Minggu, 08 April 2012

Cerpen baru, sepertinya

Aku menggaruk-garuk kepala dengan kesal, mengapa otak ini urung bekerja lagi? Mengapa ide-ide yang dulu pernah kubanggakan menghilang begitu saja, menguap, lenyap? Aku mengerjapkan mata, menyadari bahwa inilah hari ke 79 sejak 'kematianku'. Ah, waktu memang tidak pernah memberikanku ruang untuk sekadar bernapas. 

20 Januari, hari terakhir aku menulis. Menulis fiksi tentu saja. Jujur, bahkan untuk ujian praktek aku menjiplak habis salah satu cerita yang pernah kutulis khusus untuk Dumalana. Lihat, betapa hinanya aku ini. Bocah ingusan, amatir, dan sok-sok an berhenti menulis? Bodoh. 

Ingin memutuskan untuk kembali ke dunia ini, tapi bingung juga mau menulis apa. Rasanya otakku ini sudah sepenuhnya berisi hapalan untuk ujian sekolah, rasanya ia berhenti untuk berimajinasi. Ayolah otakku, kembali ke duniamu ini. 

Yah, setidaknya aku masih bisa berimajinasi, barusan aku berbicara dengan otak kan? hahaha. 

Abu-abu Kelabu 

Dunia ini kelabu, hanya berwarna hitam dan putih. Ah, hitam bukan warna. Dunia ini hanya berwarna putih dan segaris abu. 

Menjalankan hari-hari yang begitu membosankan tentu bukan sebuah pilihan. Tapi setidaknya hari-hari seperti itu tidak beresiko, kamu tinggal berjalan sesuai arah angin, dan voila! 24 jam sudah kembali kau lewati. 

Hari-hariku ini membosankan, bosan karena aku tidak boleh menanggung resiko. lengah sedikit saja, dewa kematian akan mulai memburu nyawaku. Jujur, aku ingin sekali merasakan indahnya dunia luar, aku ingin menjadi benar-benar 'hidup'. Hidup untuk menjawab sebuah pertanyaan yang mungkin tak bisa dijawab oleh seorang ahli filsafat sekalipun. 

Apa itu arti hidup? 

Kau tahu, bagaimana rasanya saat melihat sekian banyak orang mencuri demi uang? Sakit. Aku merasa hina karena sama dengan mereka. Bayangkan saja, kami sama-sama tidak berdaya dan dikucilkan. Hanya bedanya, aku akan mati sebentar lagi, dan mereka? Mereka masih punya banyak waktu untuk menjadi lebih baik. 

Rasanya ketika melihat orang yang menikah dan meninggalkan orang tuanya begitu saja? Kesal, karena hanya mereka berdua yang kumiliki sekarang. Aku bahkan tidak bisa membalas jasa mereka, dan aku harus melihat manusia-manusia tak tahu terimakasih yang pergi begitu saja saat tak mau balas direpotkan. 

Pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? 

Kamu merasa dibutuhkan dunia? 
Lalu, kalau ditanya kau lahir untuk apa. Jawabmu? 
Bisa menyebutkan siapa saja yang butuh kamu?
Mama? Papa? Adik? Kakak? 
Bisa menyebutkan nama mereka satu persatu? 
Kalau bisa, maka kamu beruntung. 

Setidaknya kau lebih beruntung dari aku. 

Karena aku, tidak pernah sanggup menjawab pertanyaanku sendiri. 

Aku tidak tahu, aku lahir untuk siapa dan apa. 

Aku tidak dibutuhkan dunia. 

Jika kau tanya, siapa aku. 

Aku hanya setitik kecil di dunia, yang ingin memiliki hidup sepertimu. 

Aku hanya ingin hidup dalam artian yang sebenarnya, bukan sebagai onggokan daging yang bernapas. 

Aku iri, 

Aku iri denganmu, maka syukurilah hidupmu itu.

(bersambung) 

Ndre mau pergi dulu, nanti lanjut lagi :)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar