Selasa, 19 Juli 2011

Tugas edutrip

4 Juni, 1989

“Ma, aku akan pergi untuk meminta keadilan.” Itulah kata terakhir yang kudengar dari mulut anakku, Lee Fei Yao. Saat itu, aku setuju saja dengan permintaannya, karena aku tahu, Fei bisa menjaga dirinya sendiri. Siang itu berjalan seperti biasanya, aku memasak dan membersihkan rumah sambil menunggu kepulangan Fei dengan sabar. Suamiku, ayah Fei telah meninggal tiga bulan yang lalu karena sakit. Oleh karena itu, sekarang jika Fei sedang pergi aku sering merasa kesepian dan berusaha untuk mencari kesibukkan di rumah.

Matahari telah terbenam, bulan menunjukkan wajah indahnya. Biasanya saat seperti ini selalu ini kami manfaatkan dengan duduk bersama, untuk bercerita dan tertawa lepas, tetapi malam ini berbeda. Sejak tadi pagi Fei belum kembali ke rumah. Kupikir ia menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, sebelum akhirnya tetanggaku datang. “Bu, ada pembantaian besar-besaran oleh tentara merah terhadap para mahasiswa yang sedang berdemonstrasi di Tian An Men. Orang tua yang lain sedang menuju kesana untuk mencari anaknya, ibu mau ikut saya kesana?”. Tidak, tidak mungkin Fei ada disana. Ia pasti sedang baik-baik saja, tapi tidak ada salahnya jika saya ikut kesana untuk membantu para orang tua mencari anak mereka kan?
           
Tiga puluh menit kemudian aku telah berdiri di lantai berdarah tempat terjadinya tragedi tersebut bersama tetanggaku tadi, sebuah pemandangan yang sungguh mengerikan terlihat di mataku. Mayat-mayat para mahasiswa yang wajahnya tidak kukenal, dan bahkan ada beberapa yang sudah sama sekali tidak dapat dikenali terbujur kaku bergelimpangan memenuhi seluruh lapangan Tian An Men hari itu. Kulihat sudah banyak orang tua yang sedang menangisi jasat anaknya, oh, kenapa perasaanku tiba-tiba menjadi tidak enak? Rasa cemas menyerang pikiranku. Apa mungkin Fei ada disini? Entah mengapa pikiranku berubah seratus delapan puluh derajat, keyakinanku seakan luntur sama sekali dan berubah menjadi rasa cemas.
           
Segera aku berjalan dengan rasa cemas memenuhi seluruh pikiranku, seperti orang kesetanan aku meneriakkan nama anakku berulang kali, pikiranku menjadi semakin tidak karuan ketika Fei tidak mengangkat telepon dariku. Sampai akhirnya aku berhenti, berdiri diam, tak bergerak. Rasanya kakiku sangat lemas dan tidak bisa lagi dipakai untuk berjalan. Pandanganku memudar, aku menangis, menangis sejadi-jadinya.
           
Malam itu, dimana matahari telah terbenam dan bulan menunjukkan wajah indahnya. Aku terduduk lemas dalam dinginnya udara malam, menangisi tubuh anakku yang telah terkulai lemas seperti teman-temannya yang lain. Aku hanya bisa mendoakan mereka agar dapat tenang disana, dan pemerintah tidak lagi bertindak sewenang-wenang dalam mengatasi masalah. “ma, aku akan pergi untuk meminta keadilan.” Kata terakhir anakku akan selalu kuingat selamanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar