Sabtu, 15 Oktober 2011

Putri 34 Kilogram

Banyak orang tidak puas dengan apa yang telah dimilikinya saat ini, tanpa menyadari bahwa segala sesuatu yang berlebihan akan memberikan efek negatif…

Aku terdiam membaca sebuah berita dalam Koran pagi hari ini, “Amalia Hadi Sucipto, seorang gadis remaja SMP penderita anoreksia mencoba untuk bunuh diri dengan menyilet tangannya sendiri pada hari kamis pagi yang lalu.”
           
Kuperhatikan tubuhku yang hanya menyisakan tulang dan kulit serta terbalut baju rumah sakit berwarna biru dari pantulan cermin.
           
“Alia gendut kayak gajah, hahaha!” Sekelibat memori tentang dua tahun lalu tiba-tiba muncul di pikiranku. Saat itu, bobotku masih jauh di atas ideal. Bu Tari, guru Bahasa Indonesia sedang membahas tentang cita-cita di depan kelas tujuh B.

“oke, jadi adakah dari kalian yang sudah benar-benar yakin dengan cita-citanya?” Bu Tari menyelingkan sebuah pertanyaan sederhana di tengah-tengah penjelasannya.

“aku, Bu! Aku sudah tahu apa cita-citaku.” Aku mengangkat tangan dengan semangat sambil mengibas-ngibaskannya. Bu Tari tersenyum kemudian menunjuk kearah mejaku sebagai isyarat bahwa aku diperbolehkan untuk menjawab pertama. “ya, silahkan Alia. Apa cita-citamu?”

“aku mau jadi model bu!” jawabku mantab.

Keadaan hening sesaat. Seiring dengan berakhirnya jawabanku terdengar derai tawa dan ejekan meluncur dari mulut teman-teman satu kelas. Bahkan kulihat Bu Tari ikut tertawa kecil sambil menutupi mulutnya. “Alia, mau jadi model? Ga salah? Kamu kan gendut!” salah satu temanku melontarkan sebuah ejekan, diikuti dengan tawa yang semakin keras serta kata-kata menyakitkan dari anggota kelas yang lain. 

Pipiku merah menahan malu, air mata mulai mengalir. Sambil menutup muka aku berlari keluar kelas dan mengunci diri di toilet. Sejak hari itu, aku selalu menjadi bahan ejekan di kelas. Bahkan teman-teman dari kelas lain ikut mengejekku dengan sebutan ‘gajah bengkak.’

Karena tidak tahan dengan cacian dari teman-teman yang terus menekan batinku, terlebih ketika aku mendapatkan selebaran tentang pemilihan putri kecantikan di sekolah. Aku ingin memenangkan kontes tersebut dan membuat semua teman yang mengejekku menyesal. Akhirnya kubulatkan tekad untuk melakukan diet ketat selama satu bulan libur kenaikan kelas.
           
Kumuntahkan semua makanan yang bahkan belum sempat diterima lambungku. Uang jajan dari mama kubelikan suplemen pelangsing serta obat pencahar. Hal itu aku lakukan secara rutin. Aku kecanduan. Sama seperti kecanduan narkoba, dengan efek yang juga hampir sama nantinya.

“Yes, empat puluh delapan!” hatiku berseru pelan melihat bobotku telah turun lebih dari setengah, hanya dalam waktu satu bulan.
           
Segera kugendong tas dan berlari masuk ke mobil dengan riang, papa hanya tersenyum memperhatikan bidadarinya yang telah ‘menciut’ lewat kaca mobil. Aku siap menghadapi hari pertama masuk sekolah.

***

 “Wah, anak baru ya? Namanya siapa?” sapaan pertama muncul dari Kirana, teman sekelasku tahun lalu yang tidak lagi mengenali wajahku.

“Aku Alia, panjangnya Amalia Hadi Sucipto. kelas delapan G. Hobiku membaca dan membuat puisi, panggilanku dulu adalah gajah bengkak. Tahun lalu aku ada di kelas tujuh B denganmu, masa kau sudah lupa?” Aku menjelaskan kembali tentang diriku secara panjang lebar, diikuti dengan tatapan tidak percaya dari Kirana.

Kirana mencubit pipinya dengan keras. “aduh! Sakit ya Li, bukan mimpi ternyata, hehehe.” Ia tertawa kemudian kembali terdiam, tangannya menepuk-nepuk pipiku. “kamu berubah banget! Jadi cantik. Sekarang panggilanmu berubah jadi neng geulis nih.”  

“Hahaha.” Aku tertawa ringan sambil melangkah menuju kelas baruku. Ternyata tidak hanya Kirana yang terkejut dengan penampilanku sekarang, semua teman bahkan guru berdecak kagum saat aku menyapa mereka sambil tersenyum.

Sejenak pandanganku mengabur, seluruh sudut sekolah terlihat dipenuhi oleh orang-orang berpakaian resmi. Aku berjalan di tengah-tengah mereka dengan sebuah karpet merah panjang yang halus terbentang di bawah kakiku. Semua orang mengelu-elukan namaku. Beberapa dari mereka berteriak histeris kegirangan.

“Selamat pagi anak-anak! Ayo kita mulai pelajaran.” Lamunanku terpecah, semuanya mengabur dan berubah menjadi normal kembali. Bu Silvia, guru yang terkenal galak di sekolah akan segera memulai pelajaran.

Aku tersenyum mengingat seluruh pujian dari teman-teman dan guru pagi itu. Rasanya aku telah terbang ke langit ketujuh dan dihempaskan di awan seputih kapas yang empuk.

Begitu semua cacian berubah menjadi pujian otakku semakin dipenuhi oleh usaha untuk bertambah langsing lagi, kutambah dosis obat dan jadwal muntahku. Aku sudah tidak sabar untuk melihat nama Amalia Hadi Sucipto dinobatkan menjadi pemenang putri kecantikan tahun ini, inilah kesempatanku satu-satunya.

***
            Hal yang kulakukan setiap hari hanyalah memandang timbangan. Aku sama sekali tidak peduli dengan pelajaran. Sudah dapat dipastikan nilaiku menurun drastis dan bahkan berada di ujung tanduk. Aku hampir tidak naik kelas tahun itu. Lagipula aku sudah tidak perlu belajar karena aku telah berubah sekarang. Walaupun tidak naik kelas, aku bisa saja berhenti sekolah dan memulai karirku sebagai model ternama. Semuanya menjadi sangat mudah sekarang.

Akhirnya hari yang kutunggu-tunggu pun tiba, sebuah langkah awal kepopuleranku. Kelihatannya aku terlalu bersemangat hari ini, sampai-sampai makan pagi yang disiapkan mama tidak kumakan.

Tiba-tiba aku merasa lemas dan pusing. Ah, mungkin ini gejala masuk angin, pikirku. Tetapi setelah langkah ketiga… bruk! Aku terjatuh. Sesaat kemudian semuanya menjadi gelap. Ketika terbangun, aku sudah berada di atas tempat tidur, atau tepatnya di rumah sakit. Aku tidak boleh disini terus, aku harus ke sekolah sekarang.

“Mama, aku mau ke sekolah…” pintaku kepada mama sambil menggeliat malas di atas tempat tidur yang menopang tubuhku. Pasalnya hari ini adalah hari audisi untuk pemilihan putri kecantikan, dan tentu saja aku tidak mau kehilangan kesempatan ini. Aku tidak peduli dengan perutku yang masih terasa sakit karena kosong.

            “Kata dokter kamu belum boleh pergi sayang, kamu masih perlu istirahat, Nak.” Mama berbisik lirih. Aku tau, mama sebenarnya tidak tega melihatku kecewa.

            “Yah mama, tapi nanti namaku didiskualifikasi.” Jawabku sambil menahan air mata.

Ternyata keadaan tetap tak memihak. Walaupun telah dibujuk berkali-kali hati mama tak kunjung luluh. Aku dipaksa untuk tetap tinggal di rumah sakit sampai dokter mengatakan bahwa aku boleh pulang. Secara otomatis aku tidak bisa mengikuti kontes tersebut, dan alhasil namaku didiskualifikasi.

Mama jahat! Ia telah menghancurkan semua mimpiku. Aku mogok makan selama berhari-hari. Kutumpahkan berpiring-piring makanan yang mama siapkan untukku. Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah kekecewaan, sampai-sampai aku tidak menyadari kalau tubuhku sudah semakin minim akan gizi.

***
 “Selamat Siang, Alia. Aku bawa makanan loh buat kamu.” Sebuah suara yang tidak asing lagi di telingaku memecah keheningan. Semua ingatanku tentang masa lalu seketika pergi. Aku berbalik sambil kembali duduk di samping tempat tidur.

“Loh, Bintang? tumben banget kamu dateng ke sini. Biasanya sombong. Emang mau ngapain?.”

“hehe, iya nih Li. Aku sebenernya Cuma pengen nanya soal berita di Koran tadi pagi…”

“Oh, jadi kamu dateng kesini cuma buat ngajarin aku kayak orang-orang lain ya? Aku udah ga butuh nasehat, Tang. Aku udah muak!”

Sejenak setelah aku memakinya, Bintang keluar dengan wajah kecewa sekaligus bingung.

***
            Sepeninggal Bintang pikiranku kembali melayang-layang ke masa lalu, saat aku dijauhi teman-teman lagi karena mengidap anoreksia. Di saat semuanya menjauh, Bintang yang sempat kulupakan keberadaannya mengucapkan sebuah janji yang masih terus tergiang-ngiang dalam telingaku. “kamu boleh ngelupain aku. Tapi waktu semuanya, bahkan dunia sekalipun menjauh, aku pasti akan selalu kembali.”

Dulu aku pernah jatuh cinta saat pertama kali mengenal Bintang, dan kini getaran yang dulu pernah kurasakan kembali muncul. “aah.. Alia, kamu mikir apa sih? Ga usah banyak mimpi, deh.” Gumamku sambil mencubit kulit pipi kurusku yang kering, hampir bersisik.

Bintang memang baik pada semua orang, termasuk aku. Tidak sepantasnya ia sebaik itu kepadaku, karena hal itu hanya akan semakin menambah perih luka di hati.

***
            Untuk kedua kalinya pintu kamarku dibuka, kini yang masuk adalah dua orang suster bertubuh sedang. Salah satunya memegang sebuah papan dengan kertas putih bergaris. Ia terlihat sedang sibuk mencatat informasi di dalam label biodata yang tertempel di ujung tempat tidur.

“Siang, Alia. Kamu tolong kembali tidur ya. Hari ini kan jadwal pengecekkan lambungmu. Mudah-mudahan hasilnya membaik ya.” Salah satu dari mereka menyapaku kemudian mendorong tempat tidurku ke sebuah ruangan minim pencahayaan dan berbau steril. Hari ini adalah jadwal pengecekan lambung yang sebenarnya sudah kujalani ratusan kali.

Sekali lagi aku terbangun di atas tempat tidur lipat rumah sakit. Tampak kakak laki-lakiku sedang duduk di kursi kayu yang diletakkan di samping tempat tidur dengan sebuah kotak merah jambu berukuran sedang di tangannya, Ia baru sempat kembali dari Amerika karena jadwal kuliahnya yang padat.

“Maafin kakak karena enggak pernah ngasih support ke kamu. Selama ini kakak cuma diem aja.”

Inilah pertama kalinya kakak mau berbicara lagi padaku. Setelah pertengkaran hebat beberapa tahun yang lalu kami mulai berhenti berkomunikasi, sampai suatu saat kakak memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Amerika.

Aku senang kakak pulang hanya karena mengkhawatirkanku. Setelah berbincang-bincang sebentar ia memintaku membuka bingkisan darinya. Ternyata isi kotak merah jambu yang sedari tadi digenggamnya adalah sepotong rok berwarna putih bersih dengan ukuran XXL, ukuran yang dulu pernah pas menggantung di pinggulku.

“Kakak sedih liat kamu begini Li, kakak kangen kamu yang dulu. Dulu kamu lucu, chubby dan ngegemesin.” Kakak menjelaskan maksud dari pemberiannya padaku yang menatap bingung kearahnya. 

“Jujur kak, Alia sendiri juga lebih milih jadi kayak dulu aja daripada jadi tengkorak berjalan kayak gini, hehehe.”

Aku mencoba sedikit bercanda untuk mencairkan suasana. Tapi apa daya, aku malah merasakan hangatnya bulir-bulir kesedihan di pipiku. Aku menangis.

“Kak, Alia nyesel. Aku enggak mau gini terus. Aku mau sembuh!”

“Loh? Bagus dong Li kalau kamu nyesel. Jadi kamu punya semangat buat sembuh dan ngejar cita-cita kamu.”

“Benar juga ya kak, kalau aku sempat mengalaminya aku pasti akan berhenti dan berusaha untuk tidak mengulangi semua kesalahanku, sehingga dapat terhindar dari penyakit ini. Aku kan sudah pernah merasakan bagaimana penderitaan yang dihasilkan oleh anoreksia.” Renungku setelah mendengar kata-kata kakak barusan.

***
            Kemudian kakak memintaku untuk memperbolehkan Bintang masuk. Oh tidak! Aku telah melupakan Bintang yang tadi sempat kuusir keluar karena moodku sedang tidak mendukung.
           
Belum sempat aku menjawab, Bintang telah masuk dengan beberapa teman yang dulu pernah menjauhiku. Mereka membawa kue tar coklat besar dengan sebuah ucapan yang diukir dengan krim berwarna ungu diatasnya, “Semoga cepat sembuh, Alia. Jangan pernah menyerah. Fighting!” 

            Aku tidak bisa memikirkan apa yang harus kukatakan. Aku terlalu bahagia. Segera kupeluk mereka satu persatu sambil mengucapkan terimakasih, ternyata masih ada banyak orang yang peduli dengan keadaanku saat ini.

            Tasha, Salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah MP3 player dari dalam tasnya. Kemudian memutarkan lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya. Katanya kemudian, “lagu ini judulnya sama dengan namamu, Amalia. Kita bikin khusus buat kamu. Kita mau liat kamu senyum.”

            Bintang mengambil gitar tua peninggalan almarhum ayahnya dan mulai mengikuti alunan lagu ciptaan mereka. perlahan aku ikut berdendang mengikuti. Semua rasa sakit dan maluku perlahan menghilang terbawa alunan nada musik. Muncul sebuah perasaan yang tidak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Sekarang aku merasa jauh lebih kuat dari sebelumnya.

“Li, kan kamu udah lama enggak keluar kamar rumah sakit. Kita jalan-jalan bareng yuk, mumpung masih belum terlalu gelap.” Ternyata rencana belum selesai, aku akan bersenang-senang dengan mereka sepanjang malam.

Kembali aku tercengang ketika melihat tempat jalan-jalan yang mereka maksudkan tadi. Sebuah tempat yang dipenuhi canda tawa dan senyum lugu anak-anak bertubuh mungil, panti asuhan kecil yang terletak di balik meriahnya dunia malam kota Jakarta.

Seorang anak perempuan berambut sebahu menggandeng tanganku, ia mengajakku untuk berkumpul bersama teman-temannya yang lain, beberapa dari mereka sedang membuat tugas. Kulayangkan pandanganku kepada kondisi fisik mereka. Beberapa diantaranya tampak memakai tongkat atau kursi roda, dan bahkan ada yang sedang membentur-benturkan kepalanya di dinding.

“semua anak-anak di tempat ini dalam keadaan cacat, ada yang dari lahir dan ada juga yang akibat dari kecelakaan atau penyakit. Begitu pula dengan Sita, anak yang tadi menggandengmu. Ia buta sejak lahir.” Bintang muncul secara tiba-tiba di sebelahku yang setengah melamun. Seakan bisa membaca pikiran, ia menjelaskan semua hal yang bahkan belum sempat kutanyakan.

“Iya Tang, miris banget. Ternyata masih banyak orang-orang yang lebih menderita ya di luar sini.”

“Betul banget, coba buat lebih menghargai hidup mulai sekarang. Jangan gampang putus asa dan ngelakuin hal-hal bodoh.” Aku yakin sekali ia sedang menyinggung soal berita tentang aku di Koran tadi pagi, tapi apa yang dikatakan Bintang adalah benar adanya.

Berada di sini membuatku merasa diterima. Tidak ada yang mempersoalkan tentang tubuhku ini. Semua memiliki kekurangan dan mereka mensyukurinya. Aku banyak belajar dari mereka hari ini, belajar untuk selalu tersenyum dan bersyukur walau dalam keadaan sesusah apapun.

Untuk memanfaatkan sisa waktu yang ada aku menggunakannya untuk berbagi pengalaman, tentang bagaimana rasanya saat mengalami kegagalan dan sulitnya untuk bangkit dari keadaan tersebut. Aku juga menceritakan tentang penyakitku kepada mereka, beberapa bergidik ngeri, dan beberapa menatapku dengan wajah peduli.

***

“Memangnya kalian sudah sering berkunjung kesini sebelumnya?” Tanyaku kepada teman-teman setelah selesai bercerita.

“Iya sih Li, kita memang udah beberapa kali berkunjung. Biasanya kita bawa bingkisan untuk anak-anak disini. Kita seneng soalnya mereka semua senang saat menerima kunjungan, pengurusnya juga ramah.” Jawab Tasha yang sedang menggendong seorang anak berbibir sumbing.

“Pernah sih beberapa kali kita mikir buat ajak kamu kesini, siapa tau bisa membuatmu lebih semangat dan merasa dihargai. Akhirnya hal itu tercapai juga.” Bintang menyambung jawaban dari Tasha.

“Oh, berarti usaha kalian ga sia-sia dong? Aku ngerasa kalau kunjungan ini betul-betul berguna banget. Terimakasih ya teman-teman. Hari ini adalah hari yang tidak akan pernah bisa aku lupakan. Mulai dari saat kalian datang secara tiba-tiba ke kamarku, menyanyikan lagu yang kalian ciptain sendiri, dan terakhir kalian membawaku ke tempat ini. Tetapi yang terpenting, kalian telah berhasil membuatku menyadari bahwa hidupku tidak seburuk yang selama ini aku pikirkan.”

“Iya Li, makasih juga kamu udah menghargai semua usaha kita. Ternyata rencana yang kita buat ga sia-sia dan bisa kamu jadikan sebagai motivasi untuk bangkit dari kegagalan.” Mereka semua tersenyum penuh arti, memperlihatkan sinar ketulusan yang tercermin dari wajah mereka.

Momen yang mereka berikan khusus untukku hari ini telah berhasil mengrubah pandanganku tentang hidup. Hidup bukan hanya masalah bentuk fisik, banyak aspek-aspek kehidupan lain yang lebih penting dari hal tersebut.

Mulai sekarang aku berjanji akan menjadi lebih memperhatikan keadaan sekitar dan tidak berpikiran pendek lagi. Aku bertekad untuk sembuh suatu hari nanti, dan aku yakin aku bisa. Karena keluarga, dan teman-teman akan selalu ada untukku, serta Bintang yang akan selalu menepati janjinya.

“kamu boleh ngelupain aku. Tapi waktu semuanya, bahkan dunia sekalipun menjauh, aku pasti akan selalu kembali.”

***
            Hari demi hari kulalui dengan dikelilingi orang-orang yang kukasihi. Kicauan burung dan sinar matahari pagi menjadi lebih indah, makanan rumah sakit yang tawar terasa seperti makan steak di hotel bintang lima. Keadaanku kian membaik, sudah lama aku ingin keluar dari belenggu kesedihan dan merasakan kebahagiaan seperti ini.

Beratku mulai menanjak naik sedikit-demi sedikit, aku tersenyum puas melihat bobotku telah naik satu kilogram lagi. Kini jarum timbanganku menunjuk ke angka 34.

“Alia, kamu lihat ini!” Bintang tergopoh-gopoh menghampiriku yang tengah duduk santai di sofa sambil menyeruput teh manis.

Kuangkat tinggi-tinggi selebaran yang dibawa Bintang, “Kontes putri kecantikan tingkat nasional?”

Sekali lagi Bintang mengatakan hal yang tidak akan pernah aku bisa lupakan…

“Kalau kamu sudah sembuh, aku yakin kamu pasti bisa menjadi pemenang lomba ini. Tapi sekarang dan selamanya, kamu adalah putri tercantik di hatiku. Putri 34 kilogram.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar