Sabtu, 15 Oktober 2011

Mesin Waktu

Deru ombak membentuk harmoni, dan awan putih berarak menyelimuti birunya langit. Kuintip Papa yang sedang menebar abu ke laut. Sejenak kusipitkan mata kearah sinar matahari yang kini tepat bersinar diatas ubun-ubun, aku berusaha untuk tidak menangis. Tetapi walau berapa kalipun kuusap, bulir-bulir kesedihan ini tak kunjung lelah berpacu di pipiku.

“anak laki-laki ga boleh nangis. Kamu harus kuat. Ingat, kamu punya dua adik yang akan menjadikanmu panutan mereka.” Kuingat kata-kata yang selalu diucapkan mama setiap kali aku menangis, entah karena terluka atau saat merasa takut.

           Mungkin sekarang lah kata-kata itu menjadi sangat bermakna dalam hatiku, suara lembut ibu terngiang di telinga dan seakan menyelimuti hatiku dengan kehangatan. Bagaimana tidak, pemilik suara itu telah membimbingku dengan sabar dari kecil sampai umurku yang keempat belas.

Mama, seorang wanita berhati mulia meninggal dua hari yang lalu karena kecelakaan lalu lintas. Hari itu, tanggal 12 Oktober bertepatan dengan hari ulang tahunku mama berjalan sendirian di tengah hujan demi berjualan nasi bungkus yang nanti uangnya akan dipergunakan untuk membeli kue ulang tahunku. Tiba-tiba sebuah mobil bak terbuka yang dikendarai seorang sopir mabuk meluncur cepat tanpa menyadari ada seorang perempuan sedang berjalan pelan di depannya. Dalam hitungan detik seluruh dagangan mama jatuh berantakan, bersamaan dengan tubuhnya yang langsung kaku berlumuran darah.

Hal yang pertama papa lakukan setelah menerima telepon adalah memanggilku. Saat itu wajahnya tampak sangat pucat karena memendam kalut. Ia mengajakku duduk di bangku anyam kecil di teras kami.

Papa menyulut sebatang rokok kemudian duduk di sampingku, ia menghembuskan napas kemudian menatap kearah rintikan hujan diluar. “Elang.” Panggilnya tak kuasa melihat wajahku.

“iya, pa?” jawabku cemas.

“Mama, lang.. Mama. Ia kecelakaan barusan.” Dengan terbata akhirnya ia mengatakannya.

           Jantungku seakan berhenti saat itu juga, seluruh tubuhku lemas. Aku hanya menatap kosong kearah papa. “serius, pa? Kenapa bisa..” suaraku bergetar menahan tangis.

“papa juga belum tau pasti. Ayo sekarang kita ke rumah sakit.” Papa menjawab dengan singkat dan sangat pelan. Setelah menatap wajah tegarnya aku segera mengikuti papa ke motor tuanya dan membonceng di belakang.

Di rumah sakit seorang dokter menghampiri aku dan papa yang tengah terduduk lesu di kursi. “kalian keluarga ibu yang disana?” tanyanya sambil menunjuk kearah ruang dimana mama ditempatkan.

“iya, saya suaminya dan ini anaknya. Bagaimana, dok?” Papa segera berdiri dan menunggu jawaban dokter penuh harap.

Dokter di depan papa menggeleng. “sepertinya bapak sudah tau kalau ia sudah tidak dapat diselamatkan, kami telah menggunakan segala cara. Tapi apa daya, Tuhan berkehendak lain.” Ia menepuk pundak papa prihatin. “saya pamit dulu. Yang sabar ya, pak. Tuhan pasti punya rencana.” Lanjutnya, kemudian pergi meninggalkan kami.

Tubuh papa melemas dan terjatuh, lutut dan tangannya menghantam lantai. Ia menangis, menumpahkan segala kesedihan yang disimpannya sejak tadi. Aku tak kuasa melihatnya. Perasaanku semakin kacau dan pesimis. Tadinya, aku masih memiliki harapan bahwa kami bisa hidup tanpa ibu. Tetapi ketika melihat seorang panutan terhebatku kehilangan seluruh harapannya, harapanku pun perlahan menghilang.

“kak Elang..” panggilan Dito, adik terkecilku memecah lamunanku.

“iya Dit, ada apa?” suaraku terdengar sangat parau. Selama dua hari ini aku kurang tidur karena sibuk membantu papa.

“kapan ibu pulang, kak? Dito kangen nih..” Pertanyaan Dito membuatku tersentak dan bingung harus menjawab apa.

“ibu mungkin akan lamaaa… Sekali pulangnya, Dit. Tapi kamu yang sabar ya. Karena yang terpenting, walaupun raga ibu gaada disamping kita, tapi jiwa dan kebaikannya akan selalu ada disini. Selamanya.” Aku menjawab pertanyaan Dito dengan yakin sambil menunjuk kearah dadanya, sebagai penanda bahwa ibu akan selalu ada di hati kami masing-masing.

Dito mengangguk ragu, sambil menaruh telapak tangannya di dada. “jadi, Dito nanti tidur sendirian dong? Dito takut kak.” Ia melanjutkan.

“hahaha, enggak juga kok, Dit. Kamu bisa tidur sama kakak atau Kak Cempaka.” Aku menjawab pertanyaan lugu Dito dengan sedikit tawa geli.

“oh yaudah kalau gitu Dito bakal nunggu mama dengan sabar deh.” Ia tersenyum lebar, menunjukkan barisan gigi kuning dengan satu ompong. Kemudian berlari kecil kearah pantai dan mulai bermain pasir seorang diri.

Diujung sana, kuperhatikan Cempaka sedang menulis dalam buku diary warna biru. Matanya menerawang menatap langit, seakan sedang berpikir keras. Setelah terdiam cukup lama akhirnya ia menjentikkan jari dan menulis beberapa kalimat pendek dengan semangat, kemudian berhenti dan kembali menatap langit.

Penasaran dengan apa yang ditulis Cempaka aku berjalan pelan mendekatinya. “lagi apa, Cempaka?” tanyaku sambil menendang-nendang pasir putih bagaikan tepung yang menggelitik kakiku.

“ah? Kakak? Cempaka lagi nulis cita-cita Cempaka.” Jawabnya sambil tersenyum.

“cita-cita? Emang cita-cita Cempaka apa sih?” godaku padanya, anak sekecil Cempaka yang masih berumur tujuh tahun biasanya belum bisa menentukan cita-cita yang pasti.

“Cita-cita Cempaka.. Cempaka mau belajar yang rajin, rajin berdoa, rajin segalanya yang bagus-bagus. Biar mama di surga seneng ngeliat Cempaka ga bikin papa tambah stress.” Ia membacakan tulisan berantakan di dalam bukunya. Aku tersentak mendengar apa yang barusan dikatakan olehnya. Cita-cita Cempaka bukanlah menjadi seorang model seperti Kim Kandarshian atau penyanyi seperti Anggun. Ia memiliki cita-cita yang berbeda dengan orang lain, cita-cita mulia yang belum pernah kudengar sebelumnya. Kemudian aku menyadari, aku tidak pernah mengetahui apa arti dari cita-cita yang sebenarnya.

“emangnya Cempaka tau cita-cita itu apa?” Aku tertawa kecil sambil mencubit pipi bulat adik pertamaku itu.

“emm.. kata mama, cita-cita itu sesuatu yang bikin kita seneng waktu ngelakuinnya. Cempaka seneng kalau mama seneng. Jadi, cita-cita Cempaka ya bikin mama seneng.” Aku terdiam mendengar jawaban dari anak perempuan mungil namun bijaksana di depanku. Kutatap matanya lekat-lekat, ada sinar kerinduan bercampur harapan dan keyakinan di dalamnya.

Sesederhana itu ya? Tanyaku dalam hati. Ya, sesederhana itu.

Perlahan senyumku mengembang. Muncul sebuah semangat baru dalam diriku. Sebuah semangat yang mendorongku untuk bangkit dari segala kesedihan dan mewujudkan cita-citaku. Bukan, bukan menjadi seorang dokter, arsitek, atau seorang presiden. Cita-citaku adalah membantu kedua adikku dan papa untuk  membangun kembali semangat dan impian yang telah lama dibentuk. Demi kebahagiaan mama dan kami semua.

Sesederhana itu? Ya, sesederhana itu.
***

Awalnya sulit untuk membiasakan diri dengan tidak adanya lagi kehadiran mama di rumah. Beberapa kali makan pagi yang disiapkan papa gosong, lantai rumahpun penuh debu karena tak ada yang membersihkan. Tapi hal yang paling menyakitkan adalah tidak ada penasehat bijaksana kami lagi, serta peluk dan ciuman hangat ketika kami bangun tengah malam karena mimpi buruk.

“susah ya, Pa? tanpa mama.” Aku menghampiri papa yang sedang merebus mie untuk makan malam di dapur.

“iya pastinya, Lang. Tapi kita pasti bisa kan? lagian kalau kayak gini kita bisa ngerasain gimana susahnya jadi seorang ibu.” Senyum papa merekah dibalik kumis lebatnya, tangannya mengacak-acak rambutku pelan.

Aku membalas senyuman papa kemudian menatap wajahnya. “iya, pa. Papa bener, kita pasti bisa. Ayo kita lakuin semuanya sendiri.”

Papa menjabat tanganku, “deal.” Ucapnya mantap kemudian tertawa keras.

Tiba-tiba terdengar ketukan pelan dari arah pintu depan. Karena papa sedang memasak akhirnya aku berinisiatif untuk membukakan pintu. Ketukan tadi semakin mengeras, kuprediksikan tangan yang sedari tadi menghantam pintu kami adalah tangan yang sangat besar. Sejenak aku terdiam, membayangkan hal-hal bodoh yang selalu dipikirkan oleh seorang penakut. Apa itu di depan sana? Siapa yang mengetuk? Hantu? Atau monster?

Ketukan di pintu semakin keras dan cepat. Sambil memejamkan mata dengan erat akhirnya kuberanikan diri untuk membukakan pintu, dengan perlahan.

 Kurasakan hembusan angin malam merambat masuk melalui celah-celah kecil celana jins kebesaran yang melekat di kakiku. Aku mengusap-usap mata kemudian menengadahkan wajah untuk melihat siapa yang datang. Belum terlihat, hanya sekelibat bayangan hitam muncul dari balik gelapnya malam.

“permisi? Boleh saya masuk?” bayangan tadi mengeluarkan suara. Aku menghembuskan napas lega ketika mengetahui bahwa itu manusia. Tapi tubuhku kembali menegang, itu siapa?

Ia berjalan perlahan mendekatiku. Wajahnya kini terlihat jelas. Wajah penuh wibawa dan kehangatan dilengkapi dengan kerutan-kerutan halus dan rambut yang telah memutih. Ia tersenyum ramah. Walaupun sudah tua, wajah itu masih terlihat rupawan.

“boleh saya masuk?” ia mengulangi pertanyaannya.

“pa! papa!” aku berteriak nyaring memanggil papa, perlahan kakiku bergerak mundur beberapa langkah.

Papa tergopoh-gopoh keluar dari dapur karena mendengar panggilanku. “ada apa, Lang?” ia bertanya, nada suaranya terdengar sedikit panik. Kemudian, ia diam terperangah. Matanya menatap takjub kearah sosok di depan pintu.

“bapak?” papa berlutut dan mencium tangan lelaki yang juga telah dipenuhi kerutan dan urat-urat halus yang menonjol.

“berdirilah, nak.” Laki-laki itu berbahasa Indonesia, namun dengan logat Jawa.

“duduk dulu pak, saya ambilkan minum.” papa dengan sigap mengambilkan kursi untuk tiga orang, mengaturnya agar membentuk lingkaran. kemudian berlari ke dapur.

Papa kembali dengan dua cangkir kopi hitam dan segelas sirup berwarna hijau. Kemudian ia ikut duduk di salah satu kursi.

“Pak, ini Elang. Anak saya dan Shifa. Kami punya tiga anak, laki-laki yang tertua serta dua adik perempuan dan laki-laki.” Ia memulai pembicaraan sambil menata minuman diatas meja.

Laki-laki yang dipanggilnya bapak itu mengangguk ke arahku, kemudian meneguk sedikit kopi dari cangkir.

“Elang, saya ayah dari mamamu. Panggil saja Kakek Seno.” Aku mengangguk kemudian memberikan senyuman teramahku.

“dan, Aryo.” Ia kemudian menengok dan memanggil nama papa. Yang dibalas dengan tatapan bingung papa.

“saya perlu berbicara sebentar denganmu, berdua saja.” Kakek melanjutkan kalimatnya.

Papa melihat kearahku untuk meminta pengertian. Aku segera berdiri dari kursi “kalau begitu aku ke dapur dulu ya, kek.” Kataku sopan sambil beranjak ke dapur.

Aku mengintip sedikit dari balik tembok. percakapan mereka memang tidak terdengar, tapi setidaknya aku dapat menebak apa yang mereka bicarakan. Aku melihat raut wajah papa mulai berubah, ia menunduk. Mata papa menjadi sayu dan bingung bercampur kecewa, ia terus mengangguk pasrah.

Sepuluh menit kemudian mereka berhenti. Papa membuka pintu, mencium tangan kakek kemudian mengantarnya sampai masuk ke dalam taksi yang sedari tadi terparkir di depan rumah. Setelah menutup pintu taksi ia kembali masuk ke rumah.

“pa, ada apa? Tadi papa sama kakek bicarain apa?” aku mengejar langkah papa sambil bertanya. Hatiku dipenuhi oleh rasa penasaran yang kian menggebu.

Papa hanya menengok sebentar kearahku, kemudian kembali menunduk dan berjalan masuk ke kamarnya, “besok saja, papa lelah. Kamu tidur ya.” Katanya tepat sebelum menutup pintu.

Aku menuruti perkataan papa, kulangkahkan kakiku ke kamar. Namun setelah masuk, kuurungkan niatku untuk tidur. Alih-alih berbaring di tempat tidur aku terduduk di kursi sambil membuka laci meja.

Belum sempat aku berbuat apa-apa, terdengar suara tangisan Dito dari arah kamar Cempaka. Aku segera lari dan beranjak masuk ke kamar Cempaka.

“Dito mimpi buruk kayaknya kak, tiba-tiba nangis.” Cempaka sedang mengusap-usap kepala Dito ketika aku masuk, ia terlihat sangat mengantuk dengan rambut acak-acakkan dan wajah bagai tak bernyawa.

“oh, ayo sini Dito. Ikut Kak Elang ya. Kasian Kak Cempaka udah ngantuk.” Aku menggandeng tangan Dito, hendak membawanya ke kamar.

“Kak Elang.” Cempaka memanggilku lirih.

“ya?” jawabku sambil menatap wajah mungil di depanku.

“Cempaka boleh tidur sama kakak juga? Cempaka kangen tidur sama kakak.” Ia memandang kearahku penuh harap, kamudian berdiri dan mengambil selimutnya setelah kuberikan anggukan.

Malam itu, kami bertiga tidur di bawah terangnya cahaya bulan dan hiasan bintang yang tertempel di dinding serta langit-langit kamar. Walaupun tidak asli, bintang-bintang yang dibelikan ibu waktu aku kecil itu dapat menggantikan gugusan bintang di langit luar yang dulu selalu bercahaya, namun sekarang telah hilang tertimpa asap polusi.

Mungkin bagi siapa yang mendengarnya, hal yang kami lakukan ini biasa atau bahkan konyol. Awalnya aku pun berpikir begitu, ketika aku belum menyadari bahwa hari ini adalah malam terakhirku bersama dengan mereka.
***

Pagi ini berbeda dari biasanya. Masakan papa yang biasanya sederhana menjadi sangat mewah. Ada roti goreng telur yang dilengkapi dengan irisan sosis, pisang goreng, sayur brokoli rebus, dan jagung bakar. Sebagai minuman, papa menyediakan tiga gelas cokelat panas dan segelas cappuccino.

Aku, Cempaka, dan Dito memandang takjub kearah meja makan. Serentak kami melihat ke kalender, kalau-kalau ada peristiwa penting. Namun nihil, hari ini adalah hari Selasa biasa.

Papa keluar dari kamar ketika melihat kami bertiga berlari gaduh, berebut menuruni tangga. Kami tidak sabar untuk segera mencicipi semua makanan enak diatas meja.

“wah wah, pagi-pagi sudah ramai sekali kalian ini. Ayo sekarang cuci tangan dulu lalu kita makan.” Papa tertawa melihat kelakuan kami.

Semenit kemudian kami bertiga telah duduk rapih diatas meja sambil menggenggam sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Setelah doa bersama kami mulai makan dengan lahap. Kecuali Papa, ia hanya diam menatap makanan di piring.

“pa, gak makan?” aku bertanya dengan mulut penuh makanan.

“nanti aja, kalian makan dulu. Oh ya, Lang. Habis makan ikut papa ke taman luar.” Jawab papa dengan nada sendu. Kemudian ia berdiri dan berjalan keluar sambil merokok.

Aku menatap bingung kearahnya. Segera kuhabiskan makanan yang tersisa lalu mengikuti papa keluar setelah mencuci tangan. “ada apa, pa?” aku bertanya sambil berdiri di samping papa.

“Elang.” Papa menatapku, ia menunjukkan wajah tak tega.

Oh tidak, aku pernah mengalami saat seperti ini juga dulu, dihari mama meninggal. Jangan sampai kejadian seperti dulu terulang lagi. Aku memejamkan mata sambil berdoa kepada Tuhan.

“kamu harus ikut kakek ke Tuban, Jawa Barat. Keretanya siang ini jam dua. Koper serta isi-isinya sudah papa siapkan, kamu tinggal berangkat saja.” Ucapnya penuh wibawa, aku tau ia sedang mencoba untuk tetap tabah.

Cita-cita untuk membahagiakan mama dan keluargaku hancur berkeping-keping. Bahkan pondasinya yang berupa harapan dan keyakinan pun diruntuhkan oleh kenyataan bahwa aku tak akan tinggal bersama keluargaku lagi. Tidak ada hari-hari bersama, tawa dan canda pun takkan pernah kudengar lagi. Tak akan pernah.

Aku mencoba untuk tetap kuat dan melihat dalam ke mata papa. “kenapa, pa? kenapa? Apa salahku?” tanyaku lirih.

“enggak, Lang. Kamu gak salah. Papa yang salah, maafin papa nak.” Papa balas melihatku, matanya penuh keteguhan dan mulai digenangi oleh air mata yang hampir turun.

Tatapanku semakin dalam. “sepertinya aku tahu apa permasalahannya. Papa pasti dibilang tidak bisa menjaga mama, kakek gak percaya lagi sama papa lalu mau merawatku. Dan nantinya dia juga akan mengambil Dito dan Cempaka. Tega banget sih pa..” bibirku bergetar menahan perasaan yang campur aduk. Sedih, takut, dan marah bercampur jadi satu.

“ya, kamu benar.” Papa menjawab kemudian kembali mengatupkan mulutnya, memberikan jeda untuk meredakan amarahku. “kamu benar, papa gak bisa ngejaga mama. Papa gak bisa ngejaga kalian semua. Kalian pasti akan lebih bahagia kalau tinggal bersama kakek Seno di rumahnya yang besar dan mewah, setiap hari kalian juga akan dimasakan makanan yang enak-enak. Masakan papa pagi ini tidak akan ada artinya kalau dibandingkan dengan yang disana.”

“enggak pa, kalau dibilang disana lebih enak aku kira papa salah besar. Aku kira papa gak ngerti apa arti sebenarnya dari kebahagiaan. Bahagia bukan cuma soal materi atau fasilitas, tapi masalah perasaan. Perasaan aman, perasaan bahagia. Aku mendapatkan perasaan itu waktu di rumah ini, waktu berkumpul bersama keluarga kecil kita. Aku bahagia ketika dikelilingi orang-orang yang kusayang, bukan steak lezat atau tv 51 inci!” Akhirnya air mata yang sedari tadi kutahan meleleh juga, seiring dengan meluapnya seluruh perasaanku.

Papa terdiam, matanya kosong. Ia memelukku erat, sangat erat seakan tidak akan pernah dilepaskan kembali. “maafin papa, maafin papa Elang. Ini semua salah papa.” Ia berbisik.

“enggak pa, papa itu orang yang paling bertanggung jawab yang pernah kulihat. Papa itu penutanku dalam menentukan setiap langkah dalam hidup. Sekarang aku akan membalas semua jasa papa dengan tinggal bersama kakek di Tuban.” Aku membalas perkataan papa setelah ia melepaskan pelukannya.

“wah, udah jam dua belas. Aku harus bersiap sekarang.” Tanpa memberikan papa kesempatan untuk berkata-kata lagi aku segera berlari ke dalam kamar, berganti baju dan mempersiapkan semuanya. Setelah itu aku kembali turun dan menemui papa juga kedua adikku dengan koper biru tua di genggamannya.

“kak, kita pasti bakal kangen banget sama kakak.” Cempaka memelukku dengan matanya yang sudah memerah. Diikuti dengan Dito yang menangis sesenggukan.

“iya, kakak juga pasti akan kangen banget sama kalian.” Aku balas memeluk mereka dengan Mata yang mulai berkaca-kaca kembali.

Papa ikut memelukku erat. “Suatu saat, papa janji. Papa akan bawa kamu kembali ke rumah ini, Lang. Kembali berkumpul dengan kita semua.”

Kami mulai melepaskan pelukan satu persatu. Cempaka mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ungu kecil yang selalu dibawanya kemanapun.

“Ini kak, buat kakak.” Ia menyodorkan buku diary biru kesayangannya, aku terperanjat melihatnya.

“tapi kan, ini punyamu?” kataku ingin menolak buku yang disodorkannya.

“buat kakak. Ini mesin waktu.” Ia berjinjit dan membuat buku itu sejajar dengan wajahku. Akhirnya kuraih buku itu dan kumasukkan ke dalam koper yang masih seperempat kosong.

“kak, Elang. Kak, Elang. Jangan lupain Dito ya! Walaupun Dito, Kak Cempaka, sama papa gaada di samping kakak nanti, selalu inget kalau kita ada di dalam situ kak.” Dito melompat-lompat dengan semangat kemudian menunjuk kearah dadaku, sama dengan apa yang kulakukan saat dipantai.

“terimakasih semuanya. Makasih, pa. Makasih, Cempaka. Makasih, Dito.” Aku tersenyum kemudian memeluk mereka satu persatu sebelum aku melangkah keluar untuk naik ke taksi karena mobil papa sedang direparasi, sehingga tidak bisa dipakai untuk mengantarku.

Kini aku telah siap untuk berangkat dengan bekal janji dari papa, mesin waktu Cempaka, dan hati yang akan selalu menyimpan segala kenangan dengan mereka semua.
***
Empat tahun telah berlalu sejak aku meninggalkan rumah di Indonesia dan pergi ke Tuban. Rumah kakek Seno dua kali lebih besar dari rumahku dulu, namun tetap saja aku tidak merasakan kehangatan sebuah keluarga disini.

Aku sedang melambai pada anak perempuan di seberang jalan yang duduk dengan anjing putih di pangkuannya, ketika sebuah buku kecil berwarna biru jatuh dari ujung meja. Aku mengingat tentang pemberian Cempaka padaku, sebelumnya aku tidak pernah bisa membuka buku itu karena Cempaka lupa memberikan kuncinya. Namun kini secara ajaib buku itu telah terbuka begitu saja. Kulihat tulisan besar di halaman paling depan. “MESIN WAKTU KE MASA LALU.”

Aku menggerakkan tangan untuk mengambil dan membalik halaman-demi halaman buku tersebut. Disana terekam segala peristiwa yang terjadi dalam keluarga kami. Saat aku dan kedua adikku berkelahi, ataupun saat kami merayakan ulang tahun dan hari ulang tahun perkawinan mama dan papa. Sehelai bungkus cokelat yang pernah kuberikan pada Cempaka saat meminta maaf setelah kami perang dingin juga masih terempel rapih di dalam sana.

Aku terus membalik dan membaca halaman demi halaman dengan seru, sampai saat aku menyentuh kertas yang agak lusuh karena mungkin sempat terkena tetesan hangatnya air mata. Halaman itu berisi tentang hari dimana mama meninggal. Hanya cerita penuh haru biru yang tertulis disana, juga di halaman-halaman selanjutnya. Perbedaan yang sangat terasa dengan sebelum mama meninggalkan kami semua.

Aku hampir menangis ketika akhirnya tanganku membalik ke halaman terakhir buku tersebut, dalam halaman itu tertulis sebuah surat pendek yang ditujukan kepadaku.

Dear, Kak Elang
Kak, mungkin saat kakak membaca ini kita udah gak sama-sama lagi. Mungkin saat itu kakak udah ngelupain kita semua. Aku bukannya mau membuat kakak inget lagi dengan kita setelah membaca surat dan buku ini, aku cuma mau membagi sedikit pikiranku pada kakak. Kakak tau? Mesin waktu itu sebenarnya bukan sebuah mitos. Karena kakak sekarang sedang memegangnya. Buku ini adalah sebuah mesin waktu ke masa lalu, mesin waktu yang bernama kenangan. Kenangan dapat membawa kita ke masa lalu, sama halnya dengan fungsi dari mesin waktu. Kakak sudah membaca diaryku? Kalau sudah berarti kakak baru saja menaiki mesin waktu ke masa-masa dimana kita semua bersama sebagai satu keluarga, saat masih utuh dan saat tidak utuh lagi. Nah, setelah selesai membaca buku ini aku ingin kakak segera menutupnya lalu menaruh buku ini di dalam tempat yang tidak akan pernah kakak buka lagi. Agar segala hal tentang masa lalu ini tidak menghalangi kakak untuk melakukan perjalanan dalam menaiki mesin waktu yang lebih lama ke masa depan, namanya impian dan cita-cita. Sebuah perjalanan yang membutuhkan persiapan bertahun-tahun dan tidak boleh pupus hanya karena ingatan tentang masa lalu dan penyesalan akan kesalahan-kesalahan yang dibuat dulu. Sekarang, bangunlah mesin waktu ke masa depan yang indah di dalam diri kakak, ciptakan sebuah impian dan cita-cita yang telah dikencangkan dengan sekrup berupa keyakinan dan harapan. Kemudian tancapkanlah itu di dalam hati kakak agar terus berada disana dan tidak pernah hilang dimakan waktu atau kegagalan sementara. Sekali lagi, setelah ini tolong tutup diary Cempaka dan masukkan ke tempat yang tidak akan pernah terlihat oleh kakak lagi. Kemudian buatlah mesin waktu untuk merajut masa depan yang indah. Tetapkanlah impian dan cita-cita kakak. Ingat, kak. Cita-cita adalah sebuah hal yang membuat kita bahagia saat melakukannya. Karena kunci kehidupan adalah bahagia. Dan nanti kalau kakak udah sukses, Cuma satu permintaan Cempaka. Tolong kunjungi rumah keluarga kita ini sekali saja, Cempaka kangen kakak.
Dari pendukung setia kakak, Cempaka Kailani Putri.

Aku tertegun membaca surat dari Cempaka. Apalagi setelah kuingat bahwa Cempaka baru berusia tujuh tahun ketika membuat surat ini. Ia adalah anak cerdas yang memiliki pengertian tersendiri tentang hidup, ia selalu berhasil membangkitkan semangat untuk membangun kembali cita-citaku.

Kututup buku diary itu dan kumasukkan ke dalam laci terbawah meja belajarku yang masih kosong sama sekali. Agar segala penghalang menuju masa depan itu menghilang, kulemparkan kunci laci meja berwarna kuning mengkilat di genggamanku keluar jendela.

Sekarang aku berani untuk berjanji pada diriku sendiri. Berjanji untuk memikirkan setiap langkahku dalam hidup, berjanji untuk mulai menciptakan mesin waktu khusus untuk diriku sendiri. Mesin waktu berupa impian dan cita-cita yang telah disekrup oleh harapan dan keyakinan. Kemudian nantinya akan kutancapkan dalam hatiku agar selalu teringat selamanya berapa kalipun aku terjatuh. Aku yakin, aku akan sukses. Dan nanti ketika sukses aku akan menepati permohonan Cempaka untuk kembali ke hangatnya keluarga kecil kami. Tunggu aku, papa. Tunggu aku, Cempaka. Tunggu aku, Dito. Aku akan pulang ketika aku berhasil sampai dan turun dari mesin waktu ke masa depan indahku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar