Selasa, 19 Juli 2011

Tuhan Punya Jalan Terbaik

           Maret 2006, 5 tahun yang lalu
Aku terbangun ketika mendengar bunyi gelas pecah dan teriakan mama yang sangat keras, mama menangis hebat. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi saat itu. Satu-satunya hal yang dapat kulihat hanyalah punggung papa yang semakin menjauh. Sejak hari itu, hari dimana aku belum mengerti apa-apa, papa tidak pernah kembali.

Jumat, 5 Maret 2011
“disaat kutelah mengerti, betapa indah dicintai. Hal yang tak mudah kudapatkan, sejak aku hidup di jalanan.” Sudah 5 tahun sejak berakhirnya pernikahan kedua orang tuaku, sudah 5 tahun juga aku merasakan penderitaan ini. Papaku hanyalah seorang laki-laki pengecut yang tidak bertanggung jawab, ia menikah dengan wanita lain dan membawa semua harta milik mamaku. Sekarang aku dan kedua adikku terpaksa mengamen hanya untuk makan sehari-hari dan membeli obat untuk mama yang sedang sakit keras. Aku benci papa, dia menelantarkan kami begitu saja, dimana hati laki-laki tersebut? Jika ada yang bertanya, dimana papaku berada. Aku akan menjawab, bahwa aku tidak pernah mengenal dia. Siapa yang mau mengakui manusia seperti itu sebagai ayah? Akupun tidak sudi. Aku berjanji, jika suatu hari nanti aku bertemu lagi dengannya, aku akan membunuhnya, aku berjanji. Tuhan, tolong aku membalaskan dendamku ya.
“kak Damai! Aku capek.” Rengekkan kedua adikku, Kiki dan Nana, yang masih kecil membuyarkan lamunanku. Hatiku terasa sangat pedih. Aku tidak bisa membiarkan kedua adikku menderita seperti ini, apalagi ibuku, wanita yang sudah melahirkan dan merawatku. Kulihat mereka berdua, keduanya terlihat sangat lelah dan haus. Sudah seharian ini kami terus berjalan dan bernyanyi di jalan, dinginnya malam menggigit tubuh kami yang semakin menggigil, jalan raya terlihat sangat sibuk dan ramai, semua orang sedang buru-buru untuk pulang kerja atau sekolah, memang berat hidup di Jakarta. “Yasudahlah, ayo kita istirahat sebentar” kataku sambil membeli segelas air putih yang akan kami minum bersama-sama untuk melepas dahaga, sebelum akhirnya kami pulang ke rumah untuk menyudahi segala kegiatan hari ini, untuk menceritakan semuanya kepada mama dan tertawa lepas bersama.
Sampai hari itu aku masih menyimpan dendam pada ayah. Dan aku masih menyimpan janjiku, aku akan membalaskan dendam kami padanya, suatu saat nanti. Aku yakin, Tuhan pasti akan membantuku.

Minggu, 20 Maret 2011
Pendapatan kami hari ini sangat sedikit, hanya terdengar beberapa dentingan uang koin di dalam gelas yang dibawa adikku. Kami belum makan selama dua hari, dan sepertinya kami harus puasa lagi. Dan, oh, obat mama sudah habis. Aku harus membelinya, tapi uang yang kami dapatkan hari ini tidak akan cukup. “dek, boleh saya bicara sebentar denganmu?” seorang laki-laki yang kelihatannya masih kuliah memanggilku. “ya, silakan. Ada apa ya?” aku menjawab sesopan mungkin. Orang tersebut menanyakan namaku, kami berkenalan. Namanya adalah Tama, Ko tama.
Ia menawarkan untuk mengajak aku beserta kedua adikku untuk makan bersama, tentu saja mamaku dibawakan makanan pulang. Tetapi, ada syaratnya. Aku harus pergi bersama Ko Tama, hanya aku sendiri, tanpa adik-adikku. Muncullah sedikit kecurigaan, sepertinya sih kalau dilihat-lihat Ko Tama bukanlah orang jahat, sangat baik malah. Tapi kan kata orang bijak, jangan melihat sebuah buku hanya dari sampulnya saja. Makanya, kalau wajahnya baik belum tentu hatinya juga baik kan?
Akhirnya setelah berpikir cukup lama, aku pun setuju dengan tawarannya. Hitung-hitung kami bisa makan enak sekeluarga hari ini. Setelah mengantar Kiki dan Nana kembali ke rumah  aku pun pergi dengan mobil Ko Tama yang mewah, dan tentu saja ber ac. Sebuah keadaan yang telah lama tidak kurasakan, sudah lama aku mendambakan untuk bisa naik mobil mewah seperti ini lagi dengan keluargaku. Bersama mama, Kiki, Nana, dan papa. Ya, sebenarnya, di dalam lubuk hatiku yang terdalam aku masih rindu papa, rindu saat-saat kita masih bersama. Tapi tetap saja, perlakuannya kepada kami tidak akan pernah bisa kumaafkan, hatiku telah terbutakan oleh rasa dendam.
Angin dari Ac yang menerpa wajahku terasa sangat nyaman, tanpa sadar akupun tertidur. “Damai bangun, kita sudah sampai.” Panggil Ko Tama membangunkanku. Akupun terbangun dan segera turun dari mobil, tempat apa ini? oh, aku tahu, ini Gereja. Apa dengan datang kesini aku bisa membalaskan dendamku pada papa? Ko Tama mengajakku untuk masuk ke dalam Gereja, di dalam ia mengajakku untuk berdoa pada Tuhan, menceritakan semua masalahku padaNya. Ia mengingatkanku untuk jangan lupa bersyukur kepada Tuhan. Loh? Apa yang harus kusyukuri? Hidupku selalu didera musibah dan kesulitan kok.
Tuhan, hari ini aku kembali tidak dapat uang banyak. Kukira aku harus puasa lagi hari ini. Beruntung aku bertemu dengan Ko Tama yang baik, ia mengajakku ke tempat ini. Aku tidak tahu apa gunanya ia mengajakku. Oh ya, Tuhan, Engkau jadi membantu membalaskan dendamku pada papa kan? Tolong aku ya Tuhan yang baik, Amin.
Sejak hari itu Ko Tama sering mengajakku ke Gereja, beberapa kali aku mengikuti sekolah minggu dan misa. Aku juga turut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan Gereja. Doaku pun berubah, aku menjadi lebih sering bersyukur kepada Tuhan, doaku selalu berisi pujian-pujian untuk Tuhan.
Entah mengapa hidupku juga berubah, rasanya langkahku menjadi lebih ringan, beban yang kuangkat sudah tidak seberat dulu. Aku kini bekerja sebagai seorang pencipta lagu rohani, dan aku cukup sukses. Sudah banyak orang yang memesan untuk dibuatkan lagu kepadaku. Akhirnya aku merasakan besarnya cinta Tuhan dalam hidupku, tapi dendam ini masih tetap tersimpan rapi dalam hatiku, tanpa berkurang sedikit pun.

Senin, 4 April 2011
Badanku terbaring lemas di rumah sakit, infus menancap di lenganku. Rasa sakitnya tak bisa diceritakan. Aku mengalami kelainan pada jantungku, sehingga aku harus menjalani operasi pencangkokan jantung, dan hari ini adalah hari terakhirku. Hari dimana aku akan menjalani operasi pencangkokan, tetapi aku bahkan tidak tahu siapa orang dermawan yang mau mendonorkan jantungnya untukku. Mama meninggal beberapa bulan yang lalu karena penyakit yang dideritanya tidak kunjung sembuh, kedua adikku sedang bersekolah sekarang, hanya Ko Tama yang menemaniku hari ini. Tiba-tiba seseorang masuk ke kamarku, kupikir dia adalah Ko Tama. Dengan susah payah aku membuka mataku, buram. Bukan, dia bukan Ko Tama, siapa dia? Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Orang itu hanya meninggalkan sebuah amplop, yang mungkin isinya surat disamping tempat tidurku. Setelah itu dia keluar dan menutup pintu.
            Aku menebak-nebak siapa orang itu selama beberapa menit sebelum seorang suster masuk ke dalam kamarku, ia membawaku ke sebuah ruangan berbau steril, pasti ini ruang operasi. Setelah itu aku tidak sadarkan diri.
           
            Hari ini, Kamis, 6 April 2011
            Aku membuka mataku, apakah aku sudah mati? Loh, aku masih terbaring di rumah sakit, masih diatas tempat tidur yang sedari tadi menopang tubuhku. Aku masih hidup. Ini bukan mimpi kan? Aku masih hidup, Tuhan? Aku teringat akan surat tadi, segera kucari surat tersebut, beruntung, surat itu masih ada di sebelah tempat tidurku. Segera tanpa basa basi aku membuka surat beramplop biru tersebut, tidak ada nama pengirimnya.

Untuk Damai, anakku.
Hai nak, sudah lama kita tidak berbicara dan tertawa bersama ya. Papa tau, kalian semua pasti sangat dendam pada papa, papa terpaksa menikah dengan wanita itu beberapa tahun yang lalu karena masalah hukum. Papa harap kamu bisa mengerti dan memaafkan papa. Beberapa hari yang lalu papa berkenalan dengan seseorang berhati emas yang bernama Tama, dan ia mengatakan kamu ada disini. Papa tidak bisa melihat kamu menderita, papa merasa bersalah karena tidak bisa menjagamu, sudah membuatmu marah hingga membenci papa. Inilah hal terakhir yang bisa papa lakukan untukmu, untuk menebus dosa papa selama ini. Tolong jaga jantung papa yang ada di tubuhmu ya, papa sayang kalian semua. Papa lega sudah bisa menceritakan semuanya kepadamu, sekarang papa siap menjalani operasi ini dan kembali ke sisi Tuhan dengan damai. Hargailah semua hari-harimu, perjalananmu masih panjang.

Aku menangis seiring berakhirnya surat tersebut, semua rasa dendamku langsung musnah digantikan oleh rasa bersalah. Perasaanku campur aduk. “aku sayang ayah!” seruku di sela-sela tangis. Kini terungkaplah semuanya, aku merasakan mukjizat Tuhan, sekali lagi.
Sejak hari itu, hidupku menjadi sangat sukses. Aku menjadi seorang musisi ternama dan tinggal bersama kedua adikku di rumah peninggalan papa terbaik kami.
 Tuhan memang tidak akan mengabulkan semua doa kita karena Ia punya pemikiran yang lebih baik. Dan jika sekarang kita belum seberuntung yang lain, ingatlah bahwa kemarin, hari ini, dan selamanya kita punya Tuhan yang hebat. Karena semuanya akan indah pada waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar