Sabtu, 21 Januari 2012

(Waxed) Setengah - Bunda Lana

Setengah – Bunda Lana

Bagaimana rasanya jika anak keduamu lahir tanpa kedua kaki, dan kau baru saja mengetahui anak pertamamu yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga tewas diterkam beruang? Apalagi suamimu sedang pergi mengelana jauh ke negeri orang, dengan kemungkinan terbesar ia telah menikah dengan perempuan lain.

Wanita yang sedang berusaha mengajak ngobrol bulan itu bernama Lana. Tubuhnya masih berlumur merah akibat membopong putra sulungnya yang sudah tak bernapas.

Hei, bulan. Tanyakan pada Tuhan, apa salahku? Aku sudah berkali-kali meminta belas kasihan padanya, tapi belum juga aku menerima kebaikan-Nya.

Belenggu kain satin menutupi keseluruhan pundaknya yang kurus, berusaha menyamarkan bercak-bercak darah dan lapisan lumpur pada gaun tidur putihnya. Peluh bercucuran dari kening, menetes pelan menyusuri lengannya yang sedang menggali tanah.

Kemudian digulingkannya perlahan tubuh yang sudah mendingin itu, dalam kesenduan malam ia kembali menutup lubang yang baru saja dibuatnya. Terakhir, ditempatkan sebuah pusara sederhana dengan tulisan yang diukir samar-samar.

Disini terbaring Akmal Sahawidja

Mei 08 1990 – Februari 17 2012

Rasanya selesai sudah seluruh hidupnya. Empat tahun lalu ia kehilangan suami yang pergi berkelana ke negeri orang, namun sampai hari ini tanpa kabar. Dan sekarang ia kehilangan anak laki-laki yang selalu menjadi tulang punggung keluarga. Lebih-lebih meninggal karena diterkam beruang, mengenaskan bukan?

Terdengar suara roda berputar berat dari arah belakang, tangan-tangan lentik memutar tepat pada porosnya. Memadu bersama suara renyah daun kering. Lana memutar kepala pelan, menangkap mata  putrinya, Tiara, yang memerah. 

Wanita itu berdiri, tangan mereka saling bertautan. Dengan sepasang kelopak mata membungkam mereka 
berdoa untuk Akmal dan seluruh dunia. Kini hanya tinggal mereka berdua, di dalam jantung Hutan Rintik.

***

Tangan-tangan yang mulai keriput itu kembali menggali, meragas lapisan demi lapisan tanah yang kemarin malam ia timbun. Tangannya mencapai ke dalam lubang setinggi dua meter dan mengangkat tubuh yang masih utuh, beruntung belum digerogoti belatung.

Lana menyeret tubuh anak sulungnya ke dalam sebuah kamar di lantai dua. Tadi siang ia baru saja berkunjung ke perusahaan lilin tempat anaknya bekerja, meminta dua truk lilin cair dengan janji untuk membuat puluhan patung lilin yang persis dengan manusia asli.

Lilin cair di dalam bak mandi bertembok tinggi mulai beriak. Perlahan Lana mencelup tubuh anaknya ke dalam kubangan panas yang sejatinya bisa membuat seseorang normal berteriak-teriak sakit, namun tidak sekarang, karena yang ditenggelamkan ke dalam lilin mendidih itu sudah tak bisa lagi berteriak.

“Tidak terlalu panas, kan?” bisiknya, “Enak kan, berendam di dalam sana?”

Jam dinding berdentang dua belas kali. Lana menarik mahakarya yang baru dibuatnya keluar, memperhatikan setiap detailnya. Benar-benar mirip Akmal, benar-benar mahakarya. Sekarang ia telah mendapatkan kembali anaknya, bahkan dalam rupa yang jauh lebih lembut dari biasanya.

“Tiara, Tiara. Kakak telah kembali bersama kita, Nak.”

Tiara mengangguk setuju, mata hangatnya berbinar. Pengembalian raga seorang kakak dalam keluarga mereka telah terlaksanakan, sekarang tinggal bagaimana mencari pekerjaan yang memastikan bahwa mereka akan makan besok.

Hitam pekat berubah kelabu, diremangkan oleh lilin yang menyala bangga. Lana berjalan tertatih ke tengah hutan, menyebarkan batubata di sepanjang jalan sebagai setapak penghubung ke rumahnya. Kemudian ia berbalik dan pulang ke rumah. Meninggalkan sebuah plang dari kayu yang tertancap kokoh di tanah berlumpur.

Rumah penginapan Bunda Lana 2km
Menginap dan makan gratis untuk berapa malam pun
Letak: Jantung Hutan Rintik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar