Sabtu, 15 Oktober 2011

Percayalah, Aku Mencintaimu

Kasih ibu, terhadap beta. Tak terhingga sepanjang masa… PLAK! Tamparan kedua melayang di pipi kananku.
Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia… Kakiku  melemah, tak sanggup lagi menopang. Aku jatuh tersungkur dengan tubuh penuh bekas pukulan yang mulai membiru.
            “ampun ma…” Ucapku terbata, menahan sakit di sekujur tubuhnya.
            “nggak ada ampun ampun! Anak nakal kamu ya! Kamu seharusnya nggak lahir tau gak!” Sang ibu memekik nyaring memecah keheningan malam.
            Hal seperti ini hampir selalu terjadi di dalam rumah kecil kami yang sering disebut-sebut orang kampung sebagai ‘gubuk derita.’
“Sudah rumahnya kecil, jelek, berantakan, ibunya tidak punya hati lagi. Lengkap sekali penderitaannya.” Itulah hal yang akan dikatakan oleh tetangga-tetangga di sekitar ketika ditanya tentang rumahku.
Aku melangkah tertatih ke dalam kamar. Sambil menyeka luka-luka yang ada di tubuh aku berbaring diatas kasur tipis beralaskan lantai bambu. Malam ini hujan turun lagi, butiran-butiran bening itu menjatuhi tubuhku lewat celah-celah lebar di genteng yang tak pernah dibetulkan. Bersama dengan derasnya hujan aku menangis pilu menahan segala kesakitan batin dan fisik.

***
            Byur… Air dingin bagaikan es membangunkanku. Dengan menggigil aku melirik kearah jam di samping tempat tidur, masih pukul 3 pagi.
            “kenapa, ma?” tanyaku ragu kepada mama yang sedang berdiri di samping tempat tidurku.
            “Sekarang juga kamu bangun dan pergi warung, belikan mama rokok!” Ia mengeluarkan uang seribuan dari sakunya kemudian dilemparkan ke wajahku.
            “tapi, ma. Sekarang kan sudah malam. Warung-warung sudah tutup semua.”
            “heh! Jangan membantah kamu. Ayo cepat pergi atau kamu tidak dapat makan seharian!”
            Akhirnya aku bangun dan segera beranjak keluar rumah untuk mencari warung yang masih buka. “aduh.” Sebuah paku menancap kakiku yang menapak tanpa alas kaki. Sambil meringis aku berusaha untuk mencabut paku itu. Sakitnya tak sesakit ketika disiksa mama.
            “hey, Arisa. Sedang apa malam-malam di luar? Diusir mamamu yang sadis dan bodoh itu lagi ya?” Seorang ibu gendut yang sering kulihat sedang menjemur pakaian di samping rumah datang menghampiriku yang terduduk di pinggir jalan.
            Hatiku berubah panas ketika mendengar ejekan dari wanita tadi terhadap mama. “Mama nggak bodoh! Mama nggak sadis! Ibu tolong jangan sembarangan bicara ya. Aku tahu ia melakukan itu karena ia ingin menjadikanku anak yang kuat!” makiku kepadanya. Bagaimanapun juga aku akan tetap menyayangi mama.
            “huh, ibu dan anak sama saja. Sama-sama bodoh.” Cibirnya sambil berlalu meninggalkanku.
            Setelah satu kembali berjalan akupun menemukan warung yang masih buka. Segera aku mengambil 3 batang rokok dan menyodorkan seribuan yang tadi diberikan mama. Kemudian aku berlari pulang mengejar waktu.
            Sesampainya di rumah, seperti yang sudah kuduga mama kembali melayangkan tamparan di pipiku. “lama sekali kau pulang? Sudah 2 jam ini. dasar anak haram!”
            “kan sudah kubilang, jarang ada warung yang buka waktu dini hari! Lagipula aku sudah membawa rokoknya kan.” balasku, kesabaranku mulai hilang.
            “berani kamu ya sekarang. Dasar anak kurang ajar!” sedetik kemudian tangan mama meraih kepalaku dan membenturkannya ke tembok, darah segar mengucur dari dahiku.
***
            “maafkan mama Arisa.” Tubuh ringkih mama terbaring di atas ranjang rumah sakit. Entah sudah berapa ratus kali ia mengatakan hal ini.
            Aku menggenggam erat tangan dan mencium pipinya. Sosok yang dulu begitu menakutkan bagiku kini terbaring lemah di rumah sakit. “mama sa.. yang.. Kamu.” Ucapnya terbata sambil memandang kosong kearahku.
            Mama mengidap penyakit kanker paru-paru akut. Sudah seminggu ini ia terbaring lemas di rumah sakit. Aku memandang pilu padanya, karena bagaimanapun juga aku akan selalu mencintainya. Sejujurnya, aku tidak ingin ia bernasib sama dengan papa yang meninggal 12 tahun lalu karena penyakit mengundang maut yang sama.
            “Arisa juga sayang mama, sayang banget.” Balasku di sela-sela tangis.
            “Ris, kamu mau antarkan mama ke suatu tempat sebelum mama meninggal?” pinta mama kepadaku.
            “tempat apa itu ma?”
***
            Aku terpesona melihat tempat yang ditunjukkan oleh mama. Di depan kami terlihat sebuah rumah merah dengan gaya minimalis yang sederhana namun terlihat luar biasa.
            “ini rumah tempat tinggal kita sebelum papa meninggal. Kau pasti sudah lupa. Setelah papa, mama menjadi frustasi dijerat hutang-hutang papa. Akhirnya mama menjual segalanya sekaligus rumah ini ke bank. Akhirnya mama terpaksa hidup miskin dan mulai mabuk-mabukkan.” Mata mama menerawang kearah rumah mewah itu. Terlihat kerinduan yang mendalam di matanya.
            Hanya satu pintaku, tuk menatap langit biru. Dalam dekap seorang ibu…
            Sore itu, aku memeluk mama untuk yang pertama kalinya di bawah sinar matahari yang mengundang senyuman. Mama berbalik dan melihat ke arahku, matanya memancarkan sinar kasih sayang yang belum pernah kulihat selama beberapa tahun belakangan.
            Bila semua ini, hanya sebuah mimpi. Ku kan terus berharap tuk tak pernah terbangun…
 “maaf, Arisa. Aku mencintaimu, nak.”
***
15 menit kemudian, terdengar suara sirene mobil ambulans. Tubuh mama yang terkulai lemas segera dilarikan ke rumah sakit. Dengan cemas kugenggam tangannya yang mulai dingin seerat mungkin, kuucapkan doa-doa permohonan pada Tuhan sepanjang perjalanan.
Perlahan isakkannya terhenti, genggaman tanganku mulai melonggar. Dengan sisa napas terakhirnya, ia mengatakan hal itu sekali lagi. “aku mencintaimu, Arisa. Percayalah.”
Ngiung… ngiung… ngiung… suara sirene terdengar semakin keras menelan keheningan malam.
Tak ada lagi siksaan, tak ada lagi keresahan. Yang tertinggal hanyalah kerinduan dan harapan bahwa ini semua hanyalah sebuah mimpi. Ketika aku terbangun nanti semuanya akan kembali seperti semula, aku akan kembali merasakan siraman air dingin dan pukulan-pukulan mama. Harus. Karena sekarang, aku merindukan dirinya.
***
Disinilah aku, bersama dengan suami dan kedua anak kembarku yang masih balita. Sambil memejamkan mata aku berjanji di depan batu nisan kedua orangtuaku untuk mencintai keluargaku sepenuh hati, apapun yang terjadi.
“selamat siang, ma. Pa. Matahari kembali bersinar cerah pagi ini. Aku datang berkunjung sambil membawa suami dan kedua anakku. Lihatlah anak-anakku memiliki mata yang persis dengan mata indah mama.” Aku berbicara pada kedua jiwa orangtuaku yang kuyakini masih setia mendampingiku.
“mama, liat deh!” kedua anakku lari tergopoh-gopoh dan menunjuk kearah langit yang cerah.
Sambil menyipitkan mata aku melihat apa yang mereka tunjuk. Segumpal awan putih membentuk dengan jelas 2 sosok manusia. Satu besar dan satu kecil, satu ibu dan seorang anak. Mereka terlihat sedang berpelukan penuh kasih sayang.
“jiwa mama sedang memeluk kamu tuh.” Suamiku mengembangkan senyumnya kearahku, kemudian melayangkan pandangannya ke langit. “mama, papa. Aku janji untuk selalu menjaga dan mendampingi Arisa. Apapun yang terjadi.” Serunya kemudian memelukku erat.
Setelah puas kami berempat pergi ke rumah tua tempat kami akan tinggal. Sebuah rumah besar minimalis dengan cat berwarna merah memikat mata siapapun yang melihatnya. Rumah penuh kenangan yang kami beli kembali dari bank.
“waah.. bagus banget rumah baru kita.” Dengan kompak kedua anakku tertawa senang.
“ayo masuk!” suamiku dengan semangat mengeluarkan kunci rumah dari dalam jaketnya.
“tunggu.” Mataku menatap sebuah amplop merah muda yang tergeletak di jalan. Aku masih ingat betul, itu adalah tempat aku dan mama berdiri 2 tahun yang lalu.
Sejurus aku segera berlari dan mengambil surat tersebut. Di dalamnya tersimpan sebuah kalung bertuliskan namaku serta surat yang sudah lusuh.
Arisa, maaf. Selama ini mama telah menjadi seorang ibu yang tidak memiliki hati. Semua itu karena mama putus asa harus mencari makan seorang diri. Awalnya mama selalu menumpuk segala tekanan di dalam hati, sampai suatu hari mama menemukan cara untuk menghilangkan stress. Yaitu dengan menyiksamu, darah dan daging mama sendiri. Kau lihat sendiri kan, mama begitu bodoh. Mungkin menangisi mama saja tidak akan kau lakukan, karena mama memang tidak pantas ditangisi. Biarkan mama mati secepatnya, dan kamu pergilah mencari seorang suami yang baik. Jadilah juga seorang mama yang baik bagi anak-anakmu, tidak seperti mamamu yang bengis dan kejam ini. Ini kalung untukmu, maaf jika tidak mahal dan hanya terbuat dari kayu yang mama ukir sendiri ketika kamu berjualan kue dan mama terbaring di rumah sakit. Hanya kalung ini satu-satunya yang dapat mama berikan untukmu selain ribuan kata maaf dan aku mencintaimu. Ya, aku mencintaimu selamanya, percayalah.
Aku tertegun membaca surat dari mama. Terlihat beberapa bercak air mata yang telah mengering. “aku sayang mama! Aku cinta mama! Selamanya!” aku berseru, agar langit dan burung-burung di udara menjadi saksi janjiku.
“ayo, Arisa. Kita masuk ke rumah.” Suamiku menepuk pundakku lembut dari belakang.
Aku tersenyum melihat kedua anakku yang sedang berlarian kearah pintu rumah. “ayo.” Balasku.
Rumah bercat merah ini akan merajut kisah hidupku selanjutnya. Kisah yang mungkin lebih baik atau lebih buruk dari sebelumnya. Namun kisah apapun yang terjadi, rumah ini sempat menyimpan sebagian kenangan indah masa kecilku.
Bagaimana dengan ‘gubuk deritaku’? Aku akan berusaha untuk melupakan tempat itu, demi tak menumbuhkan benih-benih kebencian pada mama dalam hatiku.
“Arisa, aku mencintaimu.” Aku terkejut, terdengar sayup-sayup suara mama di tengah semilir angin dan daun-daun yang berguguran.
Tapi biarlah, ini hanya imajinasi atau bukan aku tak peduli. Karena yang terpenting…
“percayalah, ma. Aku juga mencintaimu. Selamanya.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar