil kita. Aku bahagia ketika dikelilingi orang-orang yang kusayang, bukan steak lezat atau tv 51 inci!” Akhirnya air mata yang sedari tadi kutahan meleleh juga, seiring dengan meluapnya seluruh perasaanku.

Papa terdiam, matanya kosong. Ia memelukku erat, sangat erat seakan tidak akan pernah dilepaskan kembali. “maafin papa, maafin papa Elang. Ini semua salah papa.” Ia berbisik.

“enggak pa, papa itu orang yang paling bertanggung jawab yang pernah kulihat. Papa itu penutanku dalam menentukan setiap langkah dalam hidup. Sekarang aku akan membalas semua jasa papa dengan tinggal bersama kakek di Tuban.” Aku membalas perkataan papa setelah ia melepaskan pelukannya.

“wah, udah jam dua belas. Aku harus bersiap sekarang.” Tanpa memberikan papa kesempatan untuk berkata-kata lagi aku segera berlari ke dalam kamar, berganti baju dan mempersiapkan semuanya. Setelah itu aku kembali turun dan menemui papa juga kedua adikku dengan koper biru tua di genggamannya.

“kak, kita pasti bakal kangen banget sama kakak.” Cempaka memelukku dengan matanya yang sudah memerah. Diikuti dengan Dito yang menangis sesenggukan.

“iya, kakak juga pasti akan kangen banget sama kalian.” Aku balas memeluk mereka dengan Mata yang mulai berkaca-kaca kembali.

Papa ikut memelukku erat. “Suatu saat, papa janji. Papa akan bawa kamu kembali ke rumah ini, Lang. Kembali berkumpul dengan kita semua.”

Kami mulai melepaskan pelukan satu persatu. Cempaka mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ungu kecil yang selalu dibawanya kemanapun.

“Ini kak, buat kakak.” Ia menyodorkan buku diary biru kesayangannya, aku terperanjat melihatnya.

“tapi kan, ini punyamu?” kataku ingin menolak buku yang disodorkannya.

“buat kakak. Ini mesin waktu.” Ia berjinjit dan membuat buku itu sejajar dengan wajahku. Akhirnya kuraih buku itu dan kumasukkan ke dalam koper yang masih seperempat kosong.

“kak, Elang. Kak, Elang. Jangan lupain Dito ya! Walaupun Dito, Kak Cempaka, sama papa gaada di samping kakak nanti, selalu inget kalau kita ada di dalam situ kak.” Dito melompat-lompat dengan semangat kemudian menunjuk kearah dadaku, sama dengan apa yang kulakukan saat dipantai.

“terimakasih semuanya. Makasih, pa. Makasih, Cempaka. Makasih, Dito.” Aku tersenyum kemudian memeluk mereka satu persatu sebelum aku melangkah keluar untuk naik ke taksi karena mobil papa sedang direparasi, sehingga tidak bisa dipakai untuk mengantarku.

Kini aku telah siap untuk berangkat dengan bekal janji dari papa, mesin waktu Cempaka, dan hati yang akan selalu menyimpan segala kenangan dengan mereka semua.
***
Empat tahun telah berlalu sejak aku meninggalkan rumah di Indonesia dan pergi ke Tuban. Rumah kakek Seno dua kali lebih besar dari rumahku dulu, namun tetap saja aku tidak merasakan kehangatan sebuah keluarga disini.

Aku sedang melambai pada anak perempuan di seberang jalan yang duduk dengan anjing putih di pangkuannya, ketika sebuah buku kecil berwarna biru jatuh dari ujung meja. Aku mengingat tentang pemberian Cempaka padaku, sebelumnya aku tidak pernah bisa membuka buku itu karena Cempaka lupa memberikan kuncinya. Namun kini secara ajaib buku itu telah terbuka begitu saja. Kulihat tulisan besar di halaman paling depan. “MESIN WAKTU KE MASA LALU.”

Aku menggerakkan tangan untuk mengambil dan membalik halaman-demi halaman buku tersebut. Disana terekam segala peristiwa yang terjadi dalam keluarga kami. Saat aku dan kedua adikku berkelahi, ataupun saat kami merayakan ulang tahun dan hari ulang tahun perkawinan mama dan papa. Sehelai bungkus cokelat yang pernah kuberikan pada Cempaka saat meminta maaf setelah kami perang dingin juga masih terempel rapih di dalam sana.

Aku terus membalik dan membaca halaman demi halaman dengan seru, sampai saat aku menyentuh kertas yang agak lusuh karena mungkin sempat terkena tetesan hangatnya air mata. Halaman itu berisi tentang hari dimana mama meninggal. Hanya cerita penuh haru biru yang tertulis disana, juga di halaman-halaman selanjutnya. Perbedaan yang sangat terasa dengan sebelum mama meninggalkan kami semua.

Aku hampir menangis ketika akhirnya tanganku membalik ke halaman terakhir buku tersebut, dalam halaman itu tertulis sebuah surat pendek yang ditujukan kepadaku.

Dear, Kak Elang
Kak, mungkin saat kakak membaca ini kita udah gak sama-sama lagi. Mungkin saat itu kakak udah ngelupain kita semua. Aku bukannya mau membuat kakak inget lagi dengan kita setelah membaca surat dan buku ini, aku cuma mau membagi sedikit pikiranku pada kakak. Kakak tau? Mesin waktu itu sebenarnya bukan sebuah mitos. Karena kakak sekarang sedang memegangnya. Buku ini adalah sebuah mesin waktu ke masa lalu, mesin waktu yang bernama kenangan. Kenangan dapat membawa kita ke masa lalu, sama halnya dengan fungsi dari mesin waktu. Kakak sudah membaca diaryku? Kalau sudah berarti kakak baru saja menaiki mesin waktu ke masa-masa dimana kita semua bersama sebagai satu keluarga, saat masih utuh dan saat tidak utuh lagi. Nah, setelah selesai membaca buku ini aku ingin kakak segera menutupnya lalu menaruh buku ini di dalam tempat yang tidak akan pernah kakak buka lagi. Agar segala hal tentang masa lalu ini tidak menghalangi kakak untuk melakukan perjalanan dalam menaiki mesin waktu yang lebih lama ke masa depan, namanya impian dan cita-cita. Sebuah perjalanan yang membutuhkan persiapan bertahun-tahun dan tidak boleh pupus hanya karena ingatan tentang masa lalu dan penyesalan akan kesalahan-kesalahan yang dibuat dulu. Sekarang, bangunlah mesin waktu ke masa depan yang indah di dalam diri kakak, ciptakan sebuah impian dan cita-cita yang telah dikencangkan dengan sekrup berupa keyakinan dan harapan. Kemudian tancapkanlah itu di dalam hati kakak agar terus berada disana dan tidak pernah hilang dimakan waktu atau kegagalan sementara. Sekali lagi, setelah ini tolong tutup diary Cempaka dan masukkan ke tempat yang tidak akan pernah terlihat oleh kakak lagi. Kemudian buatlah mesin waktu untuk merajut masa depan yang indah. Tetapkanlah impian dan cita-cita kakak. Ingat, kak. Cita-cita adalah sebuah hal yang membuat kita bahagia saat melakukannya. Karena kunci kehidupan adalah bahagia. Dan nanti kalau kakak udah sukses, Cuma satu permintaan Cempaka. Tolong kunjungi rumah keluarga kita ini sekali saja, Cempaka kangen kakak.
Dari pendukung setia kakak, Cempaka Kailani Putri.

Aku tertegun membaca surat dari Cempaka. Apalagi setelah kuingat bahwa Cempaka baru berusia tujuh tahun ketika membuat surat ini. Ia adalah anak cerdas yang memiliki pengertian tersendiri tentang hidup, ia selalu berhasil membangkitkan semangat untuk membangun kembali cita-citaku.

Kututup buku diary itu dan kumasukkan ke dalam laci terbawah meja belajarku yang masih kosong sama sekali. Agar segala penghalang menuju masa depan itu menghilang, kulemparkan kunci laci meja berwarna kuning mengkilat di genggamanku keluar jendela.

Sekarang aku berani untuk berjanji pada diriku sendiri. Berjanji untuk memikirkan setiap langkahku dalam hidup, berjanji untuk mulai menciptakan mesin waktu khusus untuk diriku sendiri. Mesin waktu berupa impian dan cita-cita yang telah disekrup oleh harapan dan keyakinan. Kemudian nantinya akan kutancapkan dalam hatiku agar selalu teringat selamanya berapa kalipun aku terjatuh. Aku yakin, aku akan sukses. Dan nanti ketika sukses aku akan menepati permohonan Cempaka untuk kembali ke hangatnya keluarga kecil kami. Tunggu aku, papa. Tunggu aku, Cempaka. Tunggu aku, Dito. Aku akan pulang ketika aku berhasil sampai dan turun dari mesin waktu ke masa depan indahku.