Sabtu, 15 Oktober 2011

Sepanjang hayat

Kutatap dua anak bermuka mirip yang sedang bersenda gurau di sofa dari balik kacamata berlensa plusku. Air mataku mulai menggenangi pelupuk mata. Perasaan bangga, senang, dan haru seakan membasuh luka yang takkan pernah hilang dalam hatiku.


“cucu-cucuku. Kalian mau dengar cerita nenek?” tanyaku pada dua kakak adik di depanku.


“mau, nek! Mau.” Vina, yang berpredikat sebagai kakak langsung duduk manis dan menepuk punggung Vara, adiknya agar ikut tenang.


Mataku menerawang, berpikir darimana aku harus mulai. Walaupun rambutku telah memutih serta kulitku telah berubah kasar dan berkerut, namun hati ini masih tetap menyimpan segala rekaman akan memori di masa lalu.


“dulu, waktu umur nenek bahkan belum mencapai 17 tahun, ayah nenek dimutasi kerja ke sebuah kantor di tengah kota Jakarta.” Aku memulai cerita dengan antusias.


Saat itu, tepatnya tahun 1963 aku terpaksa pindah rumah karena ayah dimutasi kerja ke Jakarta. Perasaan gembira dalam hatiku meletup-letup, apalagi ketika mengetahui kenyataan bahwa sekolahku adalah sekolah nomor 3 paling elit di seluruh Jakarta.


Tidak ada yang spesial awalnya. Kegiatanku setiap hari hanya belajar, belajar, dan belajar demi mencapai juara nomor 1 bertahan dalam setiap olimpiade dan peringkat sekolah. Saat itu, aku merasa bahagia dengan apa yang selalu kulakukan.


Sampai aku mengenal cinta…


“hey, Rinai. Boleh pinjam PR?” Aku masih mengingat perkataan wajibnya tiap pagi saat aku memasuki kelas. Ia selalu datang paling pagi demi menungguku dan meminjam PR, bagiku itu tidak masalah karena percakapan kami setiap pagi soal PR dapat mendekatkanku dengannya.


Dia adalah Bima. Seorang pelari jarak jauh terbaik di sekolah, orang pertama dan terakhir yang pernah mengisi relung hatiku.


Bima, hampir tidak ada kelebihan selain kakinya yang selalu berlari cepat bagai peluru. Kulitnya hitam dengan wajah rata-rata, badannya kurus ceking karena terlalu sering latihan. Nilainya pun buruk, maklum saja, ia terkenal sebagai siswa yang paling malas di sekolah. Lalu, mengapa aku begitu memujanya? Jika ditanya seperti itu aku akan selalu menjawab, aku tidak punya alasan. Karena menurutku cinta sejati itu tak bersyarat.
***
“wah, wah nek. Ternyata nenek pernah muda juga ya. Aku kira nenek lahirnya langsung gede.” Potong si kecil Vara polos.


Aku terkikik geli mendengar omongan Vara. “iya dong Var, nenek kan juga dilahirin sama mama nenek. Sama kayak kamu dan Vina, kalian waktu dilahirin nggak langsung segini kan?” Jawabku sambil menggerakkan kedua tanganku yang sudah melemah karena dimakan usia dan penyakit diabetes untuk mencubit kedua pipi bulat milik Vara.


“hus, jangan ganggu dong var! cerita nenek kan lagi seru, nanti nenek keburu lupa loh.” Vina berbicara dengan nada marah sambil menepuk paha mungil adiknya.


“hahaha, kalian ini. yasudah, nenek lanjutkan lagi ya. Sampai mana tadi?” aku berusaha memotong perkelahian mereka agar tidak semakin panjang.
***
Sempat kucoba untuk membuat sebuah surat cinta untuknya, dan isi surat itu masih kuingat persis sampai sekarang.


Bima, awalnya kau tampak biasa saja di mataku. Hanya seorang laki-laki pemenang banyak piala dalam lomba lari antar Negara. Namun lama kelamaan, perasaan itu mulai terajut dalam hatiku. Sebuah perasaan yang tak akan pernah bisa ditolak oleh siapapun, karena ia begitu mulia dan rasanya tak akan pernah bisa dideskripsikan oleh seorang filosofis terhebat sekalipun. Sebuah perasaan yang memiliki makna luar biasa, sebuah perasaan yang bernama cinta. Mungkin kamu akan berpikir kalau surat ini konyol dan gaada artinya. Sama sepertiku pada awal masuk ke sekolah ini. Bagiku dulu, cinta bukanlah apa-apa. Prestasilah yang terpenting. Namun, ketika aku mulai mengenalmu dan cinta, hidupku yang bagaikan mantra diulang-ulang pun menjadi lebih berwarna. Terimakasih, kaulah cinta pertamaku.


Lucu memang rasanya ketika mengingat ulang surat yang pernah kutulis beberapa tahun silam itu. Namun, saat itulah pertama kalinya aku mau mencoba jujur tentang perasaanku. Walaupun akhirnya surat itu pun musnah ditelan api perapian.
***
“api perapian, nek?” mata Vina membulat, penuh rasa ingin tahu.


“ya, surat itu tidak pernah sampai pada Bima. Surat itu ditemukan oleh ayah nenek lalu dibuang ke perapian. Setelah itu nenek merasa kalau Bima bukanlah jodoh nenek.” 
***
Gagalnya pemberian surat tersebut ke tangan Bima membuatku patah hati dan semangat. Setiap hari yang kulakukan hanyalah melamun tentang Bima. Nilaikupun mulai tak menentu bagai tangga nada, naik turun. Akhirnya kutancapkan sebuah tekad di dalam hati, bahwa aku akan mencoba untuk berhenti menyukainya. Berusaha untuk melupakannya.


Awalnya memang sulit, bahkan terbawa sampai mimpi. Namun seiring waktu berjalan, perasaan itu mulai terhapus sedikit demi sedikit. Sampai aku tidak pernah mau berbicara lagi dengan Bima. Akhirnya perasaan yang kian menggebu itu pun hilang, sepenuhnya.


Namun cerita tidak berhenti sampai disini. Ceritaku masih panjang…


Hari itu, tanggal 15 Januari. Bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke 17, atau yang biasa dianggap sebagai sweet 17 ia datang ke rumahku dan membawa sebuket bunga. Bima mengetuk pintu dan segera berlutut di hadapanku. Sayang, saat itu perasaanku kepadanya sudah hilang.


“Rinai, sejak dulu aku telah menyukaimu. Menyukai senyummu, tulisanmu, bahkan bagian terkecil dalam dirimu. Aku akan mendampingimu sampai nanti saat rambutmu memutih, pandanganmu memudar, juga ketika kulitmu keriput dan tidak putih mulus lagi. Maukah kau, menerima pernyataanku?”


Aku menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Kalau saja aku masih menyukainya, pasti hari itu akan menjadi hari yang paling indah dalam hatiku. Tapi hal yang dapat kulakukan sekarang hanyalah diam, menatap haru pada Bima.


“Bim, aku sebenarnya pernah punya rasa juga sama kamu. Tapi itu dulu, beberapa minggu yang lalu sebelum aku memutuskan untuk melupakan segalanya tentang kamu.” Aku menunduk, menjawab pertanyaannya dengan sedikit canggung.


“oh.” Bima menjawab dengan singkat. Ia mengatupkan bibirnya beberapa saat, kemudian kembali melanjutkan. “kalau begitu tolong ambil dulu bunga ini. Sebagai tanda bahwa perasaan untukku yang pernah kamu rasakan itu akan segera kembali.” Ia kemudian beranjak pergi setelah mendapat anggukan ragu dariku.


Tanpa kusangka, ia benar-benar serius dengan perkataannya. Semakin hari Bima semakin menjaga perasaanku. Dan siapa perempuan yang tak luluh ketika mendapat perlakuan spesial dari orang yang sempat ada di hatinya? Perempuan itu, bukan aku. Perlahan tapi pasti hatiku mulai luluh dan aku kembali menaruh hati padanya.
***
“wah, nek. Ceritanya so sweet banget. Aku juga mau tuh kayak gitu hehehe.” Vina melebarkan senyum dan matanya terlihat berbinar.


“Vara juga mau, mau kayak nenek!” Vara yang memang suka mengikuti sang kakak berseru sambil melompat-lompat diatas sofa.


“hush! Umurmu kan baru 7 tahun, Var. Kalau kakak udah 15 tahun jadi enggak apa-apa.” Vina tertawa melihat tingkah adik tersayangnya.


“nenek lanjutin ceritanya ya.” Aku ikut tertawa kemudian melanjutkan cerita selagi sempat.
***
Semuanya mengalir begitu saja, perasaan lama itu kini kembali mendesak ke dalam hatiku. Sebulan setelah hari itu aku menerima cinta Bima. Bima adalah tipe lelaki yang dapat menjadi seorang pendamping hidup sekaligus sahabat, tidak seperti laki-laki lainnya yang hanya mengharap dari tubuh sang pacar. Ia selalu berusaha untuk memberikan solusi setiap kali kuceritakan masalah padanya, bukan hanya sekedar menyarankan untuk terus sabar. Aku memang tidak pernah salah pilih.


Di tahun kelima sejak kami mengenal satu sama lain, ia memberiku sebuah cincin sebagai pengakuan bahwa ia telah siap menuju pelaminan dan mengucapkan janji suci di depan seluruh dunia. Bunga-bunga bermekaran ketika ia mengajakku berdansa hari itu. Sebuah ingatan yang masih tersimpan rapih dalam hatiku.
***
13 Mei 1998, asap-asap yang membumbung tinggi ke udara merubah segalanya. Hari itu, aku dan Bima serta anak pertama kami, Risa sedang makan pagi bersama ketika gedoran pintu yang begitu keras menggetarkan seluruh sudut rumah.


“Pak Bima, toko sepeda Symphony dibakar massa!” Firman, asisten terpercaya Bima berteriak tepat ketika atasannya itu membukakan pintu. Mendengar kabar itu Bima segera berlari menuju toko sepeda miliknya, tempat warisan dari kedua orang tuanya.


Kupikir saat itu semuanya akan baik-baik saja. Mungkin itu hanya sedikit kesalah pahaman, lagipula kalau memang seluruh toko hangus terbakar kami masih dapat mencari usaha yang lebih baik bersama.


Namun lama kelamaan hatiku semakin gelisah menunggu kepulangan suami yang telah mendampingiku selama 3 tahun.


30 menit berlalu, ia belum juga kembali.
1 jam… 1 jam 30 menit… 2 jam…


Ia belum juga pulang. Dengan sedikit ragu akhirnya aku keluar dari rumah dengan baju seadanya demi mengecek keadaan toko sepeda Symphony dan suamiku.


Baru saja aku menginjakkan kaki keluar teras, seorang laki-laki setengah baya penuh luka sedang diseret oleh mobil yang berjalan cukup cepat. Ia sudah tak bergerak, bahkan berteriak pun tak kuat. Segera kukejar mobil tersebut, untuk melihat siapa yang sedang diseretnya. Perasaanku sedikit lega ketika aku melihat bahwa ia bukanlah Bima.


Namun, keadaan disekitar semakin ricuh. Diujung jalan dua orang gadis remaja sedang disiksa dan dibunuh. Di seberangnya, sebuah toko dijarah dan kemudian dibakar. Asap-asap pembakaran menyelimuti langit yang semakin menghitam, menambah ngeri keadaan.


BAKAR! BUNUH! Teriakan-teriakan di sekitar menggetarkan gendang telingaku. Aku menutup telinga dan memejamkan mata sambil berusaha mengendalikan diri.


Tiba-tiba aku tersentak. Kutengok sedikit ke belakang, dan aku melihat toko sepeda Symphony sedang dibakar dan dijarah. Miris hatiku saat melihat warisan paling berharga yang selalu di benggakan oleh Bima kini telah menghitam dan mulai berubah menjadi puing.


Bi.. Bima? Ya, dimana Bima? Pikirku tiba-tiba. Ia tidak terlihat di manapun.


“Bima..” aku mulai terisak, ketakutan memenuhi otakku.


KAMI BUTUH KEADILAN! BUNUH! BUNUH SEMUANYA!! Teriakan terdengar semakin kencang, disertai dengan tindakan para penjarah yang kian mengerikan. Mereka terus membakar, membunuh, dan menjarah semuanya. Tanpa pandang bulu.


Aku semakin cemas dan mulai berteriak penuh kepiluan. “Bima! Jangan pergi!”


Akhirnya semua kegelisahanku terjawab. Teriakanku berhenti seketika dan seluruh tubuhku melemas, aku jatuh terduduk di atas aspal. Diujung sana, seorang laki-laki yang sangat kukenal terbujur kaku dengan muka dan badan penuh luka serta sehelai baju dan celana bahan penuh darah. Aku tahu siapa dia, tahu persis. Aku mengenalnya, bahkan mencintainya. Dia, Bima. Seorang lelaki perkasa yang telah setia menjagaku selama 8 tahun.


Seluruh kekuatanku seakan hilang dihisap awan hitam tebal diatas langit. Seiring dengan turunnya hujan aku menumpahkan segala kesedihan yang memenuhi hatiku. Selama 15 menit aku terdiam, mengenggam tangan Bima yang sudah mendingin.


“Tante, tante! Cepat kembali kerumah sekarang. Para pejarah tidak akan berhenti sebelum semuanya musnah.” Seorang siswi SMA dengan keranjang kue ditangannya mengguncangkan tubuhku. Seragam sekolahnya tampak sangat kotor dan berdebu. Ketakutan juga seakan merajalela dalam mata cantiknya.


ITU! ADA LAGI! KEJAR! Kerumunan massa berlari dari arah kanan menuju ke tempat kami. “namaku Sheilla, tolong bawakan kue ini ke ibuku. Handphoneku ada di dalamnya, carilah alamat rumahku. Katakan padanya, bahwa aku tidak bisa berjualan lagi mulai hari ini. Dan yang terpenting, tolong sampaikan bahwa aku menyayanginya.” Gadis itu tersenyum tulus sambil menyodorkan keranjang yang sedari tadi dibawanya. “sekarang tante tolong segera pergi dari sini dan kembali ke rumah. Saya yakin tante pasti masih punya anak yang harus dijaga.” Ia kemudian mendorong tubuhku pelan agar segera menjauh dari tempat tersebut.


“tapi, kamu? Ayo kita pergi bersama!” aku menggenggam tangannya sambil berusaha mengajaknya pergi dari tempat tersebut.


“tidak, mereka akan terus mengejar kalau kita berusaha kabur. Biarkan aku disini, tante kembalilah kerumah.” Ia mendorong tubuhku semakin jauh. Matanya menatap wajahku lekat-lekat, penuh dengan keseriusan.


Rombongan massa semakin mendekat. Setelah memeluk tubuh kecil Sheilla, aku segera berlari secepat kilat menjauhi tempatku berdiri tadi. Sekilas kutengok ke belakang, Sheilla sedang dikeroyok bersama. Dengan sisa-sisa tenaganya ia melihatku dan tersenyum lemah, kemudian kepalanya jatuh menunduk tak bergerak.
***
“yaampun, nek. Ternyata masih ada ya orang sebaik itu diantara orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan akan jati diri negaranya.” Vina menggelengkan kepala sambil menatapku serius.


“ya. Betul, Vin. Nenek juga kagum, ternyata masih ada orang yang lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.” Aku membalas tatapan Vina tak kalah serius.


“jadi, nek. Nenek, kirim kue itu ke rumahnya?” Vara ikut menatapku sambil berharap aku mau melanjutkan cerita yang masih menggantung.
***
Hatiku pedih melihatnya, sebuah hutang budi yang tak akan pernah dapat kutebus sampai kapanpun. Teringat pesan darinya aku langsung mencari rumah gadis itu dengan modal alamat dari handphone putih miliknya.


Ternyata ia tinggal di rumah yang tidak jauh dari komplekku, namun keadaannya jauh berbeda. Komplek perumahan ini memang lebih besar, tapi juga jauh lebih sepi dari tempat keluarga kecilku tinggal. Hanya terdengar suara desiran angin dan sayup-sayup gonggongan anjing. Selebihnya kosong dan memilukan, sama seperti hatiku sekarang.


Tok.. tok.. tok.. Setelah yakin bahwa rumah yang berada di depanku memiliki alamat yang tertera di layar handphone, akupun mengetuk pintu depannya pelan. Suasana rumah ini sesuai dengan suasana di komplek. Sepi dan mencekam.


seorang wanita yang berumur kira-kira di akhir 40an mengintip lesu dari dalam rumah, kemudian menghembuskan napas kecewa. “siapa?” tanyanya setelah membukakan pintu.


“saya Rinai. Saya kesini bermaksud mengirimkan ini dari Sheilla.” Kusodorkan keranjang kue yang diberikan Sheilla kepadanya. “Sheilla juga mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi berjualan kue mulai hari ini. Dan yang terpenting ia sangat mencintai anda selamanya.”


Wanita tadi memegang pundakku erat, “ada apa dengan Sheilla?” tanyanya terbata.


“Sheilla, meninggal. Dan semuanya salah saya, saya akan membayar hutang budi kepada keluarganya.” Bisikku tak kuasa menahan air mata.


Peganggannya melemah, ia terdiam menatap ke lantai dengan sinar mata yang kosong. Bahkan menangispun ia tak sanggup.


“terimakasih informasinya. Sheilla memang pernah mengatakan bahwa ia akan berhenti membantuku berjualan kue hanya saat ia sudah dapat membantu orang lain, dengan nyawa sekalipun. Sebelum ia berguna bagi orang lain, Sheilla akan berusaha untuk menggunakan dirinya agar berguna bagi saya, ibundanya.” Perlahan ia mendongak dan kembali menatap mataku, ada ketegaran disana.
***
“mulia banget ya, nek. Si Sheilla itu.” Potong Vina di tengah ceritaku.


“ya, ini entah sebuah kenyataan atau keajaiban. Kamu juga enggak nyangka kan masih ada orang sebaik itu?” Jawabku. Kembali kuingat tentang hari itu, hari dimana aku kehilangan orang yang paling berharga sekaligus menemukan orang-orang berhati emas.
***
Dan disinilah aku, terduduk di depan foto suami yang telah 3 tahun mengalami ombang-ambing dunia pernikahan berdua denganku. Pernikahan kami memang belum terlalu lama, namun perasaan sakitnya tak tertahankan.


Risa perlahan mendekatiku, kemudian ia mengangkat foto sang ayah dan menciumnya. “ayah, tunggu aku disana ya. Kita akan bertemu lagi kalau aku sudah sukses membahagiakan mama.” Ia berbisik pelan sambil tersenyum. Isak tangis seketika membahana di seluruh ruangan.
           
          Aku mengelus pelan rambut putri tunggalku. “Risa, yang sabar ya.”
            
        “Risa kangen papa, ma. Risa kangen dipangku papa. Kangen baca Koran sama berita bareng papa. Kangen candaan papa. Tapi yang Risa paling kangen, tatapan papa yang bisa mempengaruhi hati semua orang.” Anakku mendongakkan kepalanya. Menunjukkan wajah manis yang merupakan perpaduan antara aku dan Bima, ia terlihat sempurna di mataku.
            
        “iya, Risa. Mama juga kangen. Tapi, satu hal yang perlu kamu mengerti. Walaupun papa udah enggak berada di samping kita, tapi jiwanya akan selalu ada disini. Di hati kita, selamanya.” Jawabku mantap sambil menunjuk kearah dadanya.
           
         Risa menaruh telapak tangannya di depan dada dan mencium pipiku.
***
“selesai ceritanya.” Ucapku dengan genangan air mata yang hampir jatuh dari pelupuk mata.


“speechless, nek.” Vina menjawab, diikuti dengan anggukan setuju dari Vara.


“ma, sudah mau mulai ya?” seorang wanita cantik muncul dengan gaun berwarna putih. Ia Risa, anakku satu-satunya. Pemilik dua anak yang bernama Vina dan Vara.
            
             Kami kemudian mematikan lampu dan memakai penerangan berupa lilin yang menyala. Tahun ini. Hari ini. tanggal 13 Mei, giliran Vara yang membacakan surat dariku untuk Bima yang kubuat bertahun-tahun yang lalu.
            
Bima, memang mungkin awalnya kita tak belum mengenal satu sama lain. Tapi seperti yang orang bilang, jodoh tak akan kemana. Kau telah menepati janjimu untuk tetap menemaniku sampai aku tua. Walaupun kau pergi lebih dahulu, tapi aku yakin kau akan selalu menatapku dari atas sana. Waktu 3 tahun memang tergolong sangat cepat dalam dunia pernikahan, namun 3 tahun sudah membuatku bersyukur. Karena dalam 3 tahun itu aku telah mendapat banyak sekali pelajaran penting dari sosokmu. Terimakasih telah bersedia untuk menjadi segalanya bagiku. Satu hal yang perlu kau tahu, perasaan di dalam hatiku yang tidak akan pernah dapat dideskripsikan oleh seorang filosofis terhebat sekalipun ini tak pernah berkurang sedikitpun dengan tidak adanya kehadiranmu. Sebaliknya, ia terus bertambah setiap harinya. Sekarang, aku sedang membimbing anak kita untuk tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa secara fisik dan pikiran. Kujanjikan sebuah keberhasilan dalam hidupnya untukmu. Selamat tinggal suamiku, kau akan selalu ada di hatiku selamanya.  

            Seiring dengan selesainya dibacakan surat tersebut, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku menangis haru sambil melihat kearah awan-awan yang berarak di atas langit membentuk sebuah senyuman. Selamanya aku akan mencintaimu, Bima. Bisik hatiku dalam kesetiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar