Jumat, 20 Januari 2012

Waxed

Sejak sering nongkrong di Dumalana rasanya cerpen-cerpen gw jadi punya napas baru (contohnya ini: Pelangi dan Cahaya Hati) Well, walaupun gw diakui sebagai seorang psikopat disana.

Sekarang untuk yang entah keberapa kalinya gw mau bikin novel! Kali ini tentang pembunuhan pakai lilin gitu deh. Baru jadi prolognya.

Judulnya belum didapat, mungkin Waxed atau something yang berhubungan dengan itu.


Prolog

Kalau kau berjalan sepuluh kilometer ke arah jantung Hutan Rintik, dan terus melaju hingga terdengar lolongan serigala, kau akan mencium wangi sup labu. Ikutilah jalan setapak yang menuntun kakimu, mengantarmu ke sebuah tempat yang tentu berbeda.

Setiba di ujung jalan setapak mungkin kau akan mendengar bisikan-bisikan halus. Tantangan pertama, pikirkan baik-baik, ikuti suara itu atau kembali berbalik ke arah pertama kali kau datang dan tidur nyenyak di rumah.

Jika kau memutuskan untuk berbalik, tutuplah buku ini dan kembalikan ke toko buku.

Jika kau memutuskan untuk mengikuti suara-suara itu, kau akan menemukan sebuah rumah manis bercat kuning. Tengadahkan sedikit kepalamu, lihatlah, cerobong asap rumah itu menghembuskan lembut asap berbentuk spiral halus. Rasakan, atau abaikan, semilir angin mengembus lehermu, mendirikan bulu kudukmu.

Hal kedua yang kau lihat adalah seorang wanita paruh baya dan anak perempuannya yang duduk di kursi roda. Mereka berdiri di depan pintu, menyambutmu untuk bermalam di rumah itu. Tantangan kedua, terima ajakan mereka atau tidak.

Jika kau memutuskan untuk menolak, pekat malam tak akan mengijinkanmu pulang.

Setelah menerima ajakan mereka, kau akan menemukan dirimu mabuk oleh sup labu hangat. Edarkan pandanganmu sebentar ke sekeliling ruangan, lihatlah mereka, patung-patung lilin itu. Menyeramkan bukan? Sayang, hal yang dapat kau lakukan sekarang hanyalah duduk diam sambil menyeruput sup labu.

Kemudian kau akan diajak ke sebuah kamar tidur penuh debu, letaknya di sebelah ruang yang terus terkunci. Kau bahkan tidak menggubris perkataan si wanita tentang kamar anak laki-lakinya yang tewas diterkam beruang beberapa tahun lalu. Ingat, nikmatnya sup labu sedang membuatmu mabuk.

Dua belas kali dentangan jam dinding akan menyentakmu bangun untuk ke toilet, namun ketika berdiri kau akan merasakan hembusan napas dingin mengitari telapak kakimu. Satu lagi yang pasti, kau akan mendengar suara kecipak air dan jeritan samar-samar. Dalam hitungan detik kau akan mengurungkan niat dan kembali menarik selimut sampai ke hidung.

Keesokan paginya kau sedang terenak-enak menikmati kue putu mayang, gulanya yang gurih terasa mengalir hangat lewat tenggorokanmu. Pertanyaan penting akan kau dapatkan, “Bagaimana tidurmu semalam, nyenyak?” Jawaban akan otomatis meluncur dari bibirmu, jawaban jujur bahwa tidurmu agak kurang nyaman.

Di sela-sela pembicaraan kau akan meminta ijin untuk pulang. Wanita tuan rumah itu akan marah besar dan membentakmu, kemudian meminta maaf dan memintamu untuk mandi terlebih dahulu. Katakan iya, karena aku pun tidak tahu apa yang akan terjadi ketika kau langsung menggedor-gedor pintu yang terkunci.

Kau akan diantar naik ke lantai dua dan menemukan pintu yang berada di sebelah kamarmu telah lepas gerendelnya. Sebuah bak mandi bertembok tinggi menunggumu di dalam, naikilah tangganya dan celupkan 
jari telunjukmu ke dalam air yang memenuhinya.

Sudah? Sekarang kau akan menyadari apa arti dari judul buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar